[ TBP - 12 ]

17K 1.6K 131
                                    

THE BILLIONAIRE'S PRINCE -

[ Meeting - 12 ]

NORMAL POV






Leonard, Stev, Dion dan Cleo terpaku di tempatnya tak mampu berkata-kata. Ferran mengajak mereka untuk bertemu di bar. Catat, Ferran mengajak mereka. Kemarin hanya sekedar menyapa saja, pria itu terlihat enggan dan tak dapat menyanggupi apapun. Saat ini, mereka masih belum mempercayai Ferran yang nampak baik-baik saja. Bukannya mereka tak suka sahabatnya jauh lebih baik. Tapi, ini mencurigakan. Justru membuat mereka semakin khawatir. Yang paling gusar adalah Leonard.

"Fer, lo kenapa?" tanya Leonard. Ia meletakkan stick games di genggaman tangannya. Rasa penasarannya mendominasi.

"Apanya?" balas Ferran, ia masih menekan tombol stick. Mereka sedang berada di bar ternama milik Keluarga Cleo. Maka dari itu, tersedia berbagai jenis game untuk memuaskan dahaga pemuda. Hanya game biasa sesuai kalangan mereka.

"Lo kemarin udah sekarat. Kok sehat-sehat gini?" Dion menimpali. Ia mendadak haus akibat tak menerima keadaan Ferran.

"Ferran lo yang kayak ini bikin kita malah stress, fuck. Lo nggak bakal tiba-tiba jadi mayat kan?" ujar Steve. Leonard menyetujui perkataan Steve. Biasanya, seseorang menjelang ajal memang berubah drastis. Meski, Ferran berubah lebih ke arah positif.

"Gue nggak apa-apa. Mau main lagi nggak?"

"Siapa yang bisa konsen main di situasi genting gini!"

Steve melempar stick ditangannya. Menendang meja pendek yang terpajang di ruangan tersebut.

"Lo, awas kalau gue dapet lo kenapa-napa." Ancaman itu ditujukan pada Ferran. Steve menunjuk Ferran. Ia tak ragu-ragu mengucapkan kata tadi. Bukan apa-apa, persetan dengan Kakeknya Ferran yang menyebalkan. Ia akan melindungi Ferran. Mereka semua tahu Ferran luar-dalam tak ada batas pertemanan antar mereka. Satu-satunya yang saat ini butuh penyokong adalah Ferran. Ferran itu rentan, mudah dipengaruhi dan terlalu menganggap remeh sesuatu. Juga, sikapnya yang begitu mempercayai orang lain, membuat Ferran selalu dianggap termuda. Walau, kadang Ferran lah yang paling dewasa.

- oOo -

Wajah yang biasanya mengukir senyum itu memudar. Ferran menatap pantulan dirinya yang dibalut tiga lembar setelan lengkap. Kemeja biru dongker, jas hitam dipadu celana kain senada. Sepatu pantopel mengkilat dan lengkap dengan atribut jam di pergelangan tangan kirinya.

"Jangan senyum," tuturnya memberitahu diri sendiri. Ferran mengingat jelas petuah dari Kakeknya. Selama proses rapat, ia tak boleh mengukir senyum. Harus menunjukkan wajah datar agar telihat penuh kuasa. Sial, untuk apa kakeknya juga mengatur ekspresinya? Ah, Ferran membenci Widjaya Pratama. Seharusnya, ia kembali saja pada namanya sewaktu lahir. Ferran akan lebih bangga di sebut sebagai Tsuki Rery. Ferran mendengus, tak apa. Demi menghilangkan sakit yang ia derita. Setidaknya, yang dirinya lakukan masih manusiawi. Cukup menghadiri rapat, memperkenalkan diri.

Ferran duduk di kursi belakang di sebelah kakeknya. Kenndaraan yang mereka gunakan adalah Gold Digger. Luas dan nyaman poin utamanya.

Ferran memasukan tangannya ke dalam saku. Ia mengekori kakeknya yang berjalan dengan satu tongkat di sebelah kanan. Para bawahan perusahaan kakeknya telah berbaris rapih menyambut ke datangan mereka. Di lantai bawah, pintu masuk. Dilantai atas, seluruh karyawan membungkuk hormat ketika mereka melangkahkan kaki menyusuri kantor Kakeknya. Kakeknya memang dikenal sebagai pimpinan yang gila hormat. Itu sudah jadi rahasia umum. Maka sudah semestinya semua karyawan Kakeknya begitu tunduk dan takluk pada lelaki tua bangka tersebut. Ups, Ferran keceplosan menyebutnya tua bangka. Sudah bau tanah, masih sibuk menginvasi dirinya.

THE BILLIONAIRE'S PRINCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang