-39-

37 4 0
                                    

Setelah semalaman suntuk memperdebatkan banyak hal dengan mahluk bumi yang selalu saja menyebalkan. Tentu saja mahluk itu bernama manusia, Stanley tepatnya. Yang jelas, ia tidak akan pernah mau mengalah begitu saja jika berdebat dengan Adney. Apapun alasannya, ia harus menang. Terlebih dari semua itu, mereka tetap bersahabat baik. Namun tetap saja, Adney selalu memenangkan perdebatan itu.

Pagi-pagi sekali Adney berangkat sekolah dengan semangat yang lebih menggebu-gebu, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Ia sudah bertekad melupakan semua masalah yang ada pada dirinya. Apapun yang membuatnya sedih tidak perlu lagi disesali, apalagi dipikirkan. Hidupnya masih panjang, terlalu larut dalam suasana hatinya yang tidak baik bukanlah hal yang baik untuk ke depannya.

Tapi kenyataanya kenyataannya tidak sesuai dengan ekspektasi yang sedari tadi ia pikirkan. Beberapa kali ia menyapa siswa siswi lain yang tengah lalu lalang, namun tidak ada yang meresponnya. Tatapan sinis lah yang justru ia terima sejak melangkahkan kaki di lingkungan sekolah. Ia bahkan tidak tau sampai sekali apa yang sebenarnya terjadi. Yang pasti sepertinya semua orang terlihat enggan untuk sekadar tersenyum padanya.

Ia mulai memperhatikannya dirinya sendiri. Mulai dari mengecek seragam yang ia pakai, tidak ada yang berbeda dan masih seperti Adney yang dengan seragam ketat miliknya. Seragamnya pun tidak kotor, bahkan sangat bersih dan tentu saja wangi. Pandangannya beralih pada sepatu yang ia kenakan,  sepatunya pun tidak kotor debu saja enggan untuk hinggap di sepatu itu. Lalu, ia meraih sebuah ponsel di sakunya. Tangannya yang lihai bergerak menekan kamera guna bercermin, make up-nya pun sama seperti hari-hari sebelumnya. Semua seperti biasa, tidak ada yang berubah dadi dirinya selain berangkat lebih pagi. Tentu saja pikirannya mulai mencoba menerawang jauh, seolah mengajaknya menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi. Namun ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan pemikiran-pemikiran positif yang memang sudah menjadi kebiasaannya.

Ah, mungkin mereka pada kaget gue berangkat pagi kali ya. Biarin lah, mau ke kelas dulu. Ribet mikirin orang lain, pada nggak jelas, -ucapnya dalam hati.

Ia masih melangkahkan kakinya dengan santai, disertai siulan khas yang ia keluarkan dari mulutnya. Langkahnya berhenti ketika ia hanya berjarak kurang lebih tiga meter dari mading sekolah. Terlihat jelas mading sekolah itu ramai siswa, baik cewek maupun cowok. Padahal biasanya mading itu selalu sepi terlebih ini masih pagi. Dan hanya satu hal yang bisa membuat mading itu ramai siswa. Yaitu, salah satu siswa cukup terkenal di sekolah itu tengah di gosipkan dengan buruk.

Ia melangkahkan kakinya mencoba mendekat pada mading yang masih ramai siswa. Terlebih setelah ia melihat sosok cewek yang sudah menjadi temannya di sekolah. Cewek itu mengerubungi mading seperti siswa lainnya, hingga membuat Adney ingin tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.

"Ada apaan sih Ca? Tumbenan disini rame banget." Tanyanya pada Nica yang ikut melihat papan mading, ia kebingungan sendiri menanggapi Adney dihadapannya.

Nica tidak menjawab, wajahnya jelas terlihat seperti orang yang tengah kebingungan. Sontak saja ia menggelengkan kepalanya tanpa berani menatap Adney secara langsung, matanya bahkan menatap lantai berdebu yang ia pijak.

"Yaudah minggir, gue mau lihat!" Ucap Adney setelahnya.

Lagi-lagi Nica tidak menjawab. Gadis itu justru melangkahkan kakinya menjauh dari hadapan Adney dengan langkah tergesa-gesa. Hal itu semakin membuat Adney berpikiran tidak karuan. Tapi Adney masih pada pendiriannya untuk berusaha berfikiran positif.

"Apaan deh tuh anak, nggak jelas banget. Pakek lari lagi. Kan gue nggak ngapa-ngapain. Apa gue serem kali ya?" Pikirnya beberapa saat. "Biarin lah. Nggak penting juga." Lanjutnya kemudian mendekatkan dirinya pada mading.

Adney melangkahkan kakinya agar semakin dekat dengan mading.  Orang-orang yang biasanya  mendekati Adney kini berubah 180 derajat. Mereka semua menjauh saat melihat sosok Adney yang tiba-tiba saja datang. Seakan tubuh Adney kali ini penuh dengan najis yang tidak kasat mata. Semua siswa yang berada di hadapan Adney menyingkir tanpa ia minta, namun tidak menyingkir dengan hormat melainkan dengan tatapan jijik.

Ia mencoba tidak peduli dengan itu semua. Ia masih bersikap tenang dan melangkahkan kakinya pada mading yang hanya berjarak beberapa langkah. Sesekali ia menoleh pada sisi kanan dan kirinya yang masih saja menatapnya dengan tatapan jijik. Tidak apa, toh ia juga sudah terbiasa diperlakukan seperti itu.

Matanya menelusuri setiap jengkal bagian mading, harap-harap menemukan sesuatu yang berhasil menarik perhatian siswa dan siswi. Dibacanya satu persatu tulisan yang ada di mading dari puisi, cerpen, pantun dan semua hal yang tidak asing dengan mading. Saat Adney membacanya, siswa siswi itu bukannya mengerumuni mading itu lagi. Melainkan menatap Adney dengan tatapan merendahkan sambil berbisik dengan siswa lainnya.

Apaan sih nih orang? Pada nggak jelas banget. Gue diem aja diliatin sampe segitunya. Tuhan bawa gue dari sini. Gue kayak penjahat yang mau dihukum mati rasanya. Sedih akutu Tuhan. Ah, dah lah. Kurang kerjaan amat,-ucapnya dalam hati

Emosi Adney mulai terpancing. Ia merasa terintimidasi disana. Padahal ia pun tidak melakukan apapun yang membuat mereka membicarakannya. Namun ia tidak serta merta menyerah begitu saja, ia ingin tahu terlebih dahulu apa yang membuat mereka semua terlihat begitu membenci Adney dan jijik dengannya.

Hingga tatapan Adney terhenti pada sebuah foto yang berjudul 'buah jatuh tidak jauh dari pohonnya bukan?' dan 'kalo ayahnya jadi koruptor mana mungkin anaknya tidak?'

***

Iam back, lama ya? 2 Minggu deh kayaknya:v
.
.
Gapapa lah yeeee
.
.
Jangan lupa vote and comment 💓
.
.
Makasi juga buat yang masih stay disini:)
.
.
Follow Ig aku juga dong:)

AdneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang