-25-

59 3 0
                                    

Tangan kekar yang selalu siap melindunginya kapanpun itu, kini membuat dirinya naik darah. Tangan kekar itu ditarik paksa olehnya setelah beberapa menit  lalu teman-temannya meninggalkan  kediaman milik orang tuanya. Ditariknya tangan itu keluar rumah dan dihempaskan begitu saja tanpa peduli jika tangan itupun putus detik itu juga.

"Maksud lo apaan?" Ujarnya meminta kejelasan akan kejadian beberapa waktu lalu di kamar milik cowok itu yang tidak lain adalah Stanley.

"Dia orang yang tepat buat lo Ney. Percaya sama gue." Tuturnya lembut.

"Lo tau apa tentang dia? Hah! Bahkan lo juga baru kenal sama dia." Ia memutar badannya agar tidak bertatapan  langsung dengan manik mata milik Stanley yang selalu bisa meluluhkannya. "Dia bahkan gak jauh brengsek!" Lanjutnya dengan emosi yang semakin meletup-letup.

"Ney, dengerin gue." Tegas Stanley ingin segera menyadarkan Adney.

Tangan Stanley menarik lembut pergelangan tangan Adney agar tidak menyakitinya. Ia tidak mau membuat Adney semakin tertekan dengan keadaannya sekarang.

"Lo yang dengerin gue Stanley!" Ketus Adney mengibaskan tangan Stanley ke segala arah.

Stanley menghembuskan nafasnya pasrah. Ia masih mencoba mencari celah agar mood Adney kembali membaik seperti biasanya. Namun nihil, ia tidak menemukan setitik pun cara untuk mengembalikan mood cewek dihadapannya itu. Adney tengah dikuasai amarah, dan tidak ada yang bisa menghentikannya kecuali dengan membiarkan Adney meluapkan segalanya.

"Elo nggak ada hak sama sekali buat ikut campur urusan gue! Lo cuma benalu! Lo cuma orang asing yang nggak tau apa-apa! Dan lo? Lo nggak jauh beda sama lelaki brengsek diluaran sana!"

Ucapan Adney terdengar ketus, Bahkan menyayat hati. Untunglah Stanley sudah mengenal Adney cukup lama, hingga Stanley perlahan mulai terbiasa dengan emosi Adney yang kapanpun bisa meledak begitu saja.

"Ney." ucap Stanley melunak, tangannya mengusap bahu kanan Adney yang mulai bergemuruh.

"Apa? Lo mau bilang kalo lo lebih tau gue?" Ketusnya seraya menggerakkan bahunya kasar agar tangan yang memegangnya segera pergi. "Lo salah! Lo tuh nggak tau apa-apa! Ini hidup gue! Dan lo? Lo terlalu ikut campur Stan! Lo tuh munafik tau nggak!?" Lanjutnya geram.

"Ney, ini karena gue peduli sama lo." Stanley masih melunak, ia tidak mau dirinya dikuasai oleh amarah juga. Karena baginya amarah dengan amarah tidak akan menyelesaikan masalah.

"Peduli?" Ia tersenyum remeh dengan mata melirik kearah Stanley. "Mungkin lebih tepatnya lo terlalu kasihan sama nasib gue yang apes!" Tawanya lebih terdengar seperti elakan lantaran ia tidak mau menampakkan kesedihannya.

"Nggak Ney!" Tegasnya.

"Apa? Bahkan orang terdekat gue nggak ada yang peduli sama gue! Nyokap gue? Sibuk sama selingkuhannya. Sementara bokap gue? Dia gak beda bangsatnya sama bokap gue! Dia bahkan lebih milih pelacur dari pada istrinya sendiri! Dan lo? Lo bukan siapa-siapa gue! Jadi, lo nggak usah sok peduli! Munafik! Nggak semudah itu buat bermain drama sama gue!" Tutur Adney panjang lebar meluapkan semua yang ada dalam dirinya.

"Ney, sampai kapan lo mau terpuruk kayak gini? Lo juga berhak punya masa depan. Lo nggak boleh kayak gini terus Ney."

Stanley mengunci manik mata Adney, mencoba meluluhkan cewek dihadapannya seperti biasa. Namun entah mengapa itu tidak berpengaruh sama sekali.

"Bahkan tanpa lo, gue bisa ngendaliin masa depan gue sendiri! Gue bisa hidup sendiri Stan! Gue nggak selemah yang lo kira!"

Memorinya berputar dengan kejadian beberapa tahun belakangan ini. Kejadian pahit yang terjadi di keluarganya membuat Adney semakin terpuruk. Air mata yang ia bendung pun seperti ingin keluar, namun berhasil ia tahan. Ia masih sama. Tidak mau terlihat lemah dihadapan siapapun.

"Gue tau lo kuat. Tapi sampai kapan lo mau nyembunyiin diri lo dari orang-orang? Lo juga harus buka hati lo Ney! Buka hati lo buat orang-orang disekitar lo. Jangan buat mereka merasa terbuang Sa! Mereka berhak bahagia. Lo juga berhak bahagia dengan salah satu dari mereka. Lo bilang sama gue mau usahain permintaan gue kan? Buktiin Ney!"

"Terus? Lo pikir gue nggak punya hati? Gue punya, cuman lagi mati rasa. Dan, soal permintaan lo. Nggak sekarang." Ucapnya tersenyum remeh membayangkan betapa banyaknya lelaki yang ia mainkan hanya karena rasa bencinya pada lelaki.

Ia kembali menghadapkan Adney padanya. Mengunci kembali manik mata yang menyembunyikan beribu luka itu. Belum sempat satu sayatan mengering sudah dibumbui lagi dengan sayatan baru yang jauh lebih tajam.

"Come on!"

"Lo tau? Gue pernah ngebangga-banggain keluarga gue sama orang-orang disekitar gue. Keluarga gue yang selalu bahagia tanpa ada caci maki. Tanpa ada hinaan. Lo pikir mudah buat bangkit dari keterpurukan itu? Nggak!" Ia menarik nafas panjang, walaupun nafasnya masih memburu. "Bertahun-tahun gue diem! Gue capek diomongin sana sini. Gue capek hidup. Dan gue! Gue nggak mau percaya sama mahluk yang bernama Co.Wok. mereka semua sama! Nggak ada yang baik! Mereka cuman mau enaknya setelah itu pergi! Mereka brengsek!" Lanjutnya dengan menegaskan kata 'cowok'

Isakannya semakin kencang, namun tidak ada air mata yang keluar dari matanya. Mungkin ia terlalu sakit, hingga air matanya pun enggan keluar.

"Nggak Ney! Mereka nggak sama. Gue juga cowok. Jadi gue tau." Ujar Stanley masih dengan tutur kata yang lunak.

"Mereka sama. Mereka...."

Adney belum sempat menyelesaikan ucapannya, tubuh Adney sudah ditarik pada dada bidang milik Stanley. Isakannya semakin menjadi-jadi. Stanley memeluknya dengan erat membiarkan Adney tenang di pelukannya. Satu tetes air mata bahkan berhasil meluncur melewati pipinya namun segera di usap oleh pemiliknya.

Ia masih memberontak, menggeliatkan tubuhnya agar segera lepas dari pelukan Stanley. Ia tidak mau tangisannya semakin menjadi-jadi lantaran pelukan itu.

"Lepasin gue!" Ketus Adney dengan setengah terisak.

Stanley tidak berkutik, bahkan pelukannya semakin erat. Tangannya bergantian mengusap punggung Adney yang masih saja terisak. Tangisan Adney tidak bersuara, hanya terisak namun seakan menyayat. Pundak Stanley pun sudah basah oleh air mata Adney yang sedari tadi berlomba-lomba ingin keluar dari kelopak matanya.

Tangisan itu semakin menjadi-jadi ditambah dengan hujan yang mendadak turun dengan derasnya. Hujan seakan menjadi saksi pilu akan sakit yang dirasakan oleh Raisa. Tubuhnya terguyur air hujan dengan eloknya, membuat air mata yang keluar dari matanya nampak buram oleh air hujan itu.

Keduanya larut dalam pelukan itu, Raisa yang tadi sempat memberontak kini membalas pelukan Stanley. Namun pikiran mereka kacau. Adney yang kembali mengingat masa kelamnya. Dan Stanley yang masih berusaha menenangkan Adney dengan berbagai cara.

"AAAAAAAA." Adney berteriak lantang setelah melepas pelukan Stanley.

"Apasih Ney?"

Wajah Stanley menampakkan keheranan mendapati Adney di depannya. Bagaimana tidak? Beberapa waktu lalu Adney tengah meluapkan emosi sejadi-jadinya dan sekarang Adney tengah tersenyum tanpa memikirkan masalahnya sama sekali.

"Jadi mau renang. Nanggung udah basah kuyup. Aku suka rain. Tuhan! Makasih!"

Tingkahnya seperti anak kecil. Berlari-lari kecil dibawah hujan dengan wajah yang masih tersenyum. Tangannya pun ia rentangkan menikmati tetesan hujan yang baginya menenangkan. Lukanya seakan hilang bersamaan dengan tetesan hujan yang membasahinya.

Tidak ada yang tau betapa terpuruknya orang yang selalu menampakkan bahwa dirinya selalu baik-baik saja. Kadang yang terlihat selalu baik adalah orang yang terlalu pandai menyembunyikan lukanya.

***

Hai gaisssss
.
.
Author up lagi nih yeeeeee
.
.
Oke oke mau cerita dikit nih, author ngerasa makin kesini kok si Adney kayak orang stress ya:/
.
.
AAAAAAAA mau teriak aku ikut si Adney
.
.
Oiya makasih buat yang udah stay dan mau nungguin kelanjutan ceritanya
.
.
Jangan lupa vote and comment 💓💓💓💓

AdneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang