[ TBP - 02 ]

29.8K 2.8K 184
                                    

- THE BILLIONAIRE'S PRINCE -

[ Ferran Daily - 02 ]









NORMAL POV

"FERRAN GOBLOK!!"

Stev membanting stick game yang ada digenggaman tangannya. Ruang VIP salah satu bar ternama dipusat Kota Jakarta ramai akan beberapa pemuda yang sibuk menghabiskan waktu bersenang-senang.

Botol minuman keras, kondom bekas, puntung rokok dan bungkus cemilan berserakan dimana-mana. Spesialnya ruangan VIP tersedia lapak untuk bermain games. Tentu, bukan games normal yang biasa di mainkan atau yang digandrungi remaja pada umumnya. Lebih kepada game sembari menjamah tubuh wanita yang mereka sewa.

"Udah jam tiga, balik yuk. Besok kita UN," ujar Ferran. Ia memijat pangkal hidungnya. Sedikit sempoyongan efek minuman yang ia komsumsi.

"Emang lo belajar?" sindir Dion, mengunyah kacang yang Ia kupas satu-persatu.

"Gue lagi dapet hukuman. Kemarin ke-ciduk nggak ada di apartemen. Akhirnya harus pulang."

"Suka sih gue sama lo, gobloknya natural. Nggak dibuat-buat," balas Cleo menertawakan nasib Ferran.

"Itu dinding es kenapa diam aja? Nggak ikut hujat gue? Buruan, mumpung gue lagi butuh hujatan," cerca Ferran pada sahabatnya, Leonard. Pria berwajah datar itu hanya menatap layar ponselnya. Sesekali, menyesap rokok yang ia apit di antara kedua jarinya.

"Yuk balik, Liora nyuruh gue pulang nih," ajak Leonard, ia bangkit dari tempatnya. Menatap sahabatnya. Err, ia menyorot sahabatnya. Tatapan khas Leonard itu terlalu tajam dan sedikit meremehkan apa yang ada dihadapannya. Lihat? Auranya saja begitu gelap. Bersyukur ada yang mau menjadi teman jalannya.

"Yakin gue dia nggak bakal bisa nikah, modelan begitu." Ferran bergidik ngeri.

"Awas ntar lo kualat, dia punya anak sedangkan lo masih jomblo," celetuk Dion. Meletakkan gelas ke permukaan meja.

"Gila lo, cewek-cewek lebih milih gue. Lo nggak tahu gue anak siapa? Cucu siapa? Capcipcup doang bisa dapetin cewek. Apalagi istri, gampang tuh."

"Yaudah sih, gue iya aja. Males repot," timpal Dion.

Jarum jam menunjukkan hampir pukul setengah empat pagi. Ferran menghela nafas panjang, ia menekan tombol remot mobilnya dan masuk ke dalam mobil. Ah, bibirnya mengukir senyum nakal. Mobil barunya sangat sesuai dengan selera dirinya. Elegan dan berkelas.

Dan Ia menginjak pedal gas dengan kuat. Melaju membelah kota Jakarta, mengemudi mobil kecepatan tinggi.



- oOo -



Hap

Berhasil, Ferran berhasil memanjat tiang mansion rumahnya. Ia ingin berteriak protes, mengapa kamarnya harus di lantai dua? Hingga dirinya harus bersusah payah untuk masuk ke kamarnya.

Ia menahan tubuh dengan tangan kirinya di peyangga. Sedangkan tangan kanannya terulur mengambil obeng di saku celana. Bergerak hati-hati, mencongkel lobang dari kunci jendela kamar.

Ia mengukir senyum menyeringai ketika terdengar suara 'krak' yang artinya dirinya sukses merusak jendela kamar.

Ferran membuka jendela kamarnya, lalu naik dengan gerakan teramat pelan agar tak menimbulkan suara apapun yang akan mengundang curiga penjaga rumah dan orangtuanya.

Ia melompat ke lantai, kakinya mendarat dengan sempurna. Bersamaan dengan itu, lampu kamarnya menyala. Ferran mendongkak dan tertawa canggung.

"O-ow," racaunya. Menatap Kenzo yang kini berdiri tepat di depan pintu sembari menggenggam tongkat golf andalannya.

"Tuan Muda Ferran?" panggil Kenzo, penuh peringatan.

"Pah, ntar ya ntar. Ferran haus banget. Marahnya pending dulu, semenit aja," pinta Ferran bernegosiasi.

Ia melangkah dan membuka kulkas mini yang ada di kamarnya. Mengambil sebotol air minum, menegaknya hingga tak bersisa.

"Alhamdulillah, nah Papah silahkan marah," titah Ferran.

Coba buktikan, di belahan bumi mana ada manusia yang menahan amarahnya hanya untuk menunggu pihak korban selesai minum?

"Kalau tau bakal ke-ciduk juga, harusnya Ferran lewat depan aja. Bengek Ferran karna manjat-manjat. Mana lecet, harusnya Papah chat Ferran dong. Bilang gitu, Ferran mau di ciduk," lanjut Ferran, mengerucutkan bibirnya. Ia merajuk.

"Papah nggak bercanda Ferran. Kamu inget besok udah UN? Masih leha-leha sampai jam empat pagi gini? Kamu sebenernya mau jadi apa?" tegas Kenzo. Naluri kebapakannya nampak jelas. Raut wajahnya penuh kekhawatiran.

"Maaf, Pah."

"Papah nggak pernah ngelarang kamu seneng-seneng Ferran, nggak pernah. Kamu bebas ngelakuin apapun. Tapi, inget waktu. Jangan kayak ini."

"Shh." Ferran meringis ketika kain celana yang Ia kenakan tanpa sengaja menggores luka di lututnya. Kenzo melangkahkan kaki mendekat pada putra semata wayangnya. Matanya fokus di salah satu kaki putranya yang bernoda merah.

"Kamu jatuh?"

Ferran menggangguk, sewaktu memanjat Ia memang tak sengaja terkilir, lutut kanannya menabrak batu.

"Papah telpon dokter."

Ferran dengan sigap menarik pergelangan tangan Kenzo. Lalu, menggelengkan kepala pelan.

"Udah jam berapa loh, Papah. Nggak baik bangunin orang bobo. Mamah dimana?"

"Mamah kamu udah tidur. Jangan ngasih tahu kalau kamu pulang malem. Nanti dia khawatir."

"Siap, Boss!"

Kenzo mengambil kotak P3K. Ia menggunting celana jins yang Ferran gunakan. Kemudian, membersihkan dan mengobati luka anaknya. Sesekali, Ia ikut meringis merasakan sakit.

"Bandel," hujat Kenzo.

"Iya, Ferran janji nggak akan ngelakuin gini, Pah."

"Kalau ngelakuin?"

"Ya, Ferran janji lagi." Balas Ferran secepat kilat.

Dan Kenzo menarik telinga anaknya dengan kuat. Setelahnya, menepuk pundak Ferran. Meminta putranya untuk beristirahat. Tidak pernah tega memarahi puteranya lebih dari itu.






T.B.C

Hope u enjoy this Story!!

Spam komen for next update!

Spam komen for next update!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
THE BILLIONAIRE'S PRINCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang