05• Elena

18.4K 808 12
                                    

Elena menelungkupkan kepalanya dibalik bantal.  Ia sedang ngambek.  Lebih tepatnya maerajuk pada papanya.  Ya, ia sedang marah dengan papanya lantaran ia yang tidak diiznkan untuk mengikuti acara Angkasa Family itu. 

Ketika ia sedang mengatakan permintaanya pada sang ayah, saat itu juga sang ayah langsung menolak permintaanya.  Ia sudah merengek bahkan sampai menangis dihadapan sang ayah namun ayahnya masih tetap tidak diiznkan.  Kakaknyapun hanya diam tanpa mau membuka suara yang membuatnya tambah kesal. 

Tak berselang lama, suara pintu dibuka disusul masuknya seorang pria paruh baya dengan tatapan lembut di matanya.  Membesarkan seorang anak perempuan tanpa pendamping membuat ia begutu memahami dan mudah paham akan perasaan putrinya. 

Ya ibu Elena sudah meninggal sejak melahirkan gadis itu.  Tidak ada sedikitpun perasaan benci atau marah dalam diri Alfred-ayah Elena- terhadap putri bungsunya itu. Justru rasa sayang yang begitu besar dan ingin menjaga gadis itu sepenuh hatinya lah yang begitu besar. 

Dengan lembut, pria itu mengusap rambut putrinya dengan penuh sayang.  Pria itu duduk bersandar pada ranjang Elena sambil masih mengusap rambut putrinya penuh sayang. 

"Elena tahu kan Papa sayang banget sama putri Papa yang satu ini, " ucap Alfred lembut. Elena masih terdiam. Elena hanya membenarkan ucapan ayahnya dari dalam hati. 

"Elena tahu,  Papa selalu khawatir setiap Elena pergi tanpa ada Papa ataupun kakak disamping Elena.  Papa selalu takut putri ayah kenapa napa.  Karena hanya Elena, bidadari yang Papa punya setelah kepergian Mama.  Elena adalah berlian yang mama titipkan pada papa untuk papa jaga.  Dunia luar itu keras sayang,  dan papa khawatir,  papa takut hal diluar sana akan melukai kamu.  Papa takut papa tidak bisa menjaga amanat terindah yang mama berikan pada papa. Wajar kan jika seorang ayah khawatir dengan putrinya dan ingin selalu menjaga putrinya? "

Elena terdiam.  Ia tahu ayahnya begitu menyayanginya.  Ayahnya sangat takut sesuatu terjadi pada putrinya.  Elena jadi mengingat saat ia kecil dulu.  Hanya karena tanganya yang tidak sengaja terkena pisau dapur ayahnya yang saat itu sedang rapat langsung pulang kerumah.  Tanpa memperdulikan resiko yang harus diterima akibat kejadian itu. 

"Hikss,  papa.  Maafin Elena.  Elena egois. Elena hanya nurutin keinginan Elena."

Alfred tersenyum menatap putrinya. Dipeluknya erat tubuh mungil putrinya itu.  Ia masih tak menyangka,  putrinya sudah sebesar sekarang.  Rasanya baru kemarin ia menggendong bayi merah Elena dalam pelukannya dengan air mata bahagia bercampur sedih akibat kehilangan istrinya. 

"Putri papa sudah besar sekarang.  Papa memaafkanmu.  Papa tahu perasaan kamu sayang.  Papa mengizinkan kamu kok buat acara itu nanti--"

"Engga,  aku gak papa kok kalau papa gak izinin iku.  Elena gamau buat papa sedih, "potong Elena cepat sambil menggelenhkan kepalanya menatap sang ayah. Sedangkan Alfred kembali tersenyum lembut sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi putrinya.

"Memangnya putri papa yang cantik ini gak ingin ikut acara itu? "

Elena diam.  Jika ditanya begitu jawabanya ia sangat ingin. Ia dengar dari Rena katanya acara itu dari dulu sangat menyenangkan.  Kita bisa memetik buah dan sayur dengan tangan kita sendiri,  bermain bersama hewan ternak,  main di sungai yang masih jernih, main ke sawah, bisa lihat air terjun,  dan masih banyak lagi.  Tentu saja Elena sangat ingin.  Ia sebelumnya tak pernah melihat hal seperti itu. 

"Ingin, " jawabnya pada akhirnya dengan suara pelan sambil menundukan kepalanya. 

"Jadi kenapa kamu menolak saat papa memberi kamu izin buat ikut acara itu? "

Cewek manja! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang