"Kita mau kemana lagi sih Ney? Apa nggak lebih baik besok aja? Ini udah malam loh Ney. Lo juga belum mandi. Kumuh banget. " Ucap Arka sembari memperlihatkan jam tangan berwarna hitam di pergelangan tangannya. Ia mencoba memberikan saran pada Adney berharap gadis itu mau ia bujuk.
"Ssst." Adney menempelkan jari telunjuknya pada mulut Arka dan berhasil membuat cowok itu terbungkam. "Jangan berisik. Gue maunya pergi sekarang. Kalau lo nggak mau nganterin biar gue pergi sendiri aja." Lanjut Adney tetap keukeuh pada pilihannya.
"Lo tuh cewek! Ini udah malam! Jam berapa sekarang? Jangan banyak tingkah deh!" Ucap Arka tegas dan disertai dengan sedikit gertakan agar Adney bisa mengikuti ucapannya meski harus dengan cara yang lebih keras.
"Apaan sih? Kok lo jadi banyak ngatur gini?"
Adney geram sendiri, baru saja sehari ia bertemu dengan Arka. Lelaki itu sudah banyak berkomentar dan tidak bisa membiarkan dirinya bebas. Apalagi jika ia jadi tinggal di rumah Arka. Jelas saja lelaki itu akan semakin banyak mengatur setiap pergerakan dari dirinya. Karena sejatinya, Adney bukan tipikal orang yang mau diatur oleh siapapun itu. Lebih-lebih lagi oleh orang yang baru saja ia kenal, seperti Arka.
"Because I love you baby." Ucap Arka datar. Tidak ada ekspresi seperti layaknya orang-orang yang menyatakan cinta. Matanya bahkan masih terfokus pada mobil yang ia kendarai, tangannya saja masih setia memegang setir mobil.
Mendengar ucapan Arka yang tidak masuk akal, Adney melayangkan tangannya pada pipi Arka yang masih fokus mengendarai mobilnya. Tidak keras, karena memang niat Adney hanya untuk menyadarkan Arka yang mungkin sedang tidak waras. Bagaimanapun juga jika bukan karena Arka mungkin dirinya sekarang sudah meregang nyawa.
"Sadar pak sadar!" Tangan Adney masih menepuk pelan pipi Arka hingga beberapa kali. "Mabok ya? Kok lo banyak ngelantur gini?" Lanjut Adney menghentikan gerakannya menepuk pipi Arka.
"Ya kalau gue nggak sadar. Mana mungkin gue bisa nyetir mobil tanpa nabrak sama sekali kaya gini sayang."
Kali ini Arka memutar kepalanya beralih menatap Adney. Tatapan Arka mengarah tepat di bola mata gadis itu, yang mungkin terlihat biasa saja. Namun sejujurnya Arka menyimpan rasa yang teramat dalam untuk Adney. Entah Adney merasakannya atau tidak, Arka pun tidak mengetahui. Yang Arka tau, rasanya tidak bisa ia sembunyikan lagi seperti beberapa tahun lalu.
"Iya juga ya. Ah bego gue."
"Nah itu tau kalau lo itu bego." Lirih Arka yang langsung dihadiahi tatapan tajam dari Adney.
"Lo bilang apa?" Ucap Adney dengan mata yang siap meloncat dari tempatnya.
"Nggak apa-apa." Ucap Arka dengan santai dan tanpa beban sama sekali.
"Ya udah."
"Ya udah, gue anterin aja. Biar lo nggak sendirian. Mau kemana kita sayang?"
"Bentar-bentar."
Arka menghentikan mobilnya dengan tiba-tiba. Tapi bukan asal berhenti gitu aja. Arka masih waras kok. Ia menepikan mobilnya terlebih dahulu sebelum menghentikan mobil dengan mendadak. Meski begitu, beberapa mobil yang tengah lalu lalang memberikan klakson pada mobil yang tengah dikendarai oleh Arka dan Adney.
"Apalagi Adney?" Ucap Arka sedikit kewalahan menghadapi Adney yang bisa berubah kapanpun ia mau.
"Pertama, stop panggil gue sayang." Adney menunjukkan telunjuknya menandakan itu angka satu.
Arka atersenyum kecut mendengar pernyataan Adney yang pertama. Tapi tidak apa-apa, dengan Adney yang akan tinggal di rumahnya saja itu sudah membuat Arka senang karena akan bertemu setiap hari dengan Adney tanpa perlu diam-diam seperti sebelumnya.
"Kedua, lo bukan siapa-siapa gue." Lanjutnya menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya menandakan itu angka dua.
Lagi, kali ini yang kedua. Tidak terlalu kecut seperti ucapan yang pertama tapi seolah menamparnya secara tidak langsung.
"Ketiga, gue baru pertama lihat muka lo. Jadi jangan sok akrab sama gue."
"Omongan lo nusuk." Ucap Arka pelan seraya melajukan kembali mobilnya memecah keheningan malam.
Masa iya sih omongan gue nusuk? Ah enggak kali ya. Apaan sih nggak penting juga mikirin dia. Paling-paling juga dia yang terlalu baper. Dia aja yang baperan, ucap Adney menebak dengan pemikirannya sendiri yang benar dan salahnya saja ia tidak tau.
Tetap saja. Adney adalah orang yang keukeuh pada pemikirannya. Sulit untuk diubah. Sekalinya berpendapat A akan tetap A, tidak bisa berubah menjadi C ataupun yang lainnya. Jika bersalah pun ia enggan untuk mengakuinya kecuali jika ia benar-benar bersalah dan memang dibutuhkan kata maaf untuk memperbaikinya.
"Heh Ney!" Arka menepuk pelan pundak Adney agar gadis itu tidak lagi melamun. "Malah ngelamun. Jadi pergi nggak?" Lanjut Arka.
"Em. I-iya jadi." Ucap Adney sedikit gugup lantaran ia masih sedikit kaget. Memang dasarnya Adney kagetan jadi ditepuk gitu aja tetap kaget.
"Kemana Ney?"
Mendengar pertanyaan Arka, Adney mengotak-atik HP Arka yang semula diletakkan sang empunya di kursi belakang. Adney masih berusaha mencari alamat yang ia tuju. Sesekali ia mengingat-ingat nama tempat yang akan ia jadikan tujuan dengan Arka.
"Ini alamatnya Ar." Adney menyerahkan handphone yang sedari tadi ia otak atik beberapa waktu lamanya.
Kini handphone itu telah berada di genggaman Arka. Lelaki yang tengah duduk disamping Adney itu masih fokus dengan kegiatannya menyetir mobil. Sesekali matanya melihat ke arah handphone yang ada di genggamannya guna mengikuti arah maps yang sudah tertera.
Pikiran Arka melayang jauh mencoba menebak tempat yang dimaksud oleh Adney. Lebih-lebih lagi dia tidak asing dengan alamat yang dimaksud oleh Adney.
"Bentar Ney." Arka memberikan jeda sembari menatap gadis disampingnya agar lebih mudah saat berbicara. "Ini bukannya rumah sakit ya?"
"Iya. Buruan deh Ar! Ini udah makin larut."
"Sabar dong Ney. Gimanapun keselamatan nomor satu."
"Terserah. Udah ayo buruan."
Mobil Arka melaju membelah keheningan malam. Menjajah jalanan yang siap membekukannya kapanpun. Mobil yang ia kendarai pun bisa dengan leluasa melaju dengan kecepatan diluar batas normal lantaran sedikitnya kendaraan yang lalu lalang di jam seperti itu.
Hingga mobil mereka memasuki kawasan yang menjadi daerah kekuasaan obat-obatan. Yaitu rumah sakit. Memasuki kawasan itu, mobil Arka mulai memperlambat lajunya
"Maaf mbak. Dilarang membesuk melebihi jam yang sudah ditentukan." Ucap seorang lelaki dengan baju khas satpam yang tengah menjaga gerbang rumah sakit tersebut.
"Pak. Saya harus jenguk temen saya. Kasihan dia. Ini juga darurat pak." Bantah Adney dengan gaya khasnya.
"Maaf mbak. Ini sudah peraturan rumah sakit, jadi mbak dan mas-nya tidak boleh masuk."
"Izinin aja pak. Kasihan, nangis ntar." Ucap Arka mencoba mencairkan suasana.
"Maaf mas. Tetap tidak bisa."
***
Haiiii
Lama tak see:v
.
.
Eh apa kabar?
.
.
Tenang tenang jangan marah. Enggak boleh marah-marah nanti darah tinggi loh.
.
.
Oke sebagai permintaan maaf aku kasih banyak part deh. AKU UP SETIAP HARI SELAMA SATU MINGGU FULL. Seneng dongggg.
.
.
Oiya aku nggak jadi kuliah gaissss. Biarin lah gapapa. Realita kan nggak harus sesuai dengan ekspektasi.
.
.
Ah elah malah curhat
.
.
Geser layarnya sampe bawah lalu tekan vote and comment 💓💓💓💓
.
.
Geser lagiiii tunggu besok buat up. Lopyu
KAMU SEDANG MEMBACA
Adney
Teen FictionAdney gadis bermata hazle yang Hidupnya serba mewah dengan segala kelebihan yang melekat pada dirinya. Ia adalah sosok yang menjadi di sekolahnya yang cukup ternama. Hidupnya selalu bahagia, senyumannya tidak pernah sekalipun meninggalkan wajah elok...