50 | SIMPATI DAN KEBENARAN

7.2K 392 11
                                    

Chapter 50: Simpati dan Kebenaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter 50: Simpati dan Kebenaran

Untuk apa menjadi yang terbaik, jika kita sendiri belum menghargai usaha orang lain?
•••

"Aldevan tungguin, jalannya cepet amat sih, ini kaki aku pegel kalo cepet-cepet," kekeh Mery, ia menyeimbangkan langkah dengan Aldevan. Setelah akhirnya keluar dari ruangan eskul fotografi.

Aldevan melirik sekilas ke belakang, untung lorong sudah sepi, hanya ada beberapa siswi yang nekat melihat keberadaan mereka berdua.

"Lo yang jalannya lambat kayak siput," cibirnya. "Gue tunggu, lima detik lo udah di depan gue. Kalo gak? Gak jadi gue ajarin lo motret."

Mery mengernyit kesal, lima detik? Dia bahkan perlu satu menit menuju Aldevan. Wajar karena sekarang ia di ujung koridor.

"Eh-eh, buset, cepet banget lima detik. Satu menit, pacar. Aku bukan supermen," kesal Mery mengerucutkan bibir.

"Emang gue peduli?"

"Yaudah iya-iya."

Dengan langkah cepat Mery berjalan menuju Aldevan, mimiknya cemberut, sementara cowok berjarak lima meter dengannya itu hanya mendengus geli.

"Empat ..."

"Iya-iya." Langkahnya semakin cepat, Mery bahkan tidak sadar kalau ia sedang berlari. Alhasil, langkahnya semakin tidak bisa diatur, keseimbangannya menurun, tinggal menunggu hitungan detik wajahnya akan mendarat mulus ke lantai.

"Awas Ry!" panik Aldevan. Ia lantas melangkah maju secepat mungkin.

Dan Saat Mery nyarid tersandung, Aldevan berhasil menangkap bahu mungil cewek itu.

"Lo jalan yang bener bisa gak?! Nanti jatuh gimana, kaki lo bisa luka, Mery. Ck, gue harus ngajarin lo gimana lagi sih? Lo sakit siapa yang susah?" cemas Aldevan.

Mery menatap Aldevan tanpa kedip, mendengar ucapan cowok itu membuatnya terkesima. "Devan"

Aldevan mengacak rambutnya frustasi, satu tangannya memegang bahu Mery. "Apa? Sekarang jalannya pelan-pelan, sini tangan lo gue pegangin."

"Kok jadi kamu yang marah-marah? Harusnya, kan aku."

"Ya iyalah gue marah, lo hampir jatuh tadi."

Mery menghela napas panjang, membiarkan Aldevan menggandeng tangannya. "Kamu takut aku jatuh ya?"

"Gak usah ditanya."

"Berarti bener?" Mery memastikan.

"Hmm." Aldevan menjawab dengan tatapan lurus ke depan, tidak peduli pada puluhan pasang mata yang menyorot mereka.

"Tapi, kan kamu yang minta aku jalannya cepet."

"Gak usah lari juga."

"Ciee. Kamu takut aku sakit." Mery menoel-noel pipi Aldevan dengan telunjuk.

METAFORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang