Deru mobil memecah keheningan malam. Hanya tersisa beberapa kendaraan yang masih lalu lalang termasuk mobil milik Adney yang ia kendarai dengan kecepatan melebihi batas normal. Baginya cepat sampai rumah lebih baik dari pada nyawanya sendiri. Beberapa menit yang lalu ia masih bercanda dengan teman-teman kecilnya di panti. Senyumannya pun tak kunjung hilang kala itu. Namun seketika semuanya hilang dan raib. Saat sebuah pesan dari pembantunya merenggut semua kebahagiaannya detik itu juga.
Non, tuan tidak jadi ke luar kota. Beliau mencari non. Tolong non cepat pulang, bibi khawatir tuan marah.
Ia turun dari mobilnya dengan enggan. Kakinya memberat ketika beberapa langkah lagi ia sampai di depan pintu rumahnya. Tangannya bergetar terulur memegang gagang pintu utama. Nafasnya berhembus kasar, raut wajahnya pun tampak lelah. Namun kepalanya terlebih dahulu menoleh ke sisi kanan dan kiri memeriksa keamanan di rumahnya. Sunyi seperti kehidupannya sendiri. Decitan pintu yang harusnya tidak terdengar kini seperti memekakkan telinga lantaran tak ada suara lain yang terdengar.
Langkahnya mengendap. Pintu itu ia buka sedikit demi sedikit sampai tubuhnya muat di pintu itu. Ia segera menyelipkan tubuh rampingnya dengan hati-hati. Setelahnya, ia segera menutup pintu itu dengan pelan agar tidak ada yang terbangun karena dirinya.
Langkahnya mengendap layaknya maling yang ingin memasuki ruangan itu. Beberapa detik setelah itu, lampu di rumah besar yang ia tinggali menyala tanpa aba-aba. Tepat didepannya sudah berdiri seorang lelaki mengenakan jas hitam dengan kemeja putih kusut tengah berkacak pinggang. Tatapannya tajam, mulutnya sudah menyiapkan rangkaian kalimat untuk anak semata wayangnya itu.
"Adney Adamaris! Dari mana saja kamu!" Suara berat itu menginterogasinya.
Rasa takut kembali menghampiri Adney seperti beberapa waktu lalu. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin tanpa aba-aba. Ia menunduk, keberanian yang sebelumnya ia siapkan seakan menciut detik itu juga. Kepalanya berputar sembilan puluh derajat, menoleh pada sumber suara tanpa ada niatan untuk menjawabnya. Bisa dipastikan jika pemilik suara itu akan berbicara berlebihan dan justru menyakitinya.
"Dasar anak tidak punya tata krama! Kamu tidak dengar saya bicara apa?" Tegur lelaki itu yang tidak lain adalah papanya.
"Maaf pa." Kepalanya menunduk ia takut menatap manik mata papanya yang pasti sudah siap untuk melahapnya kapanpun.
"Maaf maaf! Kamu pikir dengan minta maaf bisa ngembaliin semuanya? Dari mana saja kamu? Menghabiskan waktu saja."
"Da-Dari panti pa." Jawabnya enggan sedikit tergagap.
"Sudah saya bilang! Jangan datang ke panti itu lagi! Apa kamu lupa?"
Bunyi benda berjatuhan terdengar jelas. Tentu saja semakin membuat Adney ketakutan. Tangan kokoh papanya yang menghancurkan benda-benda itu tanpa terkecuali.
"Maaf pa." Adney mendelik pada ayahnya. Ada segurat rasa benci dan takut menyatu dalam dirinya. "Adney cuman pengen lihat ibuk. Sudah lama Adney tidak kesana semenjak papa larang."
"Kamu!"
Tangan kokoh itu terangkat ke udara, bersiap memberikan tamparan pada pipi Adney namun segera ia urungkan. Bagaimanapun Adney adalah satu-satunya anak yang akan mewarisi semua kekayaannya kelak. Ia menyayangi anaknya, walaupun seringkali caranya itu terlalu keras dan salah.
"Stop!" Suara ibunya terdengar tegas seperti biasanya. "Papa apa-apaan si? Mainnya kekerasan gitu?" Lanjutnya.
Maafin papa nak, ucap papanya dalam hati.
"Kamu! Nggak usah ikut campur!" Lagi. Sekarang vas bunga dari Italia itu di tendang dan hancur tanpa sisa.
"Kenapa? Anda takut rahasia anda saya bongkar? Iya?" Ancam mamanya.
"Takut?" Ucapnya tersenyum remeh. "Pantang bagi saya takut dengan mahluk lemah seperti kamu!" Jari telunjuknya menunjuk tepat di wajah wanita yang masih sah menjadi istrinya.
"Sok!"
"Masuk kamar!" Titah papanya itu terdengar singkat namun cukup mendalam bagi sosok Adney yang keadaannya tidak sebaik biasanya.
Adney mengangkat kepalanya menatap manik mata kedua orangtuanya secara bergantian dengan tatapan sayu. Ia membawa dirinya ke kamar. Tidak ada lagi yang pantas ia lihat disana. Karena sudah bisa dipastikan orang tuanya akan bertengkar seperti biasanya. Mau dibilang bosan pun sudah tidak ada gunanya, orang tuanya selalu saja seperti itu baik ada dirinya ataupun tidak.
Kamar adalah surganya. Bagaimanapun keadaannya kamar selalu menjadi tempat baginya meluapkan keluh kesah. Pintu kamarnya ia dorong dengan keras dan segera duduk di depan meja rias miliknya.
"Bangsat! Orang gilak! Anjing! Bulshit! Bangke!"
Pyarrrrr
Kaca meja rias itu luluh lantak ketika tangan Adney meninjunya. Tangannya mengeluarkan banyak darah, bahkan tubuhnya terkena beberapa pecahan kaca yang terlempar ke segala arah. Rasa sakit itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan rasa sakit hati yang seringkali Adney terima.
Semua umpatan itu keluar begitu saja dari mulut Adney. Tidak peduli jika ada orang yang akan mendengarnya. Yang terpenting sekarang, ia harus melampiaskan semuanya tanpa terkecuali.
Sebuah ketukan mengehentikan aksinya detik itu juga. Semula ketukan itu pelan, namun semakin lama terdengar semakin keras, bahkan lebih terdengar seperti pintu yang digedor.
"Non."
"Jangan sekarang bi, Adney sedang tidak mau diganggu."
"Non, jangan berbuat yang aneh-aneh non. Bibi mohon!"
Hampir saja, ia hampir mengambil pistol yang ia letakkan di dalam lemarinya. Sengaja ia menyimpan sebuah pistol di lemarinya agar saat ia ingin mengakhiri hidupnya akan jauh lebih mudah.
Beberapa kali ia hampir saja mengakhiri hidupnya. Namun, selalu berhasil digagalkan oleh pembantunya itu. Pembantu yang memang sudah merawatnya sejak dulu hingga ia sebesar ini. Yang jauh lebih mengenal dan mengetahui dirinya jauh lebih baik dibandingkan orang tuanya sendiri.
Malang. Beberapa orang berpendapat jika hidup Raisa jauh lebih baik dibandingkan orang-orang
Bayangkan saja, hidup bergelimang harta. Tanpa kurang suatu apapun. Pembantu? Ada. Bodyguard? Jelas. Cantik? Jangan ditanya. Famous? Pastinya, siapa yang tidak kenal dengan mahluk luar biasa seperti Adney.
Namun sayang. Orang-orang itu salah. Semua pemikirannya salah. Kalau saja Adney bisa memilih lebih baik ia menjadi orang biasa yang jauh dari harta. Namun selalu mendapat perhatian orang tua. Percuma. Baginya percuma memiliki banyak harta namun orang tua terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Hidup tanpa kasih sayang orang tua mungkin serasa tabu bahkan tanpa rasa sama sekali.
"Argh. Persetan dengan hidup! Buat apa hidup. Anjeng!"
Sebuah letusan pistol terlontar begitu saja. Tanpa aba-aba. Dan membuat pembantunya kalang kabut.
***
Haiiiii
.
.
Apa kabar?
.
.
Baiklah, kangen ga? Kangen dong:)
.
.
Jangan lupa vote and comment 💓💓💓💓
KAMU SEDANG MEMBACA
Adney
Teen FictionAdney gadis bermata hazle yang Hidupnya serba mewah dengan segala kelebihan yang melekat pada dirinya. Ia adalah sosok yang menjadi di sekolahnya yang cukup ternama. Hidupnya selalu bahagia, senyumannya tidak pernah sekalipun meninggalkan wajah elok...