Apa adakah yang pandai tentang perihal cinta. Kita sama-sama pernah merasakan bagaimana itu cinta. Kita juga pernah menjadi bagian dalam pengaruh cinta. Pengalaman menjadi hal yang membuat kita semakin bisa mengerti bagaimana kisah cinta yang sebenernya.
Aku merasakan banyak perubahan setelah menjadi istrinya Gattan. Banyak hal baru yang aku pelajari meskipun tak bisa ku mengerti baik-baik.
Masa laluku bukan masa lalu yang baik, menjadi perempuan brutal tidak ada manfaatnya untuk diriku saat ini dan kedepannya karna bagimanapun juga tujuan hidup perempuan menjadi istri dan seorang ibu.
Belajar mengerti satu sama lain adalah hal yang tak semua orang bisa, jika kita masih kuat bertahan maka belajar mengalah demi kebersamaan. Jika dia terlalu sulit untuk di mengerti maka lepaskanlah, tapi kenyataannya itu tidak berlaku untukku. Aku hanya orang lemah yang buta dengan cinta.
Tok!!tok!!tok!!!
"Iya sebentar"
Gadis dengan celana preman datang menghampiriku dengan wajah muramnya. Dia adikku yang tidak pernah tau aturan. Seperti ku dulu, kini dia mengalami fase yang persis mirip denganku. Hanya bisa dibilang dia lebih ugal-ugalan.
"Ly...!" Sapanya dengan muka juteknya.
"Darimana mau kemana Lus?"tanyaku sambil menatapnya dari atas hingga bawah.
"Ah! Gue mau cerita nih!"
Gadis berkulit kuning langsat itu kini bersandar di sofa dengan meletakkan kaki di atas meja.
"Gue diomelin mulu sama emak lo!" Cetusnya sambil manyun. Desahan kemarahan sering sekali terdengar di telingaku.
"Kenapa tuh?"
"Gue balik malem salah, gak balik juga salah. Lalu kudu gimana?" Celotehnya dengan gestur tangan marahnya.
Jelas saja marah, bagaimana pun dia anak perempuan. Orang tua mana yang tidak khawatir anaknya masih berkeliaran di luar sana. Mungkin kini ku mengerti bagaimana menjadi sosok yang sangat besar bagi beberapa orang. Bahwa tanggung jawab itu besar, apalagi seorang ibu bagi anak perempuannya.
"Lo juga salah!" Lantangku langsung melotot.
Tak lama mobil Gattan datang. Gattan dan adiknya melihatku sedang berbincang dengan gadis judes bin jutek yang nakal. Tanpa basa-basi dia melewatiku tanpa ada sepatah kata menyapaku.
"Lah kok, ada adenya Gattan? Ngapain dia disini?" Tanya Lussy heran.
Aku bangkit dan langsung menghampiri Gattan yang mengkode memanggilku.
"Kenapa?"
"Lussy ngapain disini? Tumben"Tanya Gattan sambil melepas dasi.
Aku memberanikan diri membantunya melepas dasi. Tanganku bersentuhan dengannya, untuk pertama kali mungkin aku melakukan ini. Hal yang baru saja aku lakukan ini, benar-benar membuatku gugup saat harus bertatap sedekat ini.
Tapi Gattan tidak sama sekali menolak, untungnya.
Kalau menolak mungkin aku akan kaku karena malu.Aku mengalihkan mataku agar tidak menatap Gattan, karna pastinya aku akan terus menerus menatapnya tanpa henti. Gattan pun begitu mengalihkan matanya untuk memandang kaca rias.
"Kamu udah makan?" Tanya Gattan tiba-tiba menyentuh lubuk hatiku yang lebay. Yang seketika hanyut dengan pertanyaan model biasa namun membawaku terbang.
Aku tersipu malu, gugup menjawabnya. Jarang sekali dia membuka mulut untukku. Dan malam ini adalah malam bahagiaku. Walaupun tak begitu istimewa. Setidaknya menyangkut kalimat kepedulian.
"Kenapa diem aja?"
"Ehmm...m.."
Gattan mengambil handuk, dan berjalan ke kamar mandi, aku masih bingung mau menjawab apa. Karena mungkin bisa jadi jawabanku bisa membuat aku terbang lebih tinggi lagi 'diajak dinner misalnya hehe'.
"Belom' aku belom makan"
Aku yakin Gattan mendengar. Tapi Gattan tidak menjawab lagi, dan langsung menutup pintu kamar mandi. Aku pun tidak mau menunggu Gattan mandi. Aku mau menyelesaikan masalah dengan adik ku yang nakal.
"Lu lama amat di kamar?"
"Bodo! Lu balik gih, jangan kebanyakan marah-marah dirumah. Itu emak lo juga" pintaku langsung menyuruh Lussy berdiri.
"Ih kok ngusir sih? Lo jawab dulu. Kenapa ada Dilah?"
Aku menariknya keluar rumah, karena aku tidak mau berkomentar dengan sikap buruk adikku ini. Apalagi kalau sampai Gattan tau kalau Lussy sedang mengalami fase nakal ku dulu.
"Dilah tinggal disini sekarang, gue nggak ngusir tapi udah malem. Jangan biasain diri balik malem, lu cewek! Gua ikut pusing kalo mamah pusing"
"Alah, lu juga dulu balik malem. Gak usah ceramahin gua lah. Gue juga dong tinggal disini? Dari pada dirumah kaya babu, di kekang terus, di omelin terus! Ayolah Li! pliss! Plis!!"
"Engga!" Seruku langsung menutup pintu.
"Liii! Pelit lo! Woy!" Teriaknya.
Tak lama dia pun pergi, karena memohon bukan hobi dia. Prinsipnya jika dia gagal meminta dengan nada biasa. Dia akan pergi, mencari cara lain. Agar keinginannya tercapai.
Aku masuk ke dalam kamar, dan mendapati Gattan yang sedang berpacu di hadapan laptop. Aku duduk di sampingnya di sandari bantal bersarung putih.
"Kamu tadi nanyain aku udah makan apa belom? Kenapa?"
"Gak papa" singkatnya datar.
Raut wajah lelah terlukis jelas di mataku. Tapi dirinya masih saja menyempatkan diri untuk pekerjaan nya meski sudah hampir larut malam.
"Kamu gak cape kerja terus?"
"Kalo aku capek? Aku jadi pengangguran"
"Kamu mau aku bikinin teh apa susu?"
Aku menghadapkan diri menatap Gattan yang sedari tadi serius, tanpa menoleh ke arahku.
"Aku gak mau liat kamu cape, senyum dong liat aku" pintaku sambil menyentuh pipinya.
Rasanya aku kini sudah mulai berani mendekati dia, bahkan tidak ada keraguan sedikitpun di benakku. Tanganku melengkungkan bibir Gattan. Meskipun wajah datarnya tidak mengizinkan aku mengunyel-unyel pipinya. (Ah apasi bahasanya. Aku terbiasa mengunyel-unyel aja ya). Senangnya aku, karena tidak ada penolakan dari Gattan.
"Kamu tau nggak? Senyum itu ibadah, tapi jangan keseringan senyum, apalagi senyum ke banyak perempuan. Nanti aku cemburu" celotehku dengan bangga bisa menyandarkan kepalaku ke bahunya.
Sesekali aku mengintip menatap wajahnya, barangkali dia menyembunyikan senyumnya dariku. Dan tersenyum saat aku tidak melihatnya. Namun masih sama, dia hanya diam tanpa bicara maupun bergaya.
"Mas, makasih ya... Kamu ngizinin aku buat bersandar sebentar di bahu kamu. Aku gak pernah merasakan ini sebelumnya, aku nyaman mas, meskipun kamu mungkin ingin menolak kejadian ini".
Aku terdiam dan langsung meletakkan kepalaku di bantal. Dengan sadar dia menoleh ke arahku yang membalikan badan darinya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Patung Bagimu
RomansaAku dijodohkan dengan pria idamanku di smp, namun rasa cintanya bukanlah untukku. Tapi aku mencintainya begitu lama, bahkan sampai saat ini. Aku memang orang yang keras kepala bahkan saat semua orang bicara bahwa 'lebih baik dicintai daripada menci...