[ TBP - 03 ]

26.9K 2.3K 101
                                    

THE BILLIONAIRE'S PRINCE -

[ Ujian Sekolah - 02 ]

NORMAL POV

Umurnya 17tahun, pemuda itu berjalan di lorong koridor sekolahnya. Wajahnya nampak cerah, bibirnya selalu menebar senyum, auranya selalu setia menebar pesona dan juga selalu menebar rasa iri untuk kaum lelaki di sekitarnya.

Ferran Widjaya Pratama, pewaris tunggal keluarga ternama di Jakarta. Ukiran wajahnya sempurna, sifatnya ramah pada semua orang, orangtuanya bergelimang harta. Katakanlah Ferran adalah ikon dari pria tampan yang jauh dari kata dingin dan cuek. Berbanding terbalik dengan sahabat nya Leonard. Dimanapun Leonard, Ferran selalu setia mengekori pemuda itu.

"Selamat pagi guru cantik, aduh perasaan makin hari keliatan muda terus deh. Gimana kalau malem ini Dinner bareng?" Ferran menyandarkan bahunya di dinding sebelah pintu kantor guru. Ia menaik-naikkan alisnya. Memberi penawaran menarik pada guru yang melangkahkan kaki keluar dari ruang kantornya. Guratan lelah wanita itu tercetak jelas.

"Diem kamu, sana ke kelas," balas Mira, beliau adalah guru matematika yang terkenal dengan kata-kata pedasnya.

"Galak banget, jadi makin greget buat naklukin hatimu."

Tuk

Ferran menoleh, hendak protes pada seseorang yang melayangkan pukulan di kepalanya. Bibirnya hendak menyuarakan umpatan. Namun, ia hentikan begitu menatap siapa pelakunya. Ferran tersenyum menyengir, jarinya membentuk tanda 'peace'.

"Berhenti gangguin istri saya, Ferran," ucap Joko, akrabnya di panggil Pakjo. Perawakan dan nada suaranya memang kental sekali dengan suku jawa. Sayangnya, tak ada yang berani pada Pakjo. Pasalnya, Ia guru yang paling pelit dalam hal memberi nilai. Bayangkan murid terpintar di kelas saja harus menerima angka tujuh puluh tanpa alasan, apalagi Ferran, otaknya tak pernah memahami ucapan guru tersebut.

"Ya namanya juga usaha, Pak. Ntar kalau cerai langsung saya tikung tajem." Ferran tersenyum menyeringai, bola matanya bergeling nakal. "Kata orang yang galak-galak itu enak," sambungnya mengundang keambiguan.

"Brondong laku keras loh," goda Ferran, saat merasa kemarahan Pakjo mencapai level setan. Ia segera mengambil langkah seribu. Menjauhi kedua pasangan suami istri itu.

- oOo -

"Selamat pagi, cecan-cecan kesayangan Babang Ferran. Pangeran tanpa kuda putih hadir menghiasi hari-hari kalian," ucap Ferran lantang. Beberapa siswi menunduk malu, sebagian diantara mereka hanya menggeleng maklum. Pasalnya, siapa yang berani mengusik ranah seorang Ferran? Menyandang nama 'Widjaya Pratama' membuat orang berpikir seratus bahkan ribuan kali sekedar untuk menyapa pria jangkung tersebut.

Keluarga Ferran begitu terpandang dalam lingkungannya. Papahnya seorang bangsawan, Ibunya mantan putri kecantikan. Menurunkan anak seperti Ferran. Siapapun akan iri dengan kehidupan mewah Ferran.

Ferran melempar kertas tepat di meja Leonard, sahabatnya itu mendapat nomer duduk paling belakang. Ah iya, saat ujian siswa memang mengalami pembagian kelas.

Leonard mendongkak, matanya menyorot langsung pada Ferran.

"Apa?" tanya Leonard.

"Bagi jawaban ya, Le."

Leonard mendengus, ia sendiri tidak pernah menyentuh buku. Bagaimana caranya memberi Ferran jawaban saat ia tak tahu harus mengisi kertas jawabannya dengan kalimat apa? Sudahlah, toh soalnya akan ada pilihan jawaban. Hanya perlu menggunakan insting dan melingkari kertas.

- oOo -

Atmosfer udara mendadak begitu dingin ketika kertas soal telah dibagi oleh sang pengawas. Ferran mengeluarkan segala bentuk keperluan untuk menjawab pertanyaan. Syukur kemarin Ia membeli ponsel baru yang desainnya lebih tipis. Agar mudah untuk Ia sembunyikan di balik kos kaki yang Ia pakai. Waktu berdoa telah selesai. Ferran menarik nafas, lalu menghembuskannya. Ia menutup ujung kode di ujung lembar soalnya. Secara pelan-pelan membaca kode tersebut dengan mata memicing.

"Kode A-22," gumannya, mengangguk paham. Ini adalah ujian pertama, matematika. Ferran mengembungkan pipinya.

"Oke, kerjain yang paling gampang dulu," Ferran membuka lembar pertama. Ia begitu serius membaca soal tanpa memperdulikan sekitar. Tak ada yang mampu ia jawab. Menuju lembar kedua, masih tak ada yang mudah. Hingga pada lembar terakhir, soal nomer 40. Ia masih tak sanggup menjawabnya.

"Allahuakbar, ini ujian kelulusan atau lagi nguji kesabaran?! Please, ngapain capek-capek sekolah tiga tahun cuma buat ngitungin jumlah hari pekerjaan di gedung? Gue emang kepo, tapi nggak gila urusan, ini aja di perhitungin."

"Apa pula ini? X kali Y terus dibagi? Sampai mau nangis hue rasanya."

Ferran bertekad, setidaknya Ia harus menjawab satu soal. Ia mulai menulis rumus di kertas cakaran miliknya. Setengah jam berkutat dengan kertas tersebut, Ia tersenyum bangga saat mendapatkan hasil.

"22,9," serunya, mencari jawaban itu di kolom pilihan ganda.

"Fuck, kok nggak ada?!" semua jawaban di pilihan ganda tak ada satupun yang menghasilkan bilangan koma. Sedangkan, jawaban Ferran menghasilkan koma. Rumus apa yang ia perhitungkan?

Ia melirik ke belakang dimana meja Leonard berada, mengeryit mendapati betapa tenangnya seorang Leonard. Leonard lagi dalam mode cerdas?

Waktu ujian masih panjang, Ferran mendadak merasakan serangan kantuk luar biasa. Ah, semalam Ia hanya tertidur dua jam. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, memberi kekuatan pada dirinya. Namun, Ferran tidak tahan. Ia melipat tangan pada permukaan meja. Memposisikan tangannya sebagai bantalan kepala dan tertidur se-lelap mungkin.

- oOo -


Seorang gadis sibuk merapikan taman bunga di halaman rumahnya. Ia menoleh dan menatap Mamahnya yang tengah mengusap peluh. Jemarinya dengan penuh semangat mencabuti rumput-rumput liar yang menjadi hama bunga dalam pot.

"Ma, istirahat dulu, yuk?" ajaknya.

Hanna mengangguk, Ia tersenyum tanda setuju. Beberapa jam berkutat dengan halaman rumah memang begitu menguras tenaga.

"Hari ini Kamu shift sore?" tanya Hanna pada putrinya. Putrinya menggeleng, ia sebenarnya sangat ingin menikmati libur sekolah, karena kelas tiga tengah menjalani ujian nasional. Tapi, ia juga harus tetap bekerja sebagai kasir di kedai kecil tetangganya.

"Malem, Ma. Mama nggak apa-apa kan tinggal sendiri?"

Papah dan Mamahnya bercerai dua tahun lalu, sering kali mendapat kekerasan rumah tangga. Membuat Hanna tak bisa bersabar lebih lama. Ia hanya manusia biasa, meskipun naluri keibuannya tak ingin memisahkan anak dan sang Papah.

"Kakak kamu ngasih kabar nggak?" tanya Hanna.

"Dia subuh ini nelpon kok, katanya ada kerjaan juga. Jadi, susah buat ngasih kabar," jawabnya.

Raut wajah Hanna nampak sedih, bukannya Ia ingin membiarkan kedua anaknya bekerja. Namun, jika hanya dirinya saja yang mencari nafkah, itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

"Salwa, maafin Mamah, ya?"

T.B.C

Kim Yerim as Salwa Adiwinata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kim Yerim as Salwa Adiwinata.

THE BILLIONAIRE'S PRINCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang