Ibaratkan sebuah benda. Aku adalah lilin yang menyala sepanjang waktu demi bisa menerangi seluruh kegelapan masa lalu kamu yang tak akan pernah bisa terlupakan.
☁☁☁
Happy Reading!
Langit memperhatikan interaksi orang tuanya pagi ini di meja makan. Mereka terlihat sangat bahagia dari aura yang terpancar dari wajah mereka masing-masing.
Membuat Langit melengkungkan senyuman samar di sela-sela sarapan pagi. Dia pun melirik ke arah Awan yang sibuk memainkan ponsel untuk membalas pesan dari Gabriel dikarenakan Langit bisa melihat dengan jelas emoticon hati di sebelah nama. Hanya Gabriel satu-satunya cewek yang membuat Awan terlihat sangat alay di mata Langit.
"Hari ini kalian akan mengikuti audisi kedua ya, kan?" Arfa membuka koran pagi yang baru saja di ambil Bulan dari depan. Sudah hal biasa Arfa membaca koran di pagi hanya untuk mencari sebuah nama yang sangat penting baginya.
"Iya, Ayah." Jawab Awan sebagai perwakilan dari mereka berdua. Dia menaruh ponselnya ke saku almamater dengan mata menatap sang Ayah.
"Ayah doakan kalian lolos audisi dan bisa menjadi kandidat buat di kirim ke Jerman," senyum tipis pun Arfa berikan ke kedua putra kembar nya.
"Makasih Yah. Berkat doa Ayah selama ini kita bisa sampai di sini. Awan nggak bisa ngebayangin kalau punya Ayah selain Ayah Arfa," Awan bangkit dari kursi kemudian memeluk Arfa dari samping. Dia sangat bersyukur memiliki Ayah seperti Arfa yang memiliki pengertian yang tinggi.
Senyuman di bibir Arfa semakin lebar. Dia kini melirik Langit yang seakan enggan untuk melakukan hal demikian ke Arfa.
"Kamu nggak mau peluk Ayah sayang?" Kata Arfa, dengan mata jahil menatap Langit.
"Langit udah besar. Enggak mau main peluk-pelukan kayak gini," komentar Langit sambil memotong roti bakarnya.
"Ternyata kamu udah dewasa," Arfa kembali tersenyum dan meminta Awan untuk kembali ke kursi agar bisa melanjutkan sarapannya.
"Ayah, aku boleh nanya sesuatu?" Awan melirik Bulan yang mulai sibuk di balik dinding pembatas ruang makan dan dapur. Sepertinya Bulan sedang membersihkan sayuran yang akan di masak buat sore.
Arfa menaruh kembali koran yang baru saja di buka ke atas meja. Dia menunggu Awan yang sedang menyusun kalimat. "Kamu mau nanya apa ke Ayah?"
Awan mencoba melirik ke pembatas ruang makan. Mungkin saja Bulan sedang berjalan ke arah mereka. Tenyata Bulan masih sibuk dengan dunianya. Membuat Awan segera menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Arfa.
"Waktu itu Bunda ketemuan sama seseorang," bisik Awan sangat pelan. Takut suaranya terdengar sampai dapur.
Langit menghentikan gerakan mengunyahnya. Dia menjadi penasaran dengan Awan yang terlihat sedang hati-hati dan menyembunyikan sesuatu darinya.
"Emang sama siapa?" Arfa balik bertanya dengan berbisik. Dia melirik ke Langit yang sedang menatap keduanya bingung.
"Sama cowok, Ayah. Katanya dia sahabat Ayah waktu sekolah dulu," Awan mencuri lirik ke dinding pembatas. "Namanya Om Rangga."
Seketika mata Arfa tertuju ke manik biru Awan yang terlihat was-was takut ketahuan Bulan yang sudah mengadu ke Arfa secara diam-diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Can't See The Sun √
Подростковая литература[ FOLLOW TERLEBIH DULU SEBELUM MEMBACA ] Squel Bintang.. Kembar identik dengan paras tampan yang sangat menggoda iman para kaum hawa harus pindah sekolah dari salah satu Senior School tersohor di Amerika ke Indonesia hanya untuk mewujudkan mimpi mer...