9. SUDAH TIDAK BERARTI

10.2K 517 23
                                    

Bara yang hendak menutup pintu gerbang rumahnya tiba-tiba berhenti. Mendadak sekujur tubuhnya mematung. Matanya menatap tak percaya dengan apa yang saat ini ia lihat di depannya. Napasnya yang semula normal menjadi tak teratur. Untuk apa dia kembali disaat Bara mulai melupakannya?

"Long time no see, Bar."

Bara masih diam saja.

"Apa kabar?" tanya Fio dengan sorot mata rindu.

"Kamu nggak mau tanya kenapa aku ada di sini?"

Bara terkekeh miris. "Gue nggak penasaran."

Fio menghela napasnya. Ia berusaha untuk tetap tersenyum.

"Kamu mau marahin aku? Ayo, marahin aku. Maki aku sepuas kamu. Bilang kalo aku jahat. Ayo, Bar. Aku pasti terim—"

"Nggak ada alasan bagi gue buat ngelakuin itu," potong Bara sebelum Fio menyelesaikan ucapannya. "Cepet, ada urusan apa lo ke sini?"

Fio tersenyum karena Bara akhirnya mau bertanya padanya. "Masa kamu lupa? dari dulu kita nggak butuh alasan apapun buat saling ketemu, Bar."

Bara terdiam. Ia masih meresapi situasi apa yang sedang menimpanya saat ini. Mimpi burukkah? Musibahkah? Malapetakakah?

"Gue nggak tertarik bahas masa lalu."

Senyum di wajah Fio sirna begitu saja. "Kamu jadi dingin sama aku. Kenapa?"

Bara mendengus. "Lo pikir apa yang tersisa di antara kita? nggak ada, Fi." Saat itu juga Bara bersiap menutup pintu gerbangnya. Namun, lagi dan lagi Fio dengan cepat menahan tangan Bara.

"Jangan kaya gini, Bar," ucap Fio bergetar. "Ayo kita buka lembaran baru. Aku masih sayang sama kamu. Aku juga yakin kamu masih sayang—"

"Lo salah," sergah Bara cepat. "Bagi gue, lo udah nggak berarti apa-apa lagi."

"Bara...."

"Pergi selagi gue minta baik-baik," suruh Bara dengan sorot mata dinginnya.

"Maafin aku, Bar. Aku—"

"Gue bilang pergi ya pergi! Lo budek?!" bentak Bara.

Tepat setelah itu Bara langsung menutup pintu gerbangnya. Persetan dengan Fio yang masih berdiri di sana dan ... menangis. Senjata andalan yang dulu selalu dia lakukan jika Bara sedang marah padanya. Fio pikir kali ini Bara akan luluh juga karena air matanya itu? Oh, tentu tidak! Jangankan luluh, melihat wajahnya saja Bara enggan.

|||||

Naiffa sadar sepenuhnya kalau ada yang berubah dari dirinya belakangan ini. Lebih tepatnya pada perasannya. Sepanjang yang Naiffa tahu, setiap orang jatuh cinta pasti akan melewati masa-masa denial. Dimana ketika hati dan pikiran selalu berdebat dengan apa yang sedang dirasakan.

Kesadaran Naiffa muncul ketika Bara suka membalas status whatsappnya belakangan ini. Cowok itu juga sering mengirim chat random pada Naiffa. Dan itu adalah sesuatu hal yang belum pernah Bara lakukan sepanjang sejarah. Meski singkat, tapi hampir setiap hari dia selalu mengirim chat. Membuat keberadaannya tampak nyata dalam hidup Naiffa.

Perempuan itu duduk di bangkunya dengan mata menerawang jauh ke depan. Jujur saja ia merasa sulit menebak jalan pemikiran Bara. Terkadang baik, terkadang menyebalkan, dan terkadang pula memberi perhatian lebih padanya. Ya, Naiffa juga menyadari perhatian-perhatian kecil dari Bara belakangan ini.

"Ra, Va," panggil Naiffa. "Jalan pikiran Bara kok susah ditebak ya?" tanyanya pada dua temannya yang sibuk memilih-milih baju di online shop.

Evva menoleh. "Lo tanya kita?'"

BARA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang