"Ibu!" Teriak Adney setelah turun dari mobil hitam miliknya, tentu saja gadis itu masih mengenakan seragam khas sekolahnya.
Bangunan bertuliskan 'Panti Asuhan Pinus' berdiri kokoh di hadapan gadis itu. Letaknya yang cukup jauh dari keramaian memberikan kedamaian bagi siapapun yang hidup didalamnya. Anak-anak yang terlantar dipinggiran jalan itu nampak bahagia disana. Meski tidak selamanya dengan harta namun cukup untuk memberikan kebahagiaan bagi anak-anak itu.
Bu Asih namanya, seorang wanita paruh baya yang berbaik hati mengabdikan hidupnya untuk panti asuhan yang ia kelola dengan suaminya dahulu. Meski kini suaminya telah berpulang pada sisi Tuhan. Bu Asih tidak pernah mau menerima bantuan dari siapapun untuk pantinya. Bukan lantaran malu atau sombong melainkan ia mengajarkan pada anak-anaknya agar tidak terbiasa menerima sesuatu secara percuma. Beliau mengajarkan anak-anaknya untuk berusaha terlebih dahulu sebelum menerima sesuatu. Beliau adalah orang yang telaten merawat serta menjaga anak-anaknya meski berkali-kali keluarga dari pihak Bu Asih memintanya untuk menggusur panti asuhan yang sekarang mulai rentan roboh. Namun ia enggan, ia masih pada prinsipnya. Ia tidak mau melihat anak-anaknya terlantar dimana-mana. Biarlah dirinya sampai ujung usia berada di panti miliknya, bukan apa-apa sejujurnya beliau pun tidak memiliki keturunan hingga anak-anak di panti itu ia anggap sebagai anaknya sendiri.
"Ibuk!" Adney berteriak lebih keras.
Bu Asih keluar dari panti asuhan dengan baju daster longgar miliknya berjalan dengan tergopoh-gopoh menyusul Adney yang masih saja berteriak-teriak memanggilnya di luar rumah. Raut wajahnya jelas memperlihatkan kebahagiaan meski banyak kerutan yang menutupinya. Dibelakang wanita itu terdapat beberapa anak kecil berumur tujuh tahunan mengikutinya.
"Salam dulu Ney, kebiasaan kamu." Tutur Bu Asih lembut.
"Hehe maaf buk." Ujarnya dengan tersenyum kikuk lalu melihat anak kecil dibelakang wanita yang ia panggil ibu itu sekilas. "Assalamualaikum buk." Lanjutnya menciumi punggung tangan wanita paruh baya itu kemudian berlanjut memeluknya erat.
"Kak Ani, kakak kemana aja nggak pernah kesini. Kan Nta kangen kak." Ucap seorang anak kecil berkursi roda menarik-narik ujung baju Adney.
Anak-anak kecil itu memanggil Adney dengan nama 'Kak Ani' lantaran mulut mereka kesusahan jika harus memanggilnya kak Adney. Tentu saja Adney tidak keberatan dengan panggilan itu karena memang sudah sejak lama ia dipanggil begitu.
"Nta! Jangan ganggu kakak sama ibu dulu." Ucap anak-anak lainnya hendak menarik kursi roda Nta menjauh dari Bu Asih dan Adney.
Adney melepaskan pelukannya, ditatapnya anak berkursi roda itu. Pikirannya kembali mengingat saat anak itu masih takut dengan dirinya.
Flashback on.
Seorang anak berumur enam tahunan dengan kursi roda disampingnya tengah duduk dibawah pohon. Tubuhnya bergetar hebat. Kepalanya ia sembunyikan dibalik tangannya. Tangan mungil miliknya memeluk erat lutut yang ia tekuk dan didekatkan ke dada. Kulitnya terlihat pucat. Bahkan tubuhnya terlihat kurus seakan menampakkan tulang-tulang miliknya. Beberapa helai rambut juga terlihat berserakan disisinya.
Adney berjalan mendekat ke arah anak kecil yang sudah ia perhatikan beberapa waktu lalu. Pelan namun pasti. Tangannya terulur. Memegang pundak yang nampak rapuh itu dengan hati-hati.
"Dek, kamu kenapa?"
Anak itu mendongakkan kepalanya. Tangan mungilnya menghapus air mata yang mengalir di pipinya yang nampak tirus. Mata itu indah namun saat ini terlihat merah dan sembab. Bibirnya pun masih bergetar dengan sedikit sesenggukan. Raut wajahnya menampakkan bingung dan takut bersamaan terlebih dengan kehadiran Adney yang tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adney
Novela JuvenilAdney gadis bermata hazle yang Hidupnya serba mewah dengan segala kelebihan yang melekat pada dirinya. Ia adalah sosok yang menjadi di sekolahnya yang cukup ternama. Hidupnya selalu bahagia, senyumannya tidak pernah sekalipun meninggalkan wajah elok...