-40-

33 4 0
                                    

Sebuah tangan besar menarik tubuh supermodel Adney. Tidak ada pemberontakan dari Adney, ia hanya mengikuti kemanapun sang pemilik tangan itu membawanya. Karena ia pun tau pemilik tangan itu adalah Stanley. Satu-satunya orang yang dapat ia percaya. Namun sayang, tubuhnya sudah terlanjur lemas mendapati kertas-kertas yang menempel di mading hingga membuatnya seperti kehilangan gairah untuk hidup. Ia dibawa pada taman belakang sekolah tempatnya biasa bolos saat jam pelajaran. Dan hanya tempat itulah yang jarang diketahui oleh warga sekolah.

"Adney." Ucap sang pemilik tangan yang menyelamatkannya dari gosip murahan pagi hari. Stanley menatap Adney dengan tatapan sendu.

"Gapapa Stan, udah terlanjur. Gue udah baca judulnya kok. Dan..." Ucapannya mengambang seperti hidupnya yang tidak tentu arah. Adney menarik nafasnya panjang, lalu menghembuskannya dengan keras. Menandakan jika dia memang sangat lelah. "Gue juga udah tau. Mereka semua juga udah tau semuanya kan? Gapapa kok, lo tenang aja." Lanjutnya disertai senyuman yang masih saja melekat di wajah kusutnya.

"Emmmm." Stanley masih berusaha berpikir keras, ia tidak mau membuat Adney semakin terpuruk karena keadaannya. "Sorry Ney, tadi gue telat narik tangan lo." Lanjutnya menyesali keterlambatannya menyusul Adney yang sudah terlanjur membaca poster tentang keluarganya.

"Udah Stan, nggak apa apa. Lo tenang aja."

"Sory Ney, gue salah. Harusnya gue dateng lebih cepet tadi. Harusnya lo nggak dateng sepagi itu."

Kalau saja pagi tadi Stanley tidak diminta mengantarkan berkas milik papanya ke kantor, ia pasti tidak akan terlambat menyelamatkan Adney. Jarak dari kantor papanya dan sekolah yang terpaut jauh pun membuat Stanley harus betah berlama-lama di jalan. Sebelumnya ia sudah memiliki firasat yang tidak menyenangkan. Dan benar, sesuatu diluar kendalinya terjadi begitu saja pada Adney. Yang kini, berhasil membuat Adney kehilangan gairah hidupnya.

"Hihihi." Ia sedikit terkikik membayangkan nasibnya sendiri yang seperti di ujung tanduk. "Nggak apa-apa kali Stan. Kalau pun gue datengnya siang pun tetep aja akhirnya gue tau Stan, nggak ada yang berubah kan?" Lanjutnya masih dengan seringai tidak menyenangkan.

"Iya Ney gue tau, tapi kalo lo datengnya siang atau kayak biasanya deh. Otomatis kan gue bisa cabutin tuh poster bego yang ada di mading. Gue juga bisa ngancem siapapun yang berani ngehina lo ntar."

"Apaan sih Stan? Lo lebay tau nggak!"

"Gue nggak lebay Ney. Lo nggak pantes di perlakuin kayak tadi. Karena gue tau. Gue tau lo nggak seburuk orang tua lo Ney. Lo baik Adney, dan gue juga udah kenal lo dari lama."

"Percuma Stan! Percuma! Nggak ada gunanya lo bicara kayak gitu. Dan, mungkin selama ini lo salah nilai gue. Lagian, buah jatuh nggak jauh dari pohonnya kan?"

"Iya gue tau Ney, tapi lo beda. Lo nggak kayak gitu." Stanley mencekal bahu Adney yang sontak saja membuat gadis itu menatap Stanley dengan tatapan sendu bercampur amarah. "Ney, ini bukan lo. Mana Adney yang gue kenal?" Lanjutnya masih dengan usahanya meyakinkan Adney.

"Gue Adney. Gue Rowena Adney Adamaris anak dari seorang koruptor yang sekarang sudah menjadi tahanan yang siap membusuk di penjara. Gue juga anak dari pelakor sekaligus pelacur yang tidak tau malu. Iya, gue seburuk itu. Lahir dari keluarga yang nggak ada harga dirinya sama sekali. Dan ini emang udah jadi nasib gue. Mungkin ini gue yang sebenarnya. Gue nggak bisa terus-terusan kayak gini. Ini gue! Gue yang ada di balik topeng nggak berguna! Yang selama ini selalu gue pakek. Gue capek! Gue capek pura-pura bersikap baik-baik aja dihadapan mereka. Gue lemah! Harusnya lo tau itu. Gue... Gue..." Ucapan Adney menggantung, getaran di bibir mungilnya semakin kentara hingga membuat siapapun yang melihatnya iba.

Stanley tidak kuasa lagi mendengar semua kalimat yang keluar dari mulut Adney. Kalimat-kalimat yang justru membuat Adney semakin terpuruk. Ia menghentikannya, ia menarik tubuh Adney dalam dekapannya. Menyalurkan kehangatan agar rasa sakit dan sedihnya melebur atau mungkin hilang. Bibir Adney yang bergetar kini berpindah pada tubuhnya, dan menjadi getaran yang cukup hebat. Namun bukan air mata yang keluar, rasanya air mata itupun enggan untuk keluar. Sakit yang di rasakan Adney tidak lagi bisa diungkapkan dengan air mata hingga hanya menimbulkan getaran tidak berarti.

Rasa sakit yang dirasakan Adney seolah memberikan sakit tersendiri pada Stanley. Ia merasa gagal menjaga Adney yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Memang tidak ada ikatan darah antara mmereka berdua. Tapi hidup berdampingan sejak kecil berhasil membuat mereka bisa merasakan apa yang dirasakan satu sama lain. Terlebih jika berhubungan dengan keluarga Adney yang begitu sensitif.

"Ney, gue tau lo kuat. Lo bisa Ney." Ucap Stanley mencoba meyakinkan Adney yang masih dalam dekapannya.

"Apa?" Adney melepas paksa pelukan itu. Bahkan Adney pun mendorong tubuh Stanley cukup keras, hingga membuat cowok itu sedikit terpental. "Lo cuman bisa nyemangatin gue Ney! Nggak lebih!" Lanjutnya dengan nada sarkas.

"Ney, tenangin diri lo. Lo capek Ney." Tangannya terulur menyentuh pundak Adney, mencoba menyalurkan kekuatan lewat sentuhannya.

Ia menggerakkan bahunya kasar melepas tangan Stanley yang masih menempel pada bahunya. "Iya gue capek! Dan buat kali ini, gue nyerah. Gue nyerah Stan. Terserah lo mau anggep gue apa tapi gue capek Stan. Gue capek. Percuma juga gue pura-pura nggak ada apa-apa. Capek Stan!"

Stanley menarik paksa tubuh Adney untuk kesekian kalinya. Meski Adney tidak membalas pelukan itu. Setidaknya tidak ada lagi penolakan dari Adney saat ia memeluknya. Ia semakin mengeratkan pelukannya berharap agar bisa menenangkan sahabatnya itu. Namun urung. Tubuh Adney masih saja bergetar meski tidak sehebat tadi. Mereka sama-sama hanyut dalam pelukan itu hingga beberapa saat. Tidak perduli jika ada guru atau orang lain yang melihatnya. Yang mereka butuhkan hanya ketenangan.

"Lepas! Lepasin gue!" Ucap Adney setelah beberapa saat hanyut dalam pelukan Stanley.

"Nggak."

Bukannya melepaskan pelukan itu, Stanley justru semakin mengeratkannya. Tidak ada niatan baginya untuk melepaskan pelukan itu. Ia ingin menyalurkan semua yang dia punya untuk Adney. Ia tidak ingin membuat Adney kembali terpuruk.

"Gue bilang lepas! Lo nggak tau bahasa manusia atau gimana sih?"

Adney melepas pelukan Stanley setelah tersadar bahwa ia tidak pantas mendapatkan pelukan itu. Ia terlalu menjijikkan untuk sekadar di dekati. Apalagi dipeluk seperti yang Stanley lakukan.

Ia melangkahkan kakinya meninggalkan lingkungan sekolah. Ia malas untuk bertemu apalagi berhadapan dengan orang-orang yang siap men-judge dirinya kapanpun. Langkahnya tegas dan besar juga cepat. Namun masih saja disusul oleh Stanley dari belakang. Stanley masih setia menemani Adney, meski semua orang tengah berlomba-lomba untuk menjauhi Adney lantaran gosip yang tengah menerpanya.

Hingga sesuatu terjadi pada Stanley setelah Adney menyebrang di jalan besar dan cukup ramai kendaraan. Sebuah mobil menghantam tubuh kokoh Stanley dengan cepat. Membuat dirinya terpelanting beberapa meter dari mobil yang menabraknya. Beberapa orang berteriak histeris menyaksikan kejadian yang berlangsung dengan cepat. Bahkan motor dan mobil yang sedang lalu lalang berhenti guna menyaksikan apa yang terjadi.

Adney yang sudah berjalan beberapa meter didepan Stanley pun ikut menoleh kebelakang. Dilihatnya kerumunan orang tengah mengerubungi seseorang. Tapi ia belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Hingga langkah kakinya mendekat pada kerumunan itu. Menyingkirkan beberapa orang yang menghalanginya melihat siapa yang menjadi korban tabrakan itu.

"S-Stan-Ley?" Ucapnya setengah kesulitan mendapati banyak darah keluar dari kepala Stanley.

"Maaf mbak, itu temannya?" Tanya seorang lelaki yang keluar dari mobil yang beberapa menit lalu menghantam tubuh Stanley.

"I-iya pak. Minta tolong segera dibawa ke rumah sakit pak." Ucapnya dengan mimik muka yang tidak bisa di artikan lagi.

Semua orang yang berada di lokasi membantu membawa Stanley yang masih mengucurkan darah dari kepalanya masuk ke dalam mobil yang manabraknya beberapa waktu lalu. Tentu saja Adney ikut membawanya. Stanley masih tersadar, bahkan didalam mobil pun ia menggenggam tangan Adney begitu erat seolah ia tidak bisa jauh dari Adney.

"N-Ney, g-gue min-ta m-maaf." Ucapnya diselingi batuk karena darah masih saja keluar.

Dan, itu adalah kalimat terakhir yang diucapkannya sebelum akhirnya Stanley menutup matanya.

***

Jeng jeng jeng... Come back dong:v
.
.
Nepatin janji kan?
.
.
Doain, mau ujian inimah:)
.
.
Makasih buat yang mau doain:)
.
.
Makasih juga yang masih stay disini
.
.
Jangan lupa follow Ig aku ya:)
.
.
Jangan lupa juga vote and comment 💓💓

AdneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang