Cahaya di balik manik biru itu membuat hatiku terluka dan bahagia di waktu yang sama.
☁☁☁
Happy Reading!
"Sori, gue baru bisa datang dek. Tadi jalanan macet banget dan buat gue harus putar balik pake jalan tikus," jelas Langit setiba di tempat parkiran. Ia tak ingin adik kembarnya itu salah faham karena keterlambatannya.
Bibir Awan yang mengerucut berubah terangkat dengan mata menyipit, "Yang terpenting Lo bisa datang. Gue sempat takut kalau Lo gak bakalan datang saat-saat terakhir bus mau berangkat."
Langit tergelak kemudian tertawa kecil yang membuat Gabriel, Bailey dan Sabina tertegun melihatnya dari jarak jauh. Sudah sangat lama mereka tak melihat Langit tertawa. "Lo pasti berpikirnya gue ingkar janji, kan?"
Awan mengangguk polos, "Gue sempat mikir kayak gitu sebenarnya,"
"Tenang aja gue bukan tipe orang yang suka ingkar janji Awan," Langit mengacak-acak rambut Awan gemas.
"Iya Kak, Iya. Tapi, ngomong-ngomong Bunda sama Ayah mana? Mereka tadi di sini nungguin Lo tapi Lo gak datang-datang. Coba Lo telfon Bunda dan bilang kalau Lo udah sampe biar mereka langsung ke sini."
Langit lupa kalau ponselnya sedang dalam mode hening jadi dia tidak tahu kalau ada yang menelfon nya. Ternyata benar saja hampir seratus panggilan tidak terjawab dari Bulan masuk ke layar nya. Ada juga beberapa panggilan tidak terjawab dari Arfa dan pesan masuk juga.
Mereka pasti mengkhawatirkannya dan Langit sangat merasa bersalah. Buru-buru Langit mendial nomor Bulan tapi ponsel Bulan tidak aktif.
Mencoba menelfon Arfa dan hasilnya sama tidak aktif. Ia melirik Awan yang sedang menatapnya bingung.
"Kayaknya gue harus ke parkiran satunya buat mastiin kalau mereka di sana dek," Langit melangkah meninggalkan Awan menuju parkiran yang di maksud. Tempat khusus para guru untuk parkir yang kini di gunakan sebagai parkir para wali yang akan mengantarkan anak-anaknya.
Perasaan Langit berubah was-was entah kenapa. Ini pertama kalinya kedua orangtuanya mematikan ponsel bersamaan. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?
☁☁☁
"Bulan..." suara bass yang pernah hadir di kehidupannya membuat tubuh Bulan membeku seketika. Aktivitas yang sedang di lakukan Bulan berhenti saat sosok pria tersebut berdiri di depannya dengan mata berkaca-kaca.
"Udah lama gue nyari-nyari Lo sejak kejadian itu Bulan," Diaz menggenggam erat bahu Bulan. "Dan pada akhirnya Tuhan mendengar doa gue buat ketemu sama Lo."
Bulan tak berani menatap wajah Diaz yang pernah mengisi kehidupannya sejak ia masih menggunakan seragam putih biru sampai putih abu-abu.
Hanya firasat Bulan atau bukan kalau sosok Diaz sekarang lebih tinggi dari terakhir kali mereka bertemu.
"Tuhan benar-benar adil sama gue," Diaz mendongak ke atas agar air matanya tak terjatuh. Perasaannya campur aduk dan Diaz tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Tapi, satu kata mendefinisikan apa yang Diaz rasakan, yaitu; Diaz sangat bahagia bisa bertemu kembali dengan sahabatnya yang sangat ia sayangi dan cintai.
"Karena gue selalu yakin akan bertemu dengan Lo. Tinggal waktu yang akan menjawab," Bulan memberanikan diri menatap wajah Diaz yang ketampanannya berkali-kali lipat dari Diaz remaja dulu. Mata sehijau kristal nya memancarkan cahaya yang dulu pernah membuat Bulan terperangkap di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Can't See The Sun √
Teen Fiction[ FOLLOW TERLEBIH DULU SEBELUM MEMBACA ] Squel Bintang.. Kembar identik dengan paras tampan yang sangat menggoda iman para kaum hawa harus pindah sekolah dari salah satu Senior School tersohor di Amerika ke Indonesia hanya untuk mewujudkan mimpi mer...