[ TBP - 11 ]

16.6K 1.7K 81
                                    

THE BILLIONAIRE'S PRINCE -

[ Candu - 11 ]

NORMAL POV










Leonard menatap tubuh Ferran yang bergelung dibalik selimut. Ia mendesah nafas berat, menarik selimut putih yang Ferran gunakan. Ia mengernyit mendapati bercak darah di selimut tersebut. Tentu, Leonard mencoba mencari sumber dari noda darah itu. Seminggu sejak pemakaman Della, Ferran tak pernah meninggalkan kamar. Bahkan, untuk makanpun. Pria itu hanya beberapa kali memasukan nutrisi dalam perutnya.

Ia menekan bahu Ferran agar berbalik padanya. Menggengam lengan Ferran, Leonard mengeryit merasa telapak tangannya basah.

"Fuck!" umpat Leonard. Cairan merah, ia menggenggam kedua lengan Ferran, melihat jelas bagaimana kedua lengan pria itu luka. Bukan sekedar luka, karena ada begitu banyak garis-garis yang terlukis di lengannya. Leonard meringis, daging Ferran juga menonjol keluar. Di kedua lengannya, ia menoleh, menemukan pisau cutter di sebelah tubuh Ferran.

Ferran hanya memandang kosong.

"Fer, lo gila?! Ngapain gini sih?" Rahang Leonard mengeras, ia tak tahan. Ferran mungkin mencoba bunuh diri. Goresan luka di nadi pria itu sebagai buktinya.

"Della mana?" tanya Ferran, matanya menyapu belakang Leonard.

"Della udah nggak ada, Ferran. Dia udah pergi."

Ferran tertawa keras. Ia menyorot Leonard dengan tatapan tajamnya.

"Gue butuh Della, balikin Della!"

"Ferran."

Ferran bangkit dan duduk, kakinya menggantung di tempat tidur. Menunduk, kembali terisak.

"Gue sakit banget, Le. Rasanya kayak ada yang ngacak-ngacak dalam tubuh Gue."

Leonard mengalihkan pandangannya. Suara Ferran yang parau menandakan perasaan sahabatnya.

"Lo tahu? Gue pikir sakitin fisik gue bisa nipu otak gue. Gue pengennya fokus ke sakit fisik aja. Setidaknya ini bisa diobatin. Tapi, nggak ngaruh Le. Hati gue, otak gue. Nggak ada yang berubah. Sakitnya tetep sama. Gue justru nggak bisa ngerasain sakit fisik."

"Jangan gini, Ferran. Gimana sama Della? Lo harus ikhlasin dia," ujar Leonard.

"Lo pikir gue nggak nyoba ikhlasin dia? Satu minggu Leo. Gue nggak bisa tidur sedetikpun. Semua bayang-bayang tentang Della."

Seseorang membuka pintu kamar Ferran. Leonard yang hendak mengatakan sesuatu terhenti. Ia mengumpat pelan, ketika Kakek Ferran memasuki kamar. Tanpa berpamitan, dirinya meninggalkan kamar Ferran. Hubungannya dan Widjaya Pratama memang tidak sebaik itu untuk saling menyapa.

"Sampai kapan kamu mau nangisin wanita lacur, Ferran?" Widjaya melayangkan pertanyaan. Ferran memilih diam, kehabisan tenaga untuk berdebat. Sialan, ia tidak ingin menghadapi kakeknya sekarang. Terlalu muak.

"Keluar," suruh Ferran.

Widjaya tersenyum menyeringai. Lelaki berusia tujuh puluh sembilan tahun itu tertawa kecil. Kesempatannya mengendalikan Ferran akhirnya datang. Ia mendekat pada cucu semata wayangnya. Menyerahkan suntik kecil berisi segala yang Ferran butuhkan.

"Coba."

Ferran melirik kakeknya. Menerima suntik yang Kakeknya serahkan. Kedua alisnya bertaut. Ada cairan putih pekat disuntik itu.
Entah, Ferran meragukan Kakeknya. Tapi, otaknya mendorong ia mencoba. Karena, dirinya sendiri penasaran. Apakah, cairan itu bisa menghentikan penderitaannya?

Ekspresi Ferran tetap datar meski ia menyuntikkan jarum ke kulitnya. Ah, seperti mati rasa.

Ferran terdiam menikmati proses obat bereaksi. Dua menit berlalu, rasa sesak dirinya menghilang. Hatinya terasa tak ada beban. Bahunya ringan, Ferran mengukir senyum. Merenggangkan ototnya. Kemana seluruh sakit yang ia derita? Berhasil, semuanya menghilang. Ferran membutuhkan isi cairan dari Kakeknya.

"Gimana?" Widjaya menaikkan alisnya. Kerutan di wajah Widjaya membuktikan bahwa dirinya telah termakan usia.

Persetan, Ferran tak peduli benda itu narkoba atau apapun. Ia menginginkannya!

"Berikan padaku," pinta Ferran.

"Tahukan kamu harus menukarnya dengan sesuatu Ferran?"

Ferran mengangguk patuh, apapun akan ia lakukan. Ia bersumpah atas namanya.

- oOo -

"Jangan mendekat!!!" Gadis kecil itu berteriak frustasi. Dirinya bisa segera gila. Mengapa pria dihadapannya tak pernah menuruti permintaannya?

"Alea," panggilnya memperingati. Lelaki itu menghembuskan nafas gusar. Haruskah ia memakai cara kasar agar Alea dapat mematuhinya?

"Kak Xavier, please." Xavier tertawa mendengar permohonan Alea yang terdengar putus asa.

"No, back for me, Alea. I warning you," ujarnya dengan suara dingin. Alea menggembungkan pipinya tanda kesal. Ia melempar kunci mobil di genggaman tangannya. Gadis kecil itu bersikeras ingin mengemudi. Padahal, usianya masih begitu belia.

"Kamu belum cukup umur, Alea. Sini," titah Xavier. Ia membawa Alea ke dalam pelukannya. Memejamkan mata, mengusap rambut gadis kesayangannya. Alea memang keras kepala. Tapi, Xavier menyukainya. Alea memang bawel, tapi Xavier menyukai celotehan gadis ini.

"Mau makan dulu nggak?" tawar Xavier. Alea mengangguk.

Ia meraih kunci mobil, menuntun Alea masuk ke mobil sport miliknya. Dirinya lupa mengatakan bahwa dirinya membawa Alea ke danau salah satu desa. Ia berjanji, akan melamar Alea di tempat bersejarah ini.

Hampir tiga puluh menit, keheningan yang tercipta membuat Xavier mengernyit. Biasanya, Alea akan terus mengucapkan hal-hal kecil. Meski hanya omong kosong belaka.

Ia melirik Alea. Gadisnya tengah tertidur. Ia tertawa kecil. Meminggirkan mobilnya, kemudian menurunkan kursi mobil agar Alea lebih nyaman. Xavier terulur membuka jaket jins yang ia gunakan. Menyelimuti tubuh Alea.

Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan Alea? Dirinya ersyukur karena itu. Xavier mencintai Alea. Sangat mencintainya.

T.B.C

Gimana? Udah ngerasa ngenal Ferran lebih jauh?

Saya harap kalian menikmatinya!!!

Spam Here for next update😍

THE BILLIONAIRE'S PRINCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang