[ TBP - 45 ]

11.4K 1.4K 334
                                    

-THE BILLIONAIRE'S PRINCE -


[ Yang Terluka - 45 ]


NORMAL POV




Tenggorokan Ferran begitu tercekat. Pasokan oksigen disekitarnya menipis, begitu sesak dan banyak hal yang tak mampu ia jelaskan. Ia memang tidak lebih baik dari seorang Leonard.

Dirinya sibuk mempelopori yang lain sedangkan nasib percintaannya sendiri tak semulus harapan. Ferran menatap punggung ringkih Salwa yang meninggalkannya sendiri.

Sampai kapan dirinya harus melalui berbagai lika-liku perjalanan cintanya? Shit, Ferran merasa sudah kehilangan Salwa tanpa sempat memiliki gadis tersebut.

Ferran menggelengkan kepala menepis pemikiran berat yang menjadi pemicu dirinya kekurangan tidur. Setelah menenangkan sejenak perasaannya, Ferran melangkahkan kaki keluar ruangan.

Rupanya kantor masih ramai, Ia merasa takkan berkonsentrasi jika melanjutkan pekerjaan. Tanpa berpamitan, Ferran memanggil sopirnya untuk mengantarnya pulang.

Ferran masuk ke dalam mobil berlogo jaguar koleksi pribadi Papanya, ia menekan tombol menurunkan kaca jendela. Debu, polusi menerpa wajah Ferran.

"Difilm kalau buka kaca gini bakal ada angin sepoi-sepoi, gue malah diselimuti debu gini," ujarnya, Banu nyaris tak dapat menahan tawanya mendengar celotehan Ferran.

Ferran mengusap hidungnya yang gatal, kembali menutup kaca jendela. Awalnya ingin terlihat merana, namun gagal. Eksistensi dirinya seolah berkurang.

"Banu, lo kalau galau ngapain aja?" tanya Ferran, Spontan Banu mengusap dadanya.

Butuh waktu berapa lama bagi Ferran menyebut namanya dengan benar? Haruskah momen ini menjadi momen bersejarah?

"Saya nggak pernah galau Pak," jawabnya singkat. Bekerja dibawah pimpinan keluarga Kenzo yang ternama membuatnya mengurungkan diri dari dunia percintaan.

"Gue mau ceritain sama Leo, tapi masalah keluarga dia juga belum selesai. Apalagi baru-baru ini Adinda keguguran, kan? Gue mesti handle semua projek Aliansi," curhat Ferran.

Helaan napas frustasinya membawa pengaruh cukup buruk bagi Banu, ia turut merasakan penderitaan Ferran.

"Pak Ferran, kan, udah lama nggak pacaran, gimana kalau nyoba sama yang dikenalin Den Cleo kemarin?" umpan Banu. Mengingat dirinya sempat menguping pembicaraan serius keduanya.

"Oh iya, Cleo emang mau ngenalin cewek bahenol ke gue." Ferran berfikir sejenak.

Urusan cinta obatnya hanya cinta bukan? Tapi, jika dirinya menjalin hubungan dengan orang lain bagaimana tentang Salwa? Dirinya akan semakin memperkeruh suasana.

"Namanya siapa kemaren? Inget nggak? Hula? Hela? Jula?"

"Nona Kazila, Pak Ferran." Ferran mengepakkan tangan menyetujui Sopirnya.

"Nah itu maksud gue Kazila. Orangnya cantik, senyumnya manis. Bukan type gue, Ban," tukas Ferran.

"Perasaan Den Cleo nyaranin Nona Kazila karena dia tipe yang paling di idamin, Pak Ferran."

"Udah ganti. Lo tau nggak tipe gue yang sering senyum terpaksa, yang sering nolak permintaan gue, yang sering pasrah meski tau gue salah, yang badannya pendek, rambutnya dibawah bahu, matanya bersinar penuh harapan, sering debat sama gue-" Jeda, Ferran menjeda kalimatnya sekedar menyandarkan diri di sandaran kursi mobil.

Ferran menatap langit-langit membayangkan seseorang.

"Bilang aja, tipe Bapak itu Bu Salwa, kan?" Tepat, Ferran melirik sengit Banu melalui kaca cermin yang menggantung di sisi depan.

"Jangan frontal gitu lah, gue nggak nyebut dia tuh." Telinga Ferran memerah, disertai jantung berdegup kencang.

Sialan, membahas tentang Salwa saja dirinya seperti mengidap kelainan kronis.

"Lo balik ke rumah pakai mobil gue aja. Ini kuncinya, jangan pakai mobil Bokap atau naik taxi. Awas lo," titah Ferran memberikan kunci mobil miliknya yang ia bawa.

Tak mengendarai mobil tetapi selalu membawa kunci. Katakanlah Ferran memang sosok aneh yang cukup unik.

Dengan kebanggaan Ferran memasuki kediaman Mansion besar Keluarganya. Ferran menangkap objek dimana Mamahnya sedang menuruni tangga sembari membahas sesuatu dengan kepala pelayan.

Ide jail bergerilya di otak Ferran. Ia tertawa setan dalam hati.

"Mami," panggilnya lesuh.

Alissya menoleh mendengar putra semata wayangnya. Ferran nampak mengusap perut dan memijat pelipis. Rasa khawatir menderanya. Ia melangkah cepat menuruni anak tangga.

"Loh Ferran kenapa?"

"Mami, Ferran pusing berkunang-kunang, perut Ferran melilit, Ferran juga mual. Mami gawatt.."

"Bentar Mama suruh nelepon Dokter. Kamu ke kamar dulu. Nanti Mami keatas."

"Ferran udah tahu Ferran kenapa."

"Udah meriksain diri?" Alissnya mendaratkan tangannya di dahi Ferran. Memeriksa putranya, raut wajah penuh khawatir terukir disertai kerutan halus di wajah menawan Alissya.

"Ferran hamil, Mi."

"ANAK KURANG AJAR KAMU FERRAN NGERJAIN MAMI!!!!!"

Ferran mengambil juruz andalannya. Melangkah dan segera melarikan diri sebelum menerima amukan Alissya dengan suara tawa yang menggema.

- oOo -

"Umi?" Davira segera meletakkan katalog yang Ia genggam, melepaskan kacamata yang menggantung dan menepuk sisi tempat tidur meminta putranya duduk.

"Kamu ada masalah?" tebaknya. Tepat, firasat seorang Ibu selalu benar. Riffat tersenyum tipis dengan wajah pias.

Rifdat tak mampu menyembunyikan apapun. Davira mengenalnya, tentu tanpa menyembunyikan apapun. Ia menempatkan diri disamping Davira. Segera memeluk Ibunya.

"Umi, rasanya sakit," ucapnya, menenggelamkan wajah di ceruk Davira. Riffat tetaplah anak kecil dimatanya. Selalu meminta perlindungan diwaktu tertentu.

Biasanya Riffat akan menangisi waktu dimana "Nanny" dirumahnya memutuskan untuk pindah atau berhenti karena alasan-alasan tertentu. Namun, kali ini Ia bisa menebak bahwa putranya di landa kegundahan akibat wanita.

"Kayaknya keputusan Riffat ninggalin dia ke London keputusan yang salah, Mi." Davira mengusap rambut putranya.

Ceruk lehernya terasa basah. Sumbernya dari mata Riffat. Hati Davira turut berdenyut.

"Riffat sayang Salwa, Mi." Davira mendorong pelan bahu Riffat hingga dirinya dapat melihat bagaimana air mata menetes di pipi Riffat.

Ia mengusap wajah Riffat. Namun, air mata Riffat justru mengalir lebih banyak.

"Riffat, keputusan kamu nggak salah. Sejauh apapun kamu pergi. Jika, Tuhan menciptakan Salwa untuk kamu, untuk menjadi pendamping hidup kamu Dia akan tetap kembali sama kamu," nasihat Davira, menenangkan putranya.

"Sekarang Riffat harus apa?"

"Curi hatinya di sepertiga malam kamu, Riffat."

Riffat mengangguk, terulur merengkuh Ibunya dengan erat. Setidaknya, dirinya masih ada kesempatan selama Salwa belum dimiliki siapapun.

Sekalipun hati gadis itu telah berlabuh di tempat lain.



T.B.C

Hope u enjoy This Storyyyy❤❤

HATI KALIAN BERLABUH SAMA SIAPA NIH?

Hehe❤❤

SPAM HERE FOR NEXT CHAPTER!!!

THE BILLIONAIRE'S PRINCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang