-14-

80 3 0
                                    

Lelaki itu belum berkutik, tangannya masih ia letakkan di depan dada. Namun sesaat kemudian, tangan lelaki itu bertepuk tangan dengan keras. Matanya masih menatap tajam mereka berdua dengan seksama dengan tangan yang masih dipertemukan satu sama lainnya. Adney menunduk bukan karena takut lebih tepatnya ia masih sedikit bingung dengan kehadiran lelaki itu. Lain halnya dengan Richard, dia tampak lebih tenang menarik halus tangan Adney membawanya kehadapan lelaki itu.

Adney masih menundukkan kepalanya. Mereka berdua berjalan perlahan menuruni anak tangga yang bersisa beberapa langkah lagi.

Belum sempat mereka sampai di hadapan lelaki itu, lelaki itu justru mengeluarkan suara yang membuat mereka sedikit terlonjak kaget.

"Kalian dari mana saja? Saya nunggu kalian dari tadi. Kenapa wajah kalian seperti. Kamu? Apa yang sudah kamu lakukan dengan Adney?"

Tidak ada jawaban dari Adney maupun Richard. Mereka masih sama sama bungkam lantaran kedatangan lelaki itu secara tiba-tiba.

"Kalau ditanya jawab. Adney! Richard!"

Adney semakin menunduk, ia tidak pernah melihat lelaki dihadapannya itu berteriak sekeras itu. Seketika saja lelaki itu menghancurkan semua kepercayaan yang ia taruh pada lelaki dihadapannya itu.

"I-Itu...ta-tadi..."

Belum sempat Adney menjelaskan semuanya lelaki itu tertawa keras. Raut wajah Adney yang semula tegang langsung melongo. Mulutnya menganga, matanya pun tak berkedip. Tatapannya pun masih tertuju pada lelaki yang tiba-tiba tertawa keras.

"Sumpah ya, kalian kalo lagi kayak gitu ngakak banget anjir. Kalo tau gini tadi gue taruh kamera tersembunyi tadi, biar lebih seru. Ah akting gue bagus banget ya ternyata. Gilak. Salut banget gue."

Lelaki itu masih tertawa dengan kerasnya. Tanpa memperdulikan raut wajah Adney tadi.

"Gak lucu bego." Ucap Adney dengan tangannya yang terulur menoyor kepala lelaki itu.

"Au au, duh mahkota gue jatuh Ney ntar." Lelaki itu mengusap kepalanya yang terkena toyoran dari Adney beberapa detik lalu.

Adney hanya melirik sinis pada lelaki itu, lelaki yang slalu ada untuk dirinya walaupun seringkali perilaku lelaki itu justru membuatnya jengkel. Siapa lagi kalau bukan Stanley, lelaki yang tidak punya malu sebutir pun.

"Udahlah anterin dulu tuh cowok lo. Kasian ntar diculik tante girang."

Adney berjalan meninggalkan Stanley yang masih cekikikan karena ucapannya sendiri. Lebih tepatnya otak dia sedikit geser. Ya memang pada dasarnya otak Stanley tidak bekerja dengan baik, sayang banget tampang oke tapi stress.

***

Setelah berjalan melewati anak tangga yang terhubung dengan roof top kebanggaannya. Adney mengantarkan Richard untuk keluar. Dan kembali ke ruang tamu yang disana sudah ada mahluk tidak tau malu siapa lagi kalau bukan Stanley.

"Ngapain lo disini?" Ucap Adney saat mereka semua sudah berada di dalam rumah Adney.

"Numpang tidur." Mata Stanley dikedip-kedipkan layaknya anak kecil yang tengah meminta untuk dibelikan sesuatu.

"Apaan sih? Nggak jelas. Pulang sono!"

Adney mendorong keras pada Stanley yang masih terduduk di shofa berukuran besar di ruang tamu yang mewah milik Adney. Tapi tetap saja, tidak ada pergerakan sama sekali dari Stanley karena Stanley memang tidak ingin pulang dan lebih memilih tidur di rumah Adney.

"Nggak mau Ney, males."

"Rumah lo tuh gede kamar lo aja seluas lapangan sepak bola masih gak mau nempatin lagi. Gak waras lo ah."

AdneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang