Seorang perempuan cantik mengunakan gaun putih yang pas ditubuhnya menambah kesan cantik dari biasanya, punggung yang membelakangi para tamu undangan dengan mengenggam bunga ditangannya dengan erat.
Perasaan sedihnya terkalahkan dengan perasaan malu, semua yang direncanakan terasa sia-sia. Lelaki yang harusnya sekarang ada disampingnya tiba-tiba berlari menjauhi altar tidak memperdulikan dirinya.
"Sudah nak, kita pulang saja" ucap lelaki paruh baya menghampiri putrinya yang ditinggalkan calon suaminya saat akan mengucapkan janji nikah.
"baik yah" ucapnya tertunduk tubuhnya benar-benar lemas, seorang yang dirinya anggap terbaik untuk untuknya memperlakukan dirinya layaknya putri tapi kini meninggalkan lubang yang besar dihatinya dan ditambah rasa malu yang besar.
Rasanya tidak berani menatap para undangan yang mungkin kini tengah membicarakan dirinya betapa malangnya dirinya.
.
.
Bersama dengan air yang membasahi tubuhnya, Joy memejamkan matanya air mata yang tidak dirinya tunjukan kepada siapun kini mengalir bersama dengan air yang mengalir.
"ngapain gue nangisin si bresek itu, dia udah buat gue malu, buat keluarga gue malu" ucap Joy menghapus air matanya kasar
"terus ngapain gue basah-basahan, emang syuting film" ucap Joy menghetikan aliran air yang membasahi tubuhnya.
"Pokoknya gue bakal buktiin kalau gue akan bahagia tanpa dia" ucap Joy.
.
.
Waktu berlau begitu cepat dan aku tidak melarikan diri dari semuanya, menata hidup baru untuk menjadi bahagia tapi seperti sebuah trauma dengan lelaki membuat Joy secara naluri seperti membetengi dirinya tidak membiarkan lelaki asing masuk kembali dalam hidupnya.
Tujuh tahun untuk menata hati melupakan hal-hal tentang dia dan hal-hal yang tidak dirinya ketahui kini membuat dirinya tertawa.
"kamu Joykan ?" tanya seorang perempuan mendekati Joy yang sedang duduk menikmati cake, Joy hanya melirik sebentar perempuan itu. Perempuan yang sangat asing baginya.
"Aku Sejeong, Aku ingin memberikan ini untukmu dan setelah membaca aku harap kamu bisa menelponku dan bertemua dia" ucap Sejeong memberikan amplop beserta kartu nama lalu meninggalkan Joy.
Joy mengenal tulisan tangan itu, tulisan tangan dari seseorang yang telah membuat dirinya merasa malu dan kecewa menjadi satu. Membaca baris demi baris kata yang terangkai tapi tidak membuat Joy tersentuh ataupun sedih. Hatinya seperti mati rasa, yang dirinya rasakan hanya muak.
Surat berisi permintaan maaf darinya, surat yang menjelaskan lelaki itu menderita tumor otak dan tidak ingin membuat dirinya sedih sehingga terpaksa meninggalkan dirinya.
Entahlah Joy tidak merasakan apapun dihatinya, rasanya seperti mati rasa bahkan rasa simpatipu tidak ada. Hatinya rasanya membeku bersama dengan hancurnya pernikahannya, alasan yang diberikan membuat dirinya tertawa sumbang.
.
.
Ditempat lain Sejeong tersenyum melihat sahabatnya yang semakin lama kondisinya membaik, setelah operasi lelaki tersebut seperti balita yang memulai semua dari awal. Dari belajar berbicara, berjalan serta menulis namun tidak ada yang bisa mengubah hatinya.
Sejeong sangat iri dengan Joy yang menjadi sumber semangat lelaki itu, tidak apa-apa dirinya terluka asal melihat kembali senyumnya seperti dulu.
Sejeong berharap mereka berdua dapat bersatu kembali, Sejeong ingat betapa antusiasnya lelaki itu menulis surat untuk Joy dengan senyuman yan terlihat sangat jelas.