Satu minggu sudah Adney berada di ruangan yang tidak pernah menampakkan kehidupan. Gelap, pengap dan juga siksaan yang tiada henti ia setiap harinya. Tidak ada penerangan yang sepadan selain cahaya matahari yang masuk melewati sela-sela bangunan lapuk dan siap untuk luluh lantak kapanpun. Dan juga satu lampu kuning yang mengarah pada dirinya sehingga memberikan kesan tersendiri yang lebih menegangkan. Tubuhnya pun kian hari kian memucat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang begitu berarti. Luka pada tubuhnya pun semakin parah, bahkan tidak jarang beberapa lalat hinggap pada lukanya hingga membuat luka itu seperti membusuk.
Udara dari luar pun tampak enggan masuk dalam ruangan itu. Hanya ada beberapa hewan melata yang berani masuk untuk sekadar menakuti siapapun di dalam ruangan itu.
Seketika terbesit pemikiran apakah diluar sana ada yang tengah berupaya mencarinya atau tidak pun ia tidak mengetahuinya. Tapi pikirannya yang lain juga mengarah pada keadaan Stanley yang satu minggu lalu ia tinggalkan begitu saja. Juga, orang tuanya yang mungkin saja tengah berbaik hati mencari keberadaan dirinya atau justru bahagia karena tidak perlu memikirkan dirinya lagi.
Stan, maafin gue. Gara-gara gue lo harus dirawat di rumah sakit. Bahkan keadaan lo juga kritis waktu itu. Maaf, gue nggak bisa nemenin lo di rumah sakit,-ucap Adney dalam hati mencoba berdamai pada dirinya sendiri yang masih saja menyalahkan dirinya lantaran kecelakaan Stanley.
Suara decitan pintu terdengar begitu memekakkan telinga. Pintu kayu dengan engsel yang sudah berkarat tentu saja bisa dengan mudah menimbulkan bunyi decitan, terlebih tidak ada suara lain di ruangan itu. Secercah cahaya masuk melalui sela-sela pintu yang baru saja terbuka. Meski sedikit, namun cukup membuat Adney mengerjapkan matanya berkali-kali lantaran ia jarang terkena cahaya yang terang.
"Pagi cantik. Gimana semalem tidurnya? Lebih nyenyak kan?" Ucap Fawn dengan senyum masih menghiasi wajahnya.
Adney menarik nafasnya berat. "Brengsek lo Fawn!" Ucapnya tegas namun masih saja terdengar lemah lantaran tenaganya sudah terkuras.
"Gue udah baik hati ngebantu lo biar cepet tidur dengan nyiram lo kan?"
Adney terdiam menatap tubuhnya yang masih sedikit basah. Otaknya kembali berpikir pada kejadian semalam saat Fawn dengan seenak jidatnya menyiram tubuh Adney dengan air. Meski hanya satu ember sedang, tapi itu cukup membuat tubuhnya menggigil lantaran basah kuyup. Ditambah lagi beberapa luka di tubuhnya yang masih menganga membuatnya semakin kesakitan.
"Nih makan!"
Adney hanya melirik sekilas pada nasi goreng yang di sodorkan oleh Fawn. Ia tidak berniat memakannya sama sekali. Nafsu makannya sudah hilang sejak beberapa hari lalu bersamaan dengan semangat hidupnya yang menghilang.
"Eh iya lupa, tangan lo kan gue rantai. Jadi nggak bisa makan sendiri." Ucap Fawn meremehkan Adney yang masih terbelenggu oleh rantai.
Adney masih tidak berkutik. Ingin rasanya ia membunuh Fawn detik itu juga. Namun apa daya, untuk berdiri dengan kedua kakinya saja ia sudah kesulitan.
"Aaaaa ini dong makan." Satu sendok nasi goreng itu diarahkan Fawn pada Adney yang sedari tadi menatap apa yang ia bawa tanpa minat.
Adney masih mengatupkan mulutnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah dengan keadaannya sekarang. Tatapannya tajam, mengarah pada Fawn yang tengah memainkan dirinya tanpa belas kasihan akhir-akhir ini.
"Buka mulut lo!" Titah Fawn yang wajahnya mulai tersulut emosi. Tangannya yang digunakan untuk memegang sendok nasi goreng yang sudah menempel pada mulut Adney menampar pipi Adney di detik selanjutnya.
Lagi lagi Adney tetap tidak mau membuka mulutnya. Mulutnya justru terkunci rapat untuk menerima apapun dari tangan Fawn. Meski Fawn sudah ia anggap sebagai sahabat, namun yang dilakukan Fawn kali ini sudah kelewat batas.
Fawn mendesis, emosinya semakin menjadi-jadi lantaran sikap Adney yang menurutnya sudah semena-mena. Langkahnya sedikit menjauh dari Adney guna meletakkan piring berisi nasi goreng itu di atas meja. Kemudian kembali pada Adney dengan membawa sendok berisi nasi goreng di tangan kanannya.
"Makan bego!"
Tangan Lara mencengkeram kuat dagu Adney. Menempelkan bibir pucat itu dengan sendok nasi yang sedari tadi ia genggam. Namun lagi-lagi Adney tidak mengindahkannya. Adney masih mengatupkan mulutnya dan berusaha melepas cengkeraman tangan Fawn yang semakin kuat.
"Lo budeg apa gimana sih? Udah baik gue mau ngasih lo makan." Fawn melepas cengkeramannya ke segala arah yang sontak membuat kepala Adney berputar sembilan puluh derajat.
"Lebih baik gue mati kelaparan dari pada harus dikasihani sama manusia terkutuk kayak lo!" Ucap dengan sisa tenaga yang masih ia punya.
Sebuah tamparan mendarat pada pipi kiri Adney. Suaranya menggema di seluruh sudut ruangan. Tercetak jelas di pipi kiri Adney bekas tangan Fawn. Adney hanya meringis, mencoba menahan seluruh sakit dan derita yang sudah ia rasakan berkali-kali.
"Ini penawaran terakhir gue. Buka.Mulut.Lo!" Ucap Fawn semakin mempertegas ucapannya.
Tidak ada respon dari Adney. Ia masih mengatupkan mulutnya seperti tadi. Ia terlalu malas mendapatkan belas kasihan dari Adney sahabatnya yang menjadi penghianat.
"Bego!"
Fawn berjalan beberapa langkah mengambil nasi goreng yang tadi ia letakkan. Menumpahkannya pada tubuh Adney begitu saja. Kali ini Adney diam tidak berkutik, tenaganya seperti sudah meluap bersamaan dengan emosinya yang sudah hilang entah kemana.
"Arghhh." Ucap Fawn setengah frustasi.
Adney menggeliat sebentar membenarkan posisinya yang semakin tidak mengenakkan. Andai tidak ada rantai yang membelit tubuhnya, mungkin saja dia sudah terbaring di lantai berdebu itu.
"Tutup aja mulutnya! Nggak guna! Bego dia!" Tuturnya pada dua kurcaci yang sudah menculik Adney. Dan akhir-akhir ini dua kurcaci itu sudah memegang Adney dengan seenaknya. Bahkan pada gundukan kenyal di dada Adney pun tidak akan mereka lewati begitu saja.
Langkah Adney semakin menjauh. Membiarkan kurcaci-kurcacinya melaksanakan tugas dengan lebih mudah. Ia tidak peduli dengan apa yang dilakukan kurcaci-kurcacinya, yang ada dipikirannya hanya cara agar Adney mendapat siksaan berkali-kali lipat.
"Bego sih, kalo lo mau makan kan lo nggak kelaparan." Ucap Bocil pada Adney yang tengah menatapnya intens.
"Lah? Biarin lah. Hidup juga hidup dia kan? Dikasih hati mintanya empedu sih." Sahut Boncel sekenanya.
"Ginjal bego."
"Suka-suka gue lah yang ngomong juga gue nggak lo."
"Bego ya bego.''
"Apaan sih lo bego-begoin gue?"
"Suka-suka gue lah."
"Iwiwiwiwiwiw."
"Lah? Adney lupa."
Setelah memperdebatkan hal yang tidak penting. Tatapan mereka beralih pada tubuh Adney yang masih terekspos begitu saja. Tatapan mereka penuh dengan nafsu. Bersiap menghancurkan Adney kapan saja.
"Enak kali ya kalo main-main dulu."
***
Hai haiiiii come back again
.
.
Miss me? Or story aku?
.
.
Aku rapopo aku rapopo
.
.
Doain ya gaisss nggak maksa kok, cuman kalo kalian baik pasti mau kan ya doain aku biar lulus dengan nilai memuaskan dan bisa lolos di span-ptkin. Amin ❤️
.
.
Kalo kalian mau kasih kritik dan saran boleh kok. Boleh banget malah, kan kita sama-sama belajar.
.
.
Jangan lupa vote and comment 💓💓💓
KAMU SEDANG MEMBACA
Adney
Teen FictionAdney gadis bermata hazle yang Hidupnya serba mewah dengan segala kelebihan yang melekat pada dirinya. Ia adalah sosok yang menjadi di sekolahnya yang cukup ternama. Hidupnya selalu bahagia, senyumannya tidak pernah sekalipun meninggalkan wajah elok...