Malam ini tidak seperti biasanya. Seorang gadis berperawakan tinggi tengah berdiri dihadapan almari kaca yang menampakkan koleksi baju ber-merk miliknya yang terjajar rapi. Gadis itu nampak kebingungan menentukan baju yang akan ia kenakan untuk bertemu dengan salah satu teman lelakinya. Hatinya gusar. Pikirannya semrawut memikirkan yang akan terjadi beberapa waktu kedepan. Antara rasa kasihan juga tidak enak bercampur menjadi satu. Ditambah lagi suara cekcok yang terdengar dari ruang keluarga semakin membuatnya geram. Entah apa yang sebenarnya diributkan oleh orang tuanya pun ia tidak mengetahuinya. Yang ia tau tidak ada ketentraman yang ia dapatkan dari neraka yang ia tempati.
Meski cuaca diluar sedang dingin-dinginnya. Pilihan gadis itu tertuju pada dress hitam selutut tanpa lengan yang terlihat elegan untuk dikenakannya. Dinginnya udara malam tidak menjadi masalah bagi dirinya. Kehidupannya jauh lebih dingin dan menyiksa dari udara malam yang akan menerpa dirinya.
Jam digital yang ia letakkan di meja riasnya menunjukkan pukul enam. Meski ia sepakat untuk bertemu pada pukul tujuh. Namun ia lebih memilih untuk segera meninggalkan surga yang sekarang telah berubah menjadi neraka yang siap menyiksanya kapanpun.
Tangannya terulur pada benda pipih yang ia geletakkan begitu saja diatas ranjangnya. Jemarinya menari-nari dengan eloknya diatas layar benda pipih itu mencari nama teman cowok yang akan bertemu dengan dirinya yang tidak lain adalah Hadwin. Tangannya menekan tombol hijau dengan gambar telepon guna menelpon Julian untuk memberitahu keputusannya. Dering telepon itu terdengar jelas di telinga sang gadis. Tidak butuh waktu lama agar orang diseberang sana segera mengangkat telfonnya.
Halo, kenapa Ney?
Suara gagah milik Hadwin terdengar samar-samar di pendengaran gadis yang menelfonnya yang tidak lain adalah Adney. Suara Hadwin seolah bersinggungan dengan suara musik yang memekakkan telinga sehingga suaranya menjadi semakin samar.
Ketemu sekarang aja Win, dari pada ntar kemalaman pulangnya.
Bentar-bentar Ney, nggak kedengaran. Lagi berisik disini.
Hadwin mencari tempat yang lebih tenang agar mendengar jelas yang dikatakan oleh Adney begitupun sebaliknya.
Oke. Gimana Ney?
Gue tunggu 15 menit dari sekarang. Jangan lama-lama!
Siap komandan.
Setelahnya, sambungan telfon itu diputus sepihak oleh Adney. Hembusan nafas lega membuatnya semakin tenang lantaran tidak menghadapi segala pertanyaan yang akan keluar dari mulut Julian kapanpun ia mau.
Adney melempar handphone nya ke ranjang dan segera mempersiapkan dirinya. Memoles make up pada wajahnya nan mulus. Meski ia memakai make up, namun itu hanya untuk membuatnya agar tidak terlihat pucat dan tentu saja masih terlihat natural.
Titttt titttt!
Suara klakson dari luar rumahnya terdengar jelas di telinga Adney. Membuatnya mengintip dari balik tirai berwarna abu-abu yang terpasang rapi di jendela kamar miliknya. Terlihat jelas bahwa sebuah mobil sport putih sedang berhenti di depan gerbang rumahnya, seakan sang pemilik mobil enggan untuk meninggalkan mobilnya satu detik pun.
Adney segera mengambil tas berwarna abu-abu dengan logo Channel disisi depan. Juga heels hitam Christian Louboutin yang ia beli beberapa bulan lalu di Prancis. Semua barang ber-merk miliknya tidak ada harganya bagi Adney. Yang ia butuhkan bukanlah barang-barang mewah seperti itu. Melainkan kasih sayang dari orang tuanya yang kini telah lenyap oleh keegoisan mereka sendiri.
Langkah Adney semakin menjauh meninggalkan tempat ternyaman yang berada di neraka yang masih ia tinggali itu. Ia segera menyusul orang tuanya yang berada di ruang keluarga untuk meminta izin pada orang tuanya. Meski ragu, namun ia meyakinkan dirinya sendiri untuk segera menyusul orang tuanya yang masih saja cekcok menghina satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adney
Teen FictionAdney gadis bermata hazle yang Hidupnya serba mewah dengan segala kelebihan yang melekat pada dirinya. Ia adalah sosok yang menjadi di sekolahnya yang cukup ternama. Hidupnya selalu bahagia, senyumannya tidak pernah sekalipun meninggalkan wajah elok...