☁ 17. If I Can't See The Sun

1.4K 78 9
                                    

Mata itu sama seperti dengan matanya yang sudah lama aku rindukan.

☁☁☁

Happy Reading!

Arden menutup pintu mobil sekali sentakan. Dia berjalan sepanjang rumah sakit dengan tangan mengepal keras.

Pagi ini dia mendapatkan kabar kalau sang istri yang tak pernah dia cintai masuk ke rumah sakit. Penyakit kanker serviks yang di miliki istrinya tersebut sudah menemani sejak sepuluh tahun yang lalu.

Membuat Arden lebih leluasa tak pernah ada di rumah sepanjang malam. Selalu menghabiskan waktu hanya untuk bersenang-senang dengan teman kerja sebagai pelampiasan emosi yang pernah terjadi delapan tahun yang lalu.

"Papa aku dari tadi nunggu. Kenapa baru datang sekarang? Apa rapat dengan mereka jauh lebih baik daripada harus menemani Mama di sini?" ucap Queen ketika Arden masuk ke ruang inap sang Mama.

Arden menoleh ke Queen sangat malas dikarenakan mereka berdua akan melayangkan argumen yang membuat Arden menjadi gerah sendiri. "Kamu ini berisik sekali seperti dia!"

"Papa! Udah tahu Mama lagi istirahat kenapa malah ngeluarin suara tinggi?" Queen bangkit dari duduknya sampai bunyi decitan kursi ke belakang. Dia menatap sang Mama — Aufie — sendu. Akan selalu seperti ini jadinya kalau dia harus berhadapan dengan Arden.

Queen tak pernah sedikitpun cerita ke teman-temannya kalau dia memiliki keluarga broken home yang tak pernah akur dari dulu.

Dia selalu berbohong ke mereka jika di tanya tentang keluarga. Queen sangat malu dan takut jika mereka tahu akan meninggalkannya sendiri.

Queen tidak punya siapa-siapa lagi selain seluruh temannya yang sudah menemaninya sejak dua tahun yang lalu.

Dulu, Sebelum Queen menjadi murid putih abu-abu dia selalu di bully oleh teman-teman lamanya dengan permasalahan ini. Jadi, dia akan merahasiakan semuanya walaupun dia harus berbohong.

Queen tidak mau merasakan kehilangan untuk kedua kalinya. Jika seandainya Aufie meninggal sudah dipastikan dia akan hidup sendiri. Tak mungkin Arden akan mau mengurusinya.

Papa kandungnya itu selalu mengatakan kalau Queen adalah kesalahan terbesar yang pernah hadir di dunia.

"Kamu berani meneriaki Papa?!" Arden menatap putrinya datar. Dia sangat tak suka harus berdebat di rumah sakit. Sudah banyak tenaga yang di keluarkan hari ini demi memenangkan tender proyek.

"Papa nggak suka!?" Queen berjalan mendekati Arden yang masih dua langkah dari pintu masuk. "Kalau Papa emang gak suka. Seharusnya Papa juga ngejaga cara bicara Papa yang gak baik!"

"Kamu cuma anak kecil! Enggak usah nasehatin Papa. Urus aja Mama kamu yang gak ada gunanya itu!"

Queen tertawa terbahak-bahak seraya memukul dadanya yang terasa sesak, "Enggak ada gunanya?!  Apa Papa lupa kalau selama ini Mama selalu ada buat Papa di saat di bawah ataupun di atas. Seharusnya Papa ngaca kalau mau ngomong gini ke aku!"

"Kamu ini berisik sekali!" Arden mendorong tubuh Queen refleks ke samping sampai terjatuh di lantai. "Lebih baik kamu urus saja Mama kamu itu sendiri! Jangan telfon Papa lagi kayak tadi pagi."

Arden menatap putrinya nya dingin yang mendongak menatapnya tak percaya, "Mau dia mati atau hidup Papa nggak akan peduli. Karena dia, orang seharusnya berada di sini pergi."

If I Can't See The Sun √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang