[ TBP - 48 ]

8.8K 1.1K 175
                                    

-THE BILLIONAIRE'S PRINCE -


[ INSECURE - 48 ]


NORMAL POV







"S-saya pernah nyinggung hati Bapak tentang ini... Pantes aja Pak Ferran sensitif. Saya minta maaf." Perkataan tulus, Salwa merasa tidak enak hati pada Ferran.

"Stt... Jangan ngomong gitu. Karena, saya serius sama kamu. Untuk itu kedepannya kamu nggak perlu ngeraguin perasaan saya lagi."

Ferran merengkuh tubuh Salwa. Mengeratkan pelukannya, serta menepuk-nepuk punggung Salwa. Salwa tahu satu hal, bahwa ia juga terlalu terburu-buru menyalahkan Ferran.

Salwa jauh lebih egois dibanding Ferran. Nyatanya, pria yang memeluknya ini memendam luka luar biasa dihatinya. Bagaimana mungkin Ferran sanggup bertahan dengan senyum dan guyonan recehnya?

Setelah menenangkan perasaan Salwa, Ferran menaburi bunga di atas tanah tempat Della bersemayam. Ada perasaan lega, seolah beban berat yang ia tanggung menghilang.

Ferran menggenggam tangan Salwa, kembali ke mobil. Kencan pertamanya tak bisa dibilang mengesankan. Tapi, dirinya bertekad sejak dulu. Jika, hatinya telah berlabuh, maka yang pertama kali akan Ferran lakukan adalah membawa sosok pemilik hatinya ketempat ini.

Bukan merupakan tempat yang bisa ia banggakan, hanya saja disinilah Ferran terkurung dalam jeruji khayalannya. Rasa takut dan bersalah mengekangnya.

"Pak Ferran." Lamunan Ferran buyar, ia menoleh ke kiri dimana Salwa duduk di kursi penumpang sebelah dirinya.

"Hm?" Ferran menaikkan alisnya, wajahnya begitu lembut dan teduh. Sial, hati Salwa menghangat. Sentilan kecil menyenggol relung Salwa.

Masa lalu Ferran... Mampukah Salwa bersanding bersama pria itu? Ia mencintai Ferran, ia mengerti Ferran tersiksa. Tetapi, dirinya juga tak ingin membenarkan perbuatan Ferran.

"Salwa, mikirin apa?" Salwa menggeleng, pertanyaan Ferran membuyarkan fantasi dirinya. Ia mendengkus pelan, menyandarkan punggung di sandaran kursi mobil. Setelahnya, memejamkan mata.



- oOo -




Salwa terlonjak, dirinya terkesiap kala ia bermimpi buruk. Ia memandang langit-langit, berada di kamarnya dengan penerangan lampu yang minim. Sepertinya Ferran membawanya kembali ke rumah. Salwa terlelap, ia bahkan tidak tahu sekarang pukul berapa.

Yang Salwa ketahui, tenggorokannya terasa kering. Ia menurunkan kaki dari tempat tidur. Tangannya menekan sakelar lampu, tertuju pada jam dinding.

Pukul dua, tak biasanya Salwa terbangun di jam-jam seperti ini. Salwa mengambil air di kulkas, menegak bibir botol berisi air mineral tersebut.

"Lho ngapain?"

Genggaman tangan Salwa melemah, botol yang Ia minum sebelumnya terjatuh dilantai. Air mineral membasahi lantai. Ia terkejut bukan main.

"Apaan sih?! Kaget!" Setengah teriak, respon tubuh Salwa yang tercengang.

"Mas lebih kaget denger suara Kamu, syukur nggak jantungan." Dion yang menggenakan piyama tidurnya menarik kursi dan duduk.

Salwa mengambil kain pel untuk menyapu lantai atas ulahnya.

"Kamu beneran sama Pak Ferran? Atasan kamu? Kamu yakin?" Salwa meneguk salivanya, ia menggosok secara random. Mengapa dirinya merasa diintimidasi?

"I-itu... Y-yaa nggak juga." Jawaban Salwa tak menjelaskan apapun.

Dion berdehem, menggeser posisi tempat buah ke sisi lainnya.

"Itu hak kamu mau jalanin sama siapa. Tapi, Mas harap kamu sadar siapa sosok Ferran dan siapa kamu. Salwa, Mas nggak ngerendahin kondisi kita. Ngertiin dikit aja, kalau kamu bener-bener sayang dia. Seharusnya kamu udah tahu apa yang terbaik buat dia." Salwa menggigit bibir bawahnya, perasaan gundah membuatnya gusar.

"Sama kan dengan Mas Riffat?"

"Sama?" Dion menaikkan satu alisnya, bibirnya yang berbentuk tersebut terkekeh.

"Kamu lebih dulu kenal orang tua Riffat dibanding ngenal Riffat sendiri. Orangtuanya ngganggap kita anak. Salwa... ada sesuatu yang di dunia ini bisa kita usahakan adapula yang harus kita relakan."

"Jadi, Mas nggak setuju? Mas egois tau nggak?"

"Pada akhirnya kamu cuma ngelukain dua belah pihak. Salwa, yang egois kamu. Perasaan kamu di atas segalanya. Terkadang, hal sekecil itu mungkin bisa kamu abaikan... Sudah. Mas nggak pengen berantem. Kamu sudah cukup dewasa, memilih mana yang terbaik dan yang terburuk. Kamu bisa nanggung resikonya sendiri."

Suara decitan kayu beradu dengan lantai memecah ketegangan keduanya. Baik Salwa ataupun Dion tak ingin melanjutkan pembahasan lebih jauh. Dion meninggalkan dapur, sedang Salwa terpaku di tempatnya.



- oOo -



"Kamu mikirin apa?"

Salwa menoleh, mendapati sisi kiri wajah Ferran yang fokus menyetir mobil. Kemana sopir andalan pria itu?

Tadi pagi, Ferran datang menyapa dan menjemput dirinya untuk berangkat bersama. Namun, Salwa tak berhenti melamunkan ucapan Dion semalam. Ia bahkan tak dapat terlelap lagi.

"Pak Ferran," panggilnya.

"Iya, Sayang?" Ferran membalikkan kepalanya sejenak. Matanya kembali menghadap jalan yang padat kendaraan.

"Ada kemungkinan orang tua kamu nggak setuju sama aku?" Ferran tertawa kecil, ternyata Salwa juga memikirkan jauh tentang hubungan serius keduanya? Mengapa hatinya mendadak begitu hangat atas pertanyaan kekasihnya? Sialan, Ferran menjadi budak cinta.

"Hmm... Kalau misalkan iya? Apa yang kamu lakuin?" Ferran mengetuk-ngetuk stir mengikuti irama musik mobilnya. Sekedar menggoda Salwa mungkin akan menyenangkan bukan?

"Saya ngelepas, Pak Ferran."

"Kok nggak mertahanin saya sih?" Ada nada protes keras dari tanggapan Ferran.

"Orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya, Pak Ferran terlebih Pak Ferran anak tunggal."

"Semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya tapi nggak semua orang tua tahu apa yang sebenarnya terbaik untuk anak."

"Pak Fer—"

"Salwa..."

Salwa mengernyit mencoba mendengar dengan jelas kalimat Ferran. Suara bising klakson kendaraan menutupi semuanya. Salwa membalas senyuman Ferran. Meski demikian, tak mampu menenangkan perasaan gundah seorang Salwa.




T.B.C

DOUBLE UP?
FOR NEXT CHAPTER JUST 150KOMEN!

HAPPY SATNIGHT!!!

HAPPY SATNIGHT!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
THE BILLIONAIRE'S PRINCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang