Seorang cowok berpakaian lengkap sama persis dengan yang dipakai Adney dan Richard tengah duduk di depan rumah Adney. Tatapan matanya jelas mengarah pada Adney dan Richard yang baru saja datang. Bukan tatapan benci. Bukan juga tatapan sendu. Entahlah, hanya cowok itu yang tau maksud tatapannya sendiri.
"Lo sekarang sama dia Ney?" Tegur Richard setelah membantu Adney turun dari motor Richard.
"Dia?"
Sontak saja Adney menoleh ke arah sorot mata Richard. Adney belum sempat melihat dengan jelas siapa yang dimaksud oleh Richard. Yang dia tau ada orang yang sedang duduk didepan rumahnya. Terlihat jelas di matanya cowok yang duduk di depan rumah Adney tengah duduk dengan wajah yang menunduk.
"Hadwin?"
"Ya iyalah siapa lagi yang duduk pakek masang muka melas disitu kalo bukan dia." Ucap Richard setengah terkikik sembari sesekali menatap Richard dengan tersenyum remeh.
"Jahat banget lo." Ucap Adney dengan tangan mencubit pinggang Richard yang sontak membuat sang empunya kesakitan. "Enggak Chard. Dia temen gue." Lanjutnya
"Yaudah. Gue balik Ney."
"Thanks udah nganterin gue pulang."
Setelah memastikan motor Rizieq menjauh tidak lagi terlihat. Raisa segera memutar tubuhnya berniat menyusul Julian yang entah sejak kapan menunggu dirinya. Julian tidak mau menatap Raisa dengan lantang seperti Rizieq. Sifat mereka jelas berbeda 180 derajat. Dia lebih memilih menundukkan kepalanya menyembunyikan amarahnya dari Raisa.
"Win, lo udah lama?" Ucap Adney setelah mendudukkan pantatnya pada kursi disebelah Hadwin.
"Lumayan." Jawab Julian masih dengan kepala yang menunduk.
"Kalo bicara liat lawan bicara lo." Sindir Adney pada Hadwin yang tidak menatap Adney sama sekali. Bagi Adney tidak sopan jika berbicara tidak melihat lawan bicaranya meski dalam keadaan apapun.
Hadwin menghela nafas panjang. Ia tau ia tidak seberani itu. Tapi disindir langsung itu cukup menyakitkan, terlebih yang menyindirnya adalah Adney. Gadis pujaannya. Sontak saja ia mengangkat kepalanya agar bisa bertatap muka dengan Adney sesuai yang di ucapkan Adney sebelumnya.
"Tumben lo nggak pulang sama Stanley?"
"Tadi si Richard ngajak bicara gue."
"Oh." Ucap Hadwin diselingi dengan menghela nafas panjang. "Yaudah gue balik Ney." Lanjutnya.
"Gitu doang?"
Hadwin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Senyumnya juga nampak kikuk. Semula ia berniat mengajak Adney mengelilingi kota sambil menikmati senja. Namun mengingat dirinya yang baru saja melihat Adney dengan Richard berboncengan membuatnya mengurungkan niat.
"Nggak mampir dulu?" Tanya Adney menarik tas Hadwin karena cowok itu sudah melangkahkan kakinya melewati Adneu.
"Udah sore juga."
Langkah Hadwin memberat. Ia meninggalkan rumah Adney dengan hati yang masih bergemuruh. Ingin rasanya ia marah. Tapi ia bukanlah siapa-siapa Adney. Selain hanya 'teman'.
"Assalamualaikum."
Adney memasuki rumahnya yang sepi. Tidak lupa ia mengucapkan salam seperti biasanya. Namun tidak ada yang berbeda dengan hari-hari biasanya. Tidak ada kehidupan lebih di rumah itu selain suara jam dinding yang masih dengan eloknya menemani sepi.
Ia segera bergegas memasuki kamarnya, melempar tubuhnya pada kasur ukuran king size yang selalu menjadi tempat ternyaman bagi dirinya. Rasanya hari ini ia sangat lelah. Padahal ia pun tidak memiliki kegiatan yang menguras tenaga. Bukan fisiknya yang lelah melainkan jiwanya. Matanya menerawang pada foto keluarga yang terpampang jelas dihadapannya. Bayangan akan kebahagiaan keluarganya dimasa silam kembali hadir begitu saja. Bayangan yang tidak akan menjadi nyata dan hidup.

KAMU SEDANG MEMBACA
Adney
Teen FictionAdney gadis bermata hazle yang Hidupnya serba mewah dengan segala kelebihan yang melekat pada dirinya. Ia adalah sosok yang menjadi di sekolahnya yang cukup ternama. Hidupnya selalu bahagia, senyumannya tidak pernah sekalipun meninggalkan wajah elok...