-THE BILLIONAIRE'S PRINCE -
[ Semua Tentang Waktu - 38 ]
NORMAL POVSalwa membuka kelopak matanya setelah memejamkan mata beberapa detik. Ia menekan knop pintu berlapis aluminium tersebut. Mendorong pintu hingga terdengar suara derit pintu berada dengan lantai.
Matanya tertuju pada satu objek insan yang tengah duduk di kursi singgasana miliknya, atasannya Ferran Widjaya Pratama. Pria itu memanggilnya tadi.
Salwa terulur menutup pintu, memberi ruang privasi lebih pada keduanya. Kakinya melangkah, permukaan sepatu berhak tinggi yang ia gunakan menggesek lantai. Meski cukup untuk mengalihkan fokus seseorang.
Ferran masih bergeming, seolah dirinya tak menarik perhatian pemuda berstatus atasannya tersebut.
Ferran meletakkan lengan di meja kaca kerjanya. Ia menautkan jemarinya. Kini, obsidiannya menatap lurus pada Salwa.
"Lupakan ucapanku semalam." Ferran menantikan ekspresi Salwa. Namun, gadis tersebut bahkan tak menunjukkan sisi keterkejutannya.
"Baik, Pak Ferran." Suara Salwa terdengar tegas. Tak memiliki setetes keraguan.
"Saya menanti surat pengunduran dirimu." Salwa mengangguk, dibanding dipecat oleh Ferran. Setidaknya, dirinya akan lebih terhormat jika menyerahkan surat pengunduran diri.
Salwa cukup sadar, bahwa kinerjanya yang tak kompeten akan menjadi bom waktu. Dirinya selalu berusaha siap jika Ferran memintanya berhenti.
"Baik, saya akan menyerahkannya sore ini. Terima kasih atas kesempatannya, Pak Ferran." Salwa pamit, ia berbalik meninggalkan ruangan.
Langkahnya terhalang oleh cekalan tangan Ferran. Pria tersebut menyudutkan dirinya di antara pintu dan tubuh kokohnya.
"I'm pretty sure that I'm fall in love with you, Salwa. But sorry, this is wrong time." Salwa terenyuh. Suara Ferran begitu hangat, berat.
Tak ada keraguan, melainkan penyesalan. Itu khas sekali pada suara Ferran. Ferran melepaskan cekalan tangannya.
Ferran bahkan membuka pintu untuk Salwa. Ia tersenyum tipis, mengakhiri ikatan batin yang terikat pada kedua jiwa tersebut.
- oOo -
Salwa merapihkan berkas-berkas di mejanya. Ia meletakkan buku panduan asisten diatas tumpukan kertas. Ia menghela nafas panjang, sudah hampir setengah tahun bekerja menjadi bagian keluarga FWP Corp. Ada perasaan rindu yang tiba-tiba merayap di hatinya.
"Kamu bener-bener bakal berhenti?" Salwa berbalik, ia mendekat pada Nurul. Memeluk erat wanita yang selalu menemaninya itu.
"Ini perintah langsung dari Pak Ferran," ucap Salwa. Ia mengusap punggung Nurul.
Nurul terulur menggenggam erat tangan Salwa. Menyalurkan rasa sedihnya pada gadis dihadapannya.
"Semoga bisa dapetin pekerjaan yang lebih baik." Nurul kembali memeluk erat Salwa. Ah, mengapa dirinya tak bisa merelakan teman berbagi keluh kesahnya ini?
Drrrttt
Drrrtt
Ddrtttt
Suara dering ponsel Salwa meluruhkan percakapan keduanya. Salwa mengambil benda sejuta umat miliknya. Ia menepuk dahi kala nama seseorang terpampang di sana. Jam makan siang, dirinya hampir saja melupakan janji kepada Riffat.
"Aku makan siang dulu, Mbak Nurul." Nurul mengangguk pelan, ia melayangkan kepalan tangan di udara, memberi semangat jasmani pada Salwa.
Salwa berlari menuruni anak tangga satu persatu, dirinya bahkan tak berpikiran lagi menggunakan lift. Karena, Salwa yakin di jam seperti saat ini, banyak karyawan yang memilih lift.
Salwa mengusap bulir-bulir keringat dan beberapa meter dari hadapannya, Riffat berdiri dengan tangan bersedekap. Salwa tertawa kecil, ia menghampiri pemuda yang dibalut potongan setelan resmi tersebut.
"Jangan bilang kamu lupa, aku bakal balik ke kantor sekarang." Riffat mengucapkannya, menyindir Salwa.
"Iya, maaf. Tadi banyak urusan di atas," balas Salwa. Ia tanpa malu merangkul lengan Riffat.
Mengundang tanya dari karyawan yang memperhatikan mereka. Mereka cukup sering melihat Riffat di televisi, mengisi acara-acara pemberi motivasi.
Salwa mengernyit ketika Riffat membuka pintu mobil untuknya, pasalnya mereka berniat makan di kedai depan. Cukup berjalan dua menit mereka akan tiba di tempat tujuan.
"Udah masuk aja, aku nggak akan nyulik kamu, Salwa jelek, mikir jahat terus." Setelah mematahkan pemikiran Salwa tentang dirinya, Riffat memaksa Salwa untuk masuk ke kursi belakang mobil. Bersama dirinya yang duduk di sebelah Salwa.
Mobil-mobil saling melambung satu sama lain, Salwa berkonsentrasi pada sekitarnya. Riffat tersenyum, wajah Salwa nampak begitu serius. Gadis di sampingnya memang sangat manis saat tengah berpikir keras.
"Salwa." Salwa tak menanggapi, lebih tepatnya dirinya terlalu sibuk melamun. Niat Riffat memberitahu Salwa ke tempat persinggahan mereka ia urungkan.
Memilih menikmati keterdiaman keduanya, sudah pasti dengan detakkan jantungnya yang menggila.
Salwa mengerutkan kening, Ia turun dari mobil porsche kepemilikan Riffat. Pria itu membawanya ke sebuah gedung tinggi yang besar. Gedung itu tampaknya belum selesai di renovasi sepenuhnya.
"Yuk masuk." Riffat menggenggam erat telapak tangan kanannya, melangkahkan kaki ke gedung tersebut.
Para pekerja yang sibuk merapihkan gedung itu mendadak menghentikan kegiatan mereka. Memilih meninggalkan gedung, memberi privasi atas perintah atasannya.
"Inget nggak? Kita berdua pernah iseng nunjuk gedung ini buat di milikin berdua. Waktu itu Kita diusir sih, soalnya mereka nyangka kita mau buat mesum disini." Salwa berkedip dua kali.
Ah, Salwaa ingat. Waktu itu, usia hubungan keduanya menginjak bulan ke lima. Di sini merupakan gedung berisi penjualan buku-buku dari novelis ternama. Pantas saja tempat ini tidak asing baginya.
Tubuh mereka berdua bahkan di lempar hingga tersungkur oleh penjaga buku tersebut. Mengingatnya saja, membuat Salwa kembali meringis.
"Pemiliknya sekarang lagi dirawat di rumah sakit, karena butuh duit mereka ngejual gedung ini, Salwa." Riffat membalik tubuh Salwa. Agar gadis tersebut menghadap dirinya.
"Kayaknya, Kakak santai banget ngira kamu nggak ada yang sukain. But, semalam Kakak sadar. Saingan Kakak seperti Ferran, aku nggak bisa tinggal diem dong." Riffat menariknya, merengkuh tubuh Salwa yang jauh lebih mungil.
Ferran menenggelamkan wajah di bahu gadis tersebut. Satu menit berlalu, gaun Salwa terasa basah. Ada isakan dibibir Riffat.
Salwa mencoba melepaskan rangkulan pria tersebut. Khawatir akan kondisi Riffat.
"Tetap begini. Jangan lihat aku." Gerakan Salwa yang memberontak kini terhenti. "Kakak pengen nyoba ikhlasin kamu, karena aku pikir Ferran lebih baik dari aku dari segala hal. Tapi, rasanya sesakit ini. Aku nggak bisa, Salwa please. Aku mohon pilih aku," ujar Riffat melanjutkan perkataannya.
Sejenak, seluruh atensi yang Salwa miliki terjebak dalam dunia Riffat. Bibirnya keluh, tak mampu mengucapkan kata apapun yang mewakili perasaannya.
T.B.C
Eitsss,, next chapter kenakalan Ferran bakal dimulai🤣🤣
Spam here for next Chapter!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BILLIONAIRE'S PRINCE [END]
RomansaFerran Widjaya Pratama, dia pria beragam warna, mudah terseyum, humoris dan penuh perhatian. Terjebak dalam dunia masa lalu yang kelam, membuatnya sulit merasakan kembali jatuh cinta hingga kadang kala melakukan one night stand demi memuaskan nafsu...