Who would think that love?
Apakah itu masih bisa di katakan cinta jika salah satu pihak memiliki obsesi yang tidak masuk akal?☁☁☁
Happy Reading!
Arden menutup pintu mobil dengan kaki yang bebas setelah ia memarkirkan nya di dekat sebuah pos satpam.
Sekarang pria bertubuh tinggi itu berada di sebuah perusahaan saingannya untuk melakukan negosiasi dengan sang pemilik perusahaan demi bisa mendapatkan cinta pertama dan terakhir nya kembali.
Langkah lebar membuat Arden semakin ingin cepat-cepat bertemu Diaz yang sedang asik dengan dokumen-dokumen atau meeting kantor. Mengingat kondisi perusahaan Diaz yang berada di ujung tanduk.
Entah dapat berita dari mana Arden sudah menggenggam satu kartu As yang akan membuatnya menjadi pemenang tanpa perlu berkorban mengeluarkan kartu-kartu yang lainnya.
Deting lift membuat langkah Arden kembali. Seluruh kepercayaan yang di miliki Arden kali ini berkali lipat dikarenakan Diaz pasti menerimanya.
"Selamat pagi musuh bebuyutan gue di masa lalu!" Arden membuka pintu kantor Diaz sangat lebar sampai menampakan Diaz yang sedang membaca beberapa dokumen untuk melancarkan meeting yang akan segera mereka adakan siang ini.
Tanpa perlu repot-repot mengangkat kepalanya untuk sekedar melihat dikarenakan Diaz sudah tahu jelas siapa orang yang sudah datang ke kantornya di pagi hari.
"Apa tujuan Lo sebenarnya datang ke sini?" Diaz masih fokus membaca isi dokumen tersebut. Tak memperdulikan Arden yang sudah duduk di depannya dengan angkuh seperti dulu.
"Kayaknya Lo udah tahu tujuan utama gue ke sini," menumpuk kan satu kaki nya di paha. "Gue mau nyuntik dana ke perusahaan Lo yang lagi di ambang kehancuran."
Senyuman di wajah Arden timbul dengan dagu yang ikut terangkat. Ia tahu kalau Diaz sedang membutuhkan banyak suntikan dana agar perusahaan tersebut tidak gulung tikar.
Telunjuk Diaz terhenti. Ia memejamkan matanya sejenak lalu bernafas lelah, "Lo memanfaatkan kelemahan gue di waktu yang tepat ternyata. Sifat Lo gak pernah berubah sejak dulu."
"Bukan gue namanya kalau gak bisa pegang titik kelemahan lawan," Arden mengetuk jarinya di atas paha. Menunggu respon Diaz yang terlihat masih pikir panjang untuk menerimanya.
"Apa ini semua karena Bulan?" Pada akhirnya Diaz menyerah untuk mengabaikan keberadaan Arden. Sangat jelas musuhnya itu tak akan mungkin dengan senang hati menawarkan bantuan kepadanya.
Senyuman miring terlukis di bibir Arden, "Tenyata otak pintar Lo masih berguna juga. Gak salah Lo bisa keterima di Oxford waktu itu."
"Gue gak mau berbasa-basi Arden. Hari ini banyak meeting yang harus gue hadirin," Diaz kembali membuka dokumen tersebut. Berusaha untuk tidak terlalu menanggapi kehadiran musuhnya.
Tampak berpikir Arden berujar, "Gue mau kita buat kesepakatan untuk ngehancurin rumah tangga Bulan dan Arfa. Setelah itu kita hancurkan Bintang bersama-sama."
Diaz menatap Arden tak percaya. Ternyata otak musuhnya itu masih sama seperti dulu. Tak berubah sama sekali padahal umur mereka sudah bertambah.
"Gue gak mau! Karena keegoisan dan ambisi gue buat dapatin Bulan. Gue harus kehilangan dia, dan sekarang gue gak mau ngulagin kesalahan yang dulu. Ini waktunya gue untuk merubahnya agar bisa mendapatkan kepercayaan Bulan lagi kayak dulu," Diaz mencoba menormalkan napas nya yang memburu. Mana mungkin ia bisa menghancurkan rumah tangga sahabatnya itu. Sudah cukup Diaz melakukan kesalahan di masa lalu dan dia tak ingin melakukannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Can't See The Sun √
Novela Juvenil[ FOLLOW TERLEBIH DULU SEBELUM MEMBACA ] Squel Bintang.. Kembar identik dengan paras tampan yang sangat menggoda iman para kaum hawa harus pindah sekolah dari salah satu Senior School tersohor di Amerika ke Indonesia hanya untuk mewujudkan mimpi mer...