Ruang kelas itu tampak sepi. Tidak ada yang berani membuka suara kecuali gurunya. Guru lelaki dengan kacamata tebal yang selalu melekat di wajah bulatnya. Tubuh yang tinggi tegap dengan kulit hitam legam. Juga rambut kriwil khas orang timur-timur. Guru itu terlalu overprotektif, bahkan pakaiannya pun selalu rapi hampir tidak ada lekukan sama sekali. Raut wajahnya yang galak menambah kesan menyeramkan bagi siswa siswi di SMA itu. Bagaimana tidak? Satu kata keluar saja saat ia tengah berbicara di depan kelas bisa dipastikan besoknya siswa itu tidak bisa mengikuti pelajarannya sampai akhir bulan.
"Ca.."
"Ca..."
"Nica!"
Adney geram sendiri karena teman sebangku yang ia panggil tidak kunjung menjawabnya. Tangan Adney mulai menyenggol lengan kanan Nica yang ada di sampingnya.
"Nica." Lanjutnya berusaha memanggil Nica dengan suara berbisik dan tangan yang masih berusaha menyenggol lengan Nica.
"Apa sih Ney? Dilihatin pak Heru ntar Ney." Ucap Nica agak keras lantaran kaget dengan gerakan tangan Adney.
"Makannya lo kalo ngomong jangan keras-keras. Ntar pak Heru denger." Jari telunjuk Adney ia tempelkan pada mulutnya sendiri seolah mempertegas ucapannya.
"Ye reflek tau Ney. Lo sih tiba-tiba nyenggol gue." Ucap Nica tidak terima dengan wajah yang sengaja dibuat cemberut khas dirinya.
"Lo udah gue panggil dari tadi kali Ca. Lo nya aja yang bolot." Ucap Adney dengan wajah datar menghadap Nica tanpa berkedip.
"Seriusan gue gitu? Masa gue bolot si?" Nica memutar tubuhnya guna menghadap Adney agar gadis itu bisa bicara lebih leluasa.
"Ya lo kira."
"NICA! ADNEY!" Teriak lelaki paruh baya dengan kacamata tebal khas orang tua di hadapan mereka yang tidak lain adalah 'pak Heru' guru matematika yang selalu menjadi momok menakutkan di SMA itu. "SIAPA YANG SURUH KALIAN BICARA SENDIRI? KALIAN BERDUA! SINI! GANTIIN BAPAK DIDEPAN!" Lanjutnya dengan wajah murka yang siap melahap Adney dan Nica kapanpun.
Adney yang mendengar teriakan lantang dari gurunya itu segera mengangkat pantatnya bersiap berjalan kedepan menggantikan guru yang terkenal galak itu. Namun urung, pergelangan tangan Adney sudah ditarik paksa oleh Nica. Sontak saja Adney memutar kepalanya menghadap Nica. Dilihatnya teman Adney itu menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan wajah ketakutan.
Ah elah, segala dilarang lagi apaan sih Nica. Ganggu orang aja,- gerutu Adney dalam hati.
"Maafin kita berdua pak." Ucap Nica sembari menundukkan kepalanya setelah Adney mendudukkan pantatnya.
"Sekali lagi kalian sibuk sendiri. Kalian tidak usah mengikuti pelajaran bapak!" Tegas pak Heru memberikan peringatan pada Adney dan Nica.
"Iya pak. Kami minta maaf. Kami tidak akan mengulanginya."
"Ya sudah. Nggak usah berisik!" Ucap pak Heru seraya kembali menerangkan materi pada muridnya.
"Apaan sih Ney. Sampe segitunya jadi siswa. Pencitraan lo jelek." Adney geram sendiri dengan temannya yang baginya terlalu polos.
"Ish, diem deh." Tangannya bergerak ke atas bawah didepan wajah Adney agar Adney tidak banyak bicara.
"Hemmm."
Mereka kembali fokus pada pembelajaran guru, tidak ada lagi yang berbicara. Senyap yang lebih tepatnya sunyi. Bahkan suara parfum otomatis yang tertempel di dinding pun seakan enggan berbunyi takut mengganggu suara menggelegar milik pak Heru.
Nica sudah beberapa kali menguap. Rasa kantuk itu menghampirinya sedari tadi. Bahkan kepalanya sudah ia sangga dengan kedua tangannya. Rasanya semua yang dibicarakan oleh pak Heru menjadi dongeng tidur yang menyenangkan.
"Lo tadi mau bicara apaan?" Ucap Nica memulai pembicaraan tidak betah dengan rasa kantuk pada dirinya.
"Semalem gue mabok."
"Udah biasa."
"Dih gitu amat. Gue serius kali."
"Gue juga serius. Lo kan udah biasa mabok Sa."
"Iya sih, tapi maksud gue nggak gitu."
"ADNEY! NICA!" Sebuah spidol papan tulis mendarat tepat dihadapan Adney dan Nica.
"Iya pak." Ucap Adney mendongakkan kepalanya.
"Apa yang kalian bicarakan? Kalian lupa bapak bilang apa?" Ucap pak Heru dengan nada yang cukup tinggi hingga membuat seluruh siswa di kelas itu menundukkan kepalanya serentak.
"Iniloh pak. Nica tanya sama saya nom-" belum selesai Adney berbicara, pembicaraan Adney sudah dipotong oleh pak Heru.
"Tanya apa Nica?" Tanya pak Heru sembari menatap Nica yang ketakutan.
"Dengerin Adney dulu deh pak ah. Nyelak mulu. Adney tanya nomor dua pak kenapa hasilnya tak hingga." Ucap Adney mulai geram dengan gurunya yang satu ini.
"Sudah tau jawabannya Ca?"
"S-sudah pak." Ucap Nica dengan gugup.
"Adney! Terangkan didepan!" Pintah pak Heru tegas.
"Siap komandan."
Nica kembali menarik tangan Adney saat Adney hendak maju kedepan memenuhi panggilan gurunya.
"Jangan Ney."
"Lepas."
Adney melangkahkan kakinya dengan tegas pada lantai karpet berdebu yang menjadi saksi seringnya dia membuat kegaduhan. Langkahnya mengarah pada guru kriwil yang sering ditakuti siswa di SMA itu. Tapi, dalam rumus kamus hidup Adney pantang bagi Adney untuk takut dengan siapapun.
Lain halnya dengan Nica. Wajah Nica yang semula biasa mulai menampakkan wajahnya yang pucat pasi. Bulir bulir keringat di kening Nica bahkan siap meluncur kapanpun ia mau. Tatapannya mengarah pada Nica dengan perasaan takut luar biasa.
Adney mah gitu. Sok-sokan. Nanti kalo nggak bisa gimana? Dihukum. Kan gue juga kena. Ah gemes sendiri sama Adney,-tutur Nica dalam hati.
Bagi Nica, langkah yang diambil Adney itu sama halnya dengan bunuh diri. Menyerahkan hidupnya pada orang yang jelas-jelas sudah murka.
Lima belas menit berselang. Adney berhasil menjelaskan lima nomor yang diminta oleh guru kriwilnya. Dengan ciri khas Adney yang diselingi tawa namun berhasil membuat teman-temannya lebih cepat paham dibandingkan saat di ajar oleh guru kriwilnya itu.
"Sudah pak, capek. Mau duduk."
"Ya sudah kamu duduk. Untung kamu bisa kalo nggak bapak bosen liat muka kamu yang siap digampar."
Adney tidak menjawab, ia melengos pergi ke tempat duduknya tanpa memperdulikan guru kriwilnya. Sementara teman-temannya nampak menahan tawa mendengar ucapan guru kriwil itu yang cukup mengundang tawa.
"Harusnya lo bilang makasih tadi Ney." Ucap Nica sedikit lega.
"Ngapain juga? Ogah banget. Males ah." Ucap Adney mendudukkan pantatnya di samping Nica.
"Lo tuh kebiasaan tau nggak!?"
Adney tidak menanggapi ucapan Niva. Ia lebih memilih menghadap papan tulis. Tangan kirinya menyangga kepala yang baginya sangatlah berat itu. Pandangannya mengarah ke depan namun pikirannya melayang jauh akan nasib keluarganya yang tengah kacau. Juga dirinya yang semakin tidak karuan.
***
Hai hai haiiiii
.
.
I'm come back gaisssss
.
.
Lama ya? Nggapapa deh, author abis sakit:(
.
.
Ucapin apa gitu kek biar jadi semangat. Nggak maksa kok kalo mau aja:)
.
.
Jangan lupa vote and comment 💓💓💓💓
.
.
Follow Ig aku juga ya Rois Umriyah ☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
Adney
Teen FictionAdney gadis bermata hazle yang Hidupnya serba mewah dengan segala kelebihan yang melekat pada dirinya. Ia adalah sosok yang menjadi di sekolahnya yang cukup ternama. Hidupnya selalu bahagia, senyumannya tidak pernah sekalipun meninggalkan wajah elok...