[ TBP - 15 ]

15.3K 1.8K 264
                                    

THE BILLIONAIRE'S PRINCE -

[ Atmosfer - 15 ]

NORMAL POV







Pernah membayangkan seseorang yang selalu bertindak konyol ternyata sosok insan yang mampu membuatmu merasa terintimidasi? Gila, seharusnya Ferran tak memiliki aura seperti saat ini. Tak ada kata tepat untuk mendeskripsikan Ferran. Dia benar-benar pria luar biasa dengan kharisma kuat. Sial, Salwa ingin mati saja di tempatnya.

"Bercanda kok," ucapan itu membuyarkan seluruh atmosfer. Kini, perut Salwa yang sebelumnya begitu menegang. Terasa jauh lebih baik. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya ketika atasannya itu kembali duduk di singgasananya. Persetan!

Terdengar suara kekehan kecil di bibir Ferran. Salwa mengepalkan tangannya merasa dipermainkan. Ya, tidak mungkin dirinya dan Ferran bertemu lebih dari tiga kali. Kecuali, dirinya memang sengaja bertemu Ferran dan itu bukan dari definisi takdir. Tetapi, memaksakan kehendak.

"Diluar sana, sekertaris saya bername tag Nurul akan menuntun kamu untuk bekerja. Silahkan keluar."

"Baik, Pak," balas Salwa, ia membalikkan tubuh.

"Dan satu lagi, usahakan besok datang sebelum Saya tiba di kantor." Ferran menyambung ucapannya tepat saat tangan Salwa menekan knop pintu. Kemudian, gadis itu menghilang dari balik pintu sepenuhnya.

- oOo -

"Bu Nurul."

Seorang wanita berkulit putih bersih, menoleh mendengar namanya di panggil. Salwa terperangah, wajah cantik dengan polesan makeup natural. Tubuh tinggi semapai. Porsi tubuh sempurna, Salwa menggeleng.

Jika dirinya saja terpana pada wanita ini. Siapa laki-laki yang tidak terpana? Salwa yakin seratus persen, Nurul adalah tipe idaman pria. Yang pastinya, wanita itu dapat membuat pria menyukainya dalam pandangan pertama.

"Salwa, ya?" Salwa mengangguk patuh. Sial, ia gugup.

"Saya Nurul Dwiyanti." Salwa menerima uluran tangan Nurul. Mulus, telapak tangannya mulus. Huhu, Salwa iri setengah mati. Ia hanya sebatas bawah bahu gadis ini. Dirinya terlihat cebol.

"Kamu pengganti Bu Salsa ya?"

Salwa memiringkan kepalanya. Salsa? Ia tak mengenalnya. Tidak, dirinya bahkan tidak mengetahui nama itu.

"Asisten lama Pak Ferran, dia udah berhenti setelah cuti hamil. Denger-denger Dia juga Istri sahabat Pak Ferran loh."

"Jadi Pak Ferran memang selalu mencari asisten orang sekitarnya?" tanya Salwa. Ia mengikuti langkah kaki Nurul.

"Yap, hampir setiap ganti asisten. Nah, ini ruang rapat. Sejam lagi, Pak Ferran ada jadwal rapat ngebahas projek Aliansi tiga perusahaan. Kamu harus ingetin dia, ya."

"Siap, Bu," ujar Salwa sopan.

"Pak Ferran suka kopi hitam pekat, nanti kamu bisa nyuruh OB buatin dia. Terus bawa ke ruangannya."

Salwa mencatat hal tersebut di buku note kecilnya.

"Pak Ferran selalu makan siang sendiri. Bagi beliau itu semacam 'me time' jangan ganggu pas makan siang. Okay?"

Hm, gatal rasanya bibir Salwa ingin mengkritik Ferran. Nurul menyerahkan berkas pada Salwa. Salwa menerimanya, ia memainkan alis bertanya isi berkas tersebut.

"Ini dari Bu Salsa. Katanya kamu nanti bakal butuhin."

"Oh iya, makasih, Bu."

Setelah meletakkan berkas tersebut dalam lokernya. Salwa dan Nurul berkeliling untuk mengenal seluk-beluk perusahaan. Sembari menggosipkan seputar Ferran.

- oOo -

Salwa mengetikkan sesuatu di keyboard laptop kantor. Ekor netra gadis itu sesekali melirik Ferran yang fokus pada layar hp yang landscape. Sepertinya, atasannya sibuk bermain games. Terbukti pada ekspresi wajah yang terkadang senang, kesal dan berkali-kali dirinya mengumpat.

Sekedar informasi, Salwa memang berada di ruang kerja Ferran atas permintaan pria tersebut. Padahal, tempat kerjanya berada di luar bersama Nurul. Ada meja tepat di sebelah pintu ruang kerja Ferran. Alibi Ferran untuk membuat keduanya lebih dekat agar mendapat kemistri yang cocok berpartner kerja.

Salwa menutup layar laptopnya. Ia mendekat pada Ferran. Mengetuk permukaan meja, mengalihkan atensi Ferran.

"Pak Ferran, rapat akan segera dimulai."

"Hm," timpal pria itu. Keningnya bertaut memperhatikan handphonenya. Ia juga memicingkan mata.

"Pak, ada rapat."

"Hm."

"Pak Ferran."

"Iya, Sayang?"

Salwa tidak bereaksi atas sebutan tersebut. Ia berpikir keras. Apakah seperti ini sikap kepemimpinan Ferran? Ingin dirinya menghujat Ferran sepenuh hati. Sanggupkah dirinya bekerja bersama Ferran? Mengabaikan perasaannya. Ini tentang sikap Ferran.

"Pak, para atasan udah berkumpul diruang rapat."

Ferran mengangguk pelan.

"Nggak apa-apa, mereka maklum kok. Saya naikin level dulu baru rapat. Biar nggak kepikiran," jawab Ferran tak melepas mata dari layar benda sejuta umatnya.

"Tapi, Pak-"

"Santai aja, santai. Kamu juga bisa kok santai kayak aku gini. Ada syaratnya, kamu harus jadi pendamping hidup saya," tukas asal Ferran.

Salwa mengepalkan. Dirinya hampir meledakkan emosi. Marah? Tentu, situasi genting dan Ferran masih bercanda? What the... Helllll!

Salwa berusaha mengukir senyum meski dirinya mungkin akan terlihat tidak ikhlas. Ia bukanlah orang dapat bersabar. Yang membuat dirinya kesal, Ferran mau menggunakan kata 'Saya' atau 'Aku' ? Ia merasa terganggu.

"Iya, Pak. Silahkan, perlu saya catat tidak? Siapa tahu itu hal penting."

Salwa sudah bersiap pada note kecil andalannya. Ia menunduk namun netranya mengintip Ferran.

"Kamu jauh lebih cantik dari pertama Kita ketemu," tutur Ferran.

Atmosfer itu kembali, atmosfer dimana Salwa sulit menghirup nafas. Ia dan Ferran saling melayangkan tatapan satu sama lain. Tatapan Ferran nampak teduh, keduanya terhanyut dalam suasana tersebut.

T.B.C

Apakah bunga-bunga cinta telah bermekaran?

Tebak selanjutnya mereka gimana?

1000 komen for next chapt🤣

Spam here!!!

THE BILLIONAIRE'S PRINCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang