-56-

52 3 0
                                    

"Lo inget kejadian beberapa tahun lalu sebelum lo berubah kayak. Em sebelumnya maaf." Arka memberi jeda sebentar. "Berandal gini?" Ucap Arka dengan sedikit hati-hati. Lantaran ucapannya mungkin akan membuat Adney sedikit tertekan.

Yap. Adney sebenarnya bukanlah gadis yang tidak tau tata krama seperti sekarang. Dia hanya sedikit salah dalam menentukan pilihannya. Harusnya jika beberapa tahun lalu ia memilih untuk memulai hidup barunya yang lebih baik mungkin jadinya tidak akan seperti ini. Sayangnya, beberapa orang jauh lebih menyukai hal buruk yang seharusnya tidak di pilih.

"Ngomong apaan sih lo Ar? Enggak jelas banget." Ucap Adney sedikit tersinggung.

"Gue serius Ney."

"Yaudah. Lanjutin!"

"Saat itu, gue ingat betul. Lo selalu diam sendirian di pinggir lapangan. Enggak ada satu orangpun yang mau temenan sama lo karena latar belakang lo yang mungkin ngebuat mereka agak risih. Dan mungkin juga karena hal itu mereka makin lama makin enggan untuk mendekat sama lo karena mereka takut tertular apes dari lo."

"Terus apa hubungannya sama lo Ar? Enggak ada!"

Ucapan Arka terekam jelas dalam otak Adney. Seakan ucapan itu mampu menyayat hatinya yang terlanjur rapuh dan mungkin saja bisa dengan mudah rusak.

"Ney, dengerin gue dulu. Gue belum selesai cerita."

Raisa mempersilahkan Arka dengan menganggukkan kepalanya.

"Saking seringnya gue liat lo sendirian. Dan selalu di tempat itu, makin lama gue makin empati dan itu secara enggak langsung ngebuat gue kasihan sama lo."

"Gue tegasin ini! Gue.Enggak.Butuh.Belas.Kasihan.Dari. Siapapun! Termasuk Lo!" Tukas Adney dengan tegas di setiap katanya.

"M-mak-sud g-gue enggak g-gitu Ney." Arka sedikit tergugup lantaran Adney yang sudah tersulut emosi.

"Apa? Lo mau lanjut ngehina gue? Iya? Apa masih belum cukup penderitaan gue? Kurang apa lagi Ar?"

Seperti dihujani pertanyaan yang membuat Arka merasa bersalah pada satu waktu. Bahkan mungkin umpatan-umpatan saja kurang memuaskan bagi Adney untuk memaki Arka yang masih merasa bersalah didepannya.

"Sa, gue..." Belum selesai Arka hendak menjelaskan, ucapannya sudah dihentikan oleh Adney yang tidak sabar.

"Sorry gue kebawa emosi lagi." Adney menghembuskan nafasnya kasar lantaran ia yang mulai lelah. "Lo boleh lanjutin." Lanjut Adney mempersilahkan.

"Hingga pada suatu hari, gue yang masih sering penasaran sama lo sedikit kaget lantaran segerombol cowok yang dengan tampang sok keren-nya ngikutin lo dari belakang. Jalan mereka lambat namun pasti memastikan agar lo tidak hilang dari pandangan mereka. Namun sayangnya, lo itu nggak tau kalau lo diikutin sama mereka. Dan lo tau apa yang terjadi setelahnya?" Adney menggeleng. "Lo dibully habis-habisan. Bukan bully yang menyebabkan lo luka fisik ataupun sebagainya. Tapi ini bully yang ngebuat batin lo jadi semakin terluka. Batin lo jadi makin rapuh."

"Oh, gue paham. Jadi ini penyebabnya." Gumam Adney.

"Hah? Penyebab? Penyebab apa?"

Selama ini gue bolak balik ke psikiater bertahun-tahun lamanya tapi bodohnya gue nggak tau penyebab pastinya gue harus kesana tiap bulan. Dan ternyata itu semua karena luka batin gue. Luka yang mungkin akan semakin sulit sembuh jika gue inget semuanya secara detail. Apa jangan-jangan obat yang selama ini gue minum itu buat ngelupain ingatan gue?-gumam Adney dalam hatinya.

"Ney? Lo kenapa?" Ucap Arka sambil sesekali menggoncangkan tubuh Adney lantaran ia tengah melamun.

"Anterin gue ke rumah Stanley!"

AdneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang