-30-

53 2 0
                                    

Pembantu itu segera berlari ke lantai bawah untuk menemui majikannya yang mendadak menghentikan cekcok nya. Seakan rumah itu tidak berpenghuni. Tak ada satupun suara.

"Tuan, di-dikamar n-non Adney ada s-suara pi-pistol." Ucapnya tergugu dengan kepala menunduk.

"Iya. Saya dengar." Matanya menatap langit-langit bangunan seolah berfikir. "Ayo cepat kita cek keadaan Adney." Lanjutnya.

Semua orang yang semula berada di ruang tamu bergegas ke lantai dua, tepatnya ke kamar Adney dengan langkah tergesa-gesa. Tidak ada lagi pertengkaran, yang ada hanya suara tapak kaki yang saling bersahutan. Sebuah letusan pistol dari kamar Adney seakan menghentikan semua kegiatan orang-orang di dalam rumah itu. Mereka seakan terhipnotis oleh suara itu yang sontak saja membuat mereka ketakutan dengan kondisi Adney.

Langkah mereka berakhir didepan pintu kamar milik Adney. Memperhatikan pintu itu dengan lebih was-was khawatir jika ada letusan kedua setelahnya. Tangan pria yang biasa ia panggil dengan 'papa' itu tergerak memegang kenop pintu memegangnya keatas kebawah hingga membuat bunyi-bunyian tanpa sengaja. Pintu itu terkunci dari dalam, membuat orang-orang disana semakin panik jika terjadi sesuatu pada Adney.

Papanya memutar kepala sembilan puluh derajat sehingga menghadap pada pembantunya. Pembantu itu sudah berlinangan air mata, nafasnya pun sudah sesenggukan. Jari-jemarinya saling bertaut satu sama lain. Bibirnya seperti tengah merapalkan mantra untuk Adney yang keadaannya sudah seperti apa di dalam. Pembantu itu berharap agar anak dari majikannya itu tidak  kenapa-kenapa.

"Bi, kamu telfon satpam. Minta dia segera kesini!" Titah papa Adney yang hanya dijawab anggukan oleh pembantunya.

"Biar saya saja." Ucap mama Adney mendahului pembantunya yang hendak berjalan meninggalkan majikannya.

"Terserah." Tangan kanan pria itu dikibas-kibaskan ke udara seolah tengah mengusir segala pemikiran negatif. "Intinya saya ingin tau keadaan putri saya. Dan saya harap tidak terjadi apapun pada putri saya. Cepat!" Tegas papa Adney tanpa memperhatikan istrinya sama sekali.

Langkah mamanya perlahan menjauh. Jalannya pun lebih cepat dari biasanya. Meski pandangan matanya seakan kabur karena menahan air mata, ia tetap berusaha melangkahkan kakinya dengan cepat. Bagaimanapun juga ia tidak ingin melihat sesuatu terjadi pada putri semata wayangnya.

"Telfon ambulan!" Titah papa Adney pada pembantunya yang masih sesenggukan.

"Sek-sekarang tuan?"

"Iya cepat! Jangan banyak omong kamu!"

"Baik tuan."

Lima menit berlalu, mama Adney kembali dengan seorang lelaki disampingnya. Tubuhnya berbalut pakaian khas satpam dengan beberapa kunci yang berada ditangannya. Samar-samar terdengar pembicaraan mereka membicarakan yang terjadi pada Adney.

"Cepat!"

Teriakan itu berasal dari papa Adney, ia geram sendiri melihat istrinya berbincang dengan satpam itu dengan wajah bersemangat. Terlebih kondisi putrinya sekarang yang sedang tidak baik-baik saja.

"Sebentar pak, mohon sabar."

"Sabar? Kamu bilang sabar? Kamu tidak dengar suara pistol tadi? Tidak ada yang tau apa yang terjadi dengan anak saya didalam! Orang tua mana yang tidak khawatir dengan kondisi anaknya? Hah!"

"Baik pak, tunggu sebentar."

"Pah." Ucap mama Adney mencoba menenangkan suaminya mengusap pundak papa Adney pelan namun segera ditepis oleh pemiliknya.

Pintu kamar itu terbuka sempurna, setelah beberapa kali satpam itu salah memilih kunci kamar. Lampu kamar dengan nuansa abu-abu itu padam. Hanya ada satu pencahayaan disana, itupun tidak terlalu berpengaruh pada cahaya di kamar itu. Sontak saja mama Adney menghidupkan lampu utama kamar itu. Didalamnya terlihat Adney tengah terduduk di tepi ranjang dengan menghadap jendela dengan punggung bergetar seperti orang menangis.

"Adney!"

Lelaki paruh baya itu berteriak dan segera berlari menghampiri anaknya dengan berhati-hati. Matanya menatap nanar pada putrinya yang masih sesenggukan. Ia mencoba mencari luka pada tubuh Raisa. Tangan Adney memar dan mengeluarkan darah dengan bebasnya lantaran tadi ia memukul kaca rias miliknya. Juga kaca jendela kamar yang pecah lantaran pistol yang ia gunakan tadi. Tangan Adneh masih menggenggam erat pistol, tidak ada air mata di wajah Adney. Hanya tatapan kosong yang jelas terlihat pada gadis itu.

Orang tuanya berhamburan memeluk Adney dengan erat. Seolah pertengkaran yang terjadi tadi hanyalah angin lalu yang tidak ada artinya. Sebuah pistol seperti mengajarkan mereka arti keluarga yang sebenarnya. Adney masih belum membalas pelukan dari orang tuanya. Tubuhnya masih bergetar hebat. Kali ini, tangisnya dibiarkan mengalir begitu saja, tidak lagi ia tahan seperti biasanya. Otaknya seakan berhenti bekerja detik itu juga. Yang ia tau hatinya masih terlalu sakit untuk mengingat semua yang sudah terjadi akhir-akhir ini.

"Berikan pistol itu!" Tegas papanya menarik paksa pistol yang berada di tangan Adney.

Adney tidak menjawab, ia justru menatap tajam pada papanya bahkan hendak berdiri meninggalkan orang-orang yang mengusik hidupnya. Namun segera ditarik oleh mamanya sehingga Adney kembali duduk diantara mama dan papanya.

"Ney, kamu dapet pistol itu dari mana?" Tanya mamanya melunak.

Adney masih belum menjawab, kali ini sebuah senyuman meremehkan yang tercetak pada bibir Adney.

"Non, kasian orang tua non. Jangan gitu lagi ya non." Ucap bibinya mencoba menenangkan suasana yang mulai memanas.

Lagi. Adney masih belum menjawab. Namun kali ini sebuah senyuman manis ia lemparkan pada bibinya. Sontak saja itu membuat kedua orang tuanya geram dan meminta pembantunya keluar.

"Raisa! Mau kemana kamu?" Ucap papanya yang lebih terdengar seperti sedang mengancam.

"Ngikutin bibi." Jawab Adney dengan kaki masih melangkah mencoba meninggalkan kamarnya.

Papanya berjalan dengan cepat menyusul Adney yang masih mengikuti pembantunya. Tangan kekar papanya menarik paksa tangan Raisa agar Raisa tidak meninggalkan tempat itu.

"Siapa yang ngajarin kamu nggak punya tata krama kayak gini? Oh, atau pembantu kesayanganmu itu?"

Adney tidak menjawab. Ia memalingkan wajahnya ke segala arah menghindari tatapan mata papanya. Hatinya yang sudah terlanjur sakit seakan semakin sakit lantaran ucapan papanya.

"Heh! Kamu dengar saya nggak?" Tukas papanya sarkas.

"Saya kira anda sudah tau jawabannya."

"Beraninya kamu seperti itu! Dasar anak gak tau diri!"

"Apa? Mau apa? Mau ngehina saya terus? Silahkan! Lanjutin aja! Silahkan tuan Adamaris yang terhormat!" Ucap Adney dengan nada sarkas.

"Kamu!"

"Apa pa? Apa? Adney salah lagi? iya?" Tukasnya dengan wajah mulai tersulut emosi. "Mah! Adney salah?" Lanjutnya melunak.

Mamanya tidak menjawab, mulut mamanya seakan terkunci tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.

"Oh iya, Adney kan emang selalu salah ya di mata kalian." Ucap Adney dengan memaksakan senyumannya.

"Siapa yang ngajarin kamu ngebantah orang tua? Hah!" Ujar papanya emosi dengan  sesekali mengingat orang yang selalu bersama Adney. "Oh, temen-temen kamu yang suka kesini cuman ngabisin uang kamu? Iya?" Lanjutnya tersenyum remeh.

"Nggak! Ini nggak ada sangkut pautnya sama mereka. Kalo papa ngira mereka bawa efek buruk buat hidup Adney. Papa salah! Jelas-jelas papa yang bawa efek buruk buat Adney! " Jelas Adney dengan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun.

"Oh, jadi yang ngajarin kamu itu Stanley! Cowok yang nggak punya etika itu! Iya?"

***

Hai gaisssss im come back.
.
.
Yeeee yuhuuuu ai lop yuuu
.
.
Gimana ceritanya? Bagus dong harusnya. Ehe b aja deng:)
.
.
Maafin ya, suka molor-molor terus, maklum author udah kelas XII jadi mulai serius belajar gitu
.
.
Tapi nggak apa-apa, inshaa Allah author bakal tetep up kok kalo ada waktu
.
.
Jangan lupa vote and comment 💓💓💓💓

AdneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang