53 | BIANG LALA

6.5K 319 4
                                    

Chapter 53: Biang Lala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter 53: Biang Lala

Jangan mengambil keputusan saat emosi, sebelum kamu mengetahui apa alasan dia pergi.
•••

"Pacar takuttt," rengek Mery, suaranya nyaris lenyap oleh mesin biang lala yang mulai menyala. Memeluk Aldevan dari samping dan menenggelamkan wajah di dada cowok itu.

"Shtt, lo gak perlu takut, ada gue. Atau lo tutup mata silahkan," kata Aldevan, dia menarik tangan Mery agar memeluknya erat.

Mery mendongak lalu menatap Aldevan. "Kalo tutup mata gimana mau liat pemandangan indah di atas? Pengen lihat pohon tinggi, awan, burung-burung terbang," ujar Mery, dia mendadak cemberut sekaligus takut.

"Ya sudah, lo liat muka gue aja, lebih enak dipandang daripada burung sama awan," goda Aldevan.

Mery tersenyum geli, sejenak rasa takutnya menghilang karena gombalan Aldevan tadi. Sayangnya, memandang wajah Aldevan berlama-lama sama saja dengan mempercepat degup jantungnya.

Mesin masih menyala, satu demi satu pengunjung memenuhi tiap box biang lala, sementara Mery masih saja memeluknya dengan gemetar.

"Sekarang pilih mana? Liat muka gue atau liat ke atas?"

Mery menimbang-nimbang, antara wajah Aldevan dan langit berwarna biru jelas lebih menawan wajah cowok itu.

"Mukamu deh," putus Mery.

"Yakin?"

Mery meragu atas keputusannya tadi. Ia memaling muka ke arah lain. "Engh... aduh- ah, takuttt."

Mendadak biang lala berputar perlahan, refleks Mery memeluk Aldevan sambil memejam mata. Kekehan kecil lantas terdengar dari mulut cowok itu.

"Katanya liat muka gue, sini sekarang liat. Tatap mata gue, Ry." Aldevan mencoba menatap Mery namun cewek itu tetap menunduk.

"Enggak mau, ahh mama, Mery takut, turunin. Turunin. Turunin. Huwaa. Ini pasti tinggi banget, mama haaaaaa.."

Aldevan mengusap tengkuk salah tingkah, bingung berbuat apa supaya Mery tidak menangis lagi. Untung saja, dalam box ini mereka hanya berdua.

"Eh jangan nangis, Ry, apa kata orang, dikira gue ngapa-ngapain lo, sudah Ry. Cup. Cup," ujar Aldevan, menepuk-nepuk puncak kepala Mery, seolah menenangkan bayi kecil yang menangis.

"Aku bukan bayi. Mamaaa haa."

"Kalau lo bukan bayi berhenti nangis, jangan bikin gue kesel!" Suara Aldevan naik satu oktaf, ia kesal.

Mery terdiam sekaligus menghentikkan tangisnya, dia lepas memeluk Aldevan lalu menunduk lemas, ngambek dan bersedekap. Jujur, ia takut jika Aldevan marah, maka dari itu dia menggeser duduknya.

"Tuh kan ngambek," tebak Aldevan.

"Enggak," tukas Mery. "Aku berani kok. Aku udah gede."

Aldevan mengangkat alis lalu bersandar santai, menikmati angin sejuk menyentuh kulit. Sementara Mery, ia terus-terusan melirik sekeliling. Dan sial, biang lala mendadak berhenti ketika box mereka mencapai puncak tertinggi.

METAFORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang