[ TBP - 09 ]

18K 2K 177
                                    

Haruskah kita kehilangan untuk menyadari sesuatu itu berharga? Sedang waktu, takkan pernah kembali.

THE BILLIONAIRE'S PRINCE -

[ Gone - 09 ]

NORMAL POV

Maybach Exelero itu melaju membelah jalanan Jakarta. Suara mesin mobil yang halus, desain body luar biasa, warna yang begitu menggoda. Mobil itu menunjukkan siapa pemilik sesungguhnya. Seolah mengatakan ia lah raja penguasa mobil-mobil lain yang tak sebanding dengan dirinya.

Ferran menoleh pada kekasihnya, Della. Ia tak berhenti membentuk senyum kemenangan saat Della berkata bahwa dirinya menyetujui permintaannya untuk mengugurkan kandungan. Yang berarti, Della memilih mempertahankan hubungan mereka.

Ia meraih jemari Della yang nampak gugup. Mencoba menenangkan kekasihnya. Ferran memutar penuh setir mobilnya. Memarkir mobil kesayangannya tersebut di parkiran.

Klik persalinan, Ferran mengundang pasang mata wanita muda yang berada di sana. Hingga, para suami harus berdecak. Merasa tersaingi atas pesona pria itu. Iri? Tentu saja, siapa lelaki yang tidak menginginkan wajah setampan Ferran? Tubuh se-atletis pemuda itu?

Ferran mengetuk-ngetuk permukaan meja tinggi resepsionis. Perawat itu mendongkak, sejurus setelahnya menunduk malu. Ah, sialan. Ia terlihat sangat imut dimata Ferran. Sekarang, yang ada di otak pria jangkung itu bagaimana cara meniduri perawat dihadapannya. Seluruh tubuhnya terasa pas di genggaman Ferran. Bibir tebal yang dipoles lipstick pink tersebut menarik sisi dalamnya untuk menghisap hingga benda lunak itu membengkak. Cukup! Ini bukan saat yang tepat, Ferran harus menyadarkan diri dari fantasy liarnya. Faktanya, ia tetaplah lelaki normal yang pemikirannya hanya menjurus pada kegiatan panas.

"Dokter Nara? Saya udah buat janji temu hari ini," ucap Ferran.

"Dokter Nara memberitahu saya, apakah Anda Tuan Ferran?"

Ferran mengangguk, perawat tersebut menunjukkan jalan menuju ruangan Dokter Nara. Ferran mengedikkan bahu. Meskipun dilanda gugup, Della berjalan terlebih dahulu.

Ferran meletakkan kartu namanya di meja resepsionis itu. Sembari melangkahkan kaki, ia menoleh mengedipkan satu mata serta tersenyum menyeringai. Tak lupa memberi kode untuk menelpon dirinya. Lumayan jika dirinya berhasil meniduri sang perawat.

Ia menuntun Della memasuki ruangan. Suhu ruangan yang dingin karena AC menambah kegugupan Della.

"Sudah siap?" tanya Dokter Nara. Ia sendiri menyadari kegugupan pasiennya. Tapi, itu merupakan reaksi normal bagi wanita seusianya. Terlebih, yang akan mereka lakukan adalah mengugurkan calon bayi di rahim wanita tersebut.

"Gue tunggu diluar ya," ujar Ferran. Ia menyempatkan diri mengecup pipi Della. Meninggalkan Della di ruangan tersebut bersama Dokter. Ah, Nara merupakan kenalannya.

Dokter itu dulunya Senior Leonard. Sewaktu masih kelas satu SMA. Tapi, Leonard memperkenalkannya. Ingin tahu rahasia kecil? Ya, Nara adalah teman tidur Ferran beberapa kali. Saat Ferran membutuhkan tempat pelampiasan nafsunya.

- oOo -

Salwa mengukir senyum lebar di bibirnya. Ia bahkan menggigiti bantal guling. Terlalu gemas atas apa yang tengah ia baca. Ia membuka lembar selanjutnya dari novel tersebut. Mengipas wajah saat wanita dalam novel menerima perlakuan romantis. Sialan! Salwa ingin merasakannya. Ia memang pecinta novel romantis. Bahkan mengoleksi banyak novel-novel dari penulis ternama. Membayangkan dirinya hidup bersama pewaris kekayaan keluarga membuatnya tak bisa berhenti tersenyum.

"Andai gue juga bisa nikahin atasan hue. Bahagia nggak sih?" tuturnya meracau sendiri.

Brak

Salwa melempar novel digenggamannya ke tempat tidur. Berlari saat mendengar suara terjatuh.

"Mah?" Panggilnya. Salwa mencari sumber suara debuman tersebut. Jantungnya berdegup kencang. Menyadari bahwa Mamahnya tak berada dimanapun. Ia menghembuskan nafas pelan. Menekan knop pintu kamar mandi.

Hanna, Mamahnya tergeletak tak berdaya di lantai kamar mandi. Salwa menetralkan nafasnya, dirinya tercekat mendapati darah menetes disebelah kepala Mamahnya. Ia menggeleng meyakinkan diri.

"Mamah?"

Salwa menempatkan diri, meletakkan kepala Hanna di pahanya. Ia berusaha menahan diri agar tak meneteskan air mata. Namun, ia gagal, Hanna terbujur kaku tanpa bergerak sedikitpun. Bibirnya bergetar pucat pasih, dilanda rasa takut.

Salwa berlari, mengambil handphonenya di kamar. Menelpon ambulans untuk segera datang.

- oOo -

Salwa bergerak memutari koridor rumah sakit dimana ruang operasi berada. Ia bergerak gusar. Firasatnya mengatakan hal buruk akan menimpa dirinya. Namun, dirinya menepis perasaan itu. Ia menunggu proses operasi Hanna, sembari menanti kakak laki-lakinya.

Salwa duduk di kursi tunggu, kepalanya menengadah ke atas. Hampir dua jam penuh, akhirnya Dokter keluar dari ruang operasi.

"Kami sudah berusaha semampunya," tukas Dokter wanita itu. Salwa tertawa tak percaya.

"Dokter bohong kan? Dokter please. Jangan bilang kayak itu." Tubuh Salwa merosot ke lantai. Persediannya seolah melumpuh tak mampu berdiri dengan benar.

Air matanya mengalir deras di kedua pipi Salwa. Dapatkah seseorang berkata padanya ini hanya mimpi? Ia hanya memiliki Mamah dan Kakaknya. Sanggupkah dirinya kehilangan?

"Tuhan berkehendak lain. Kami turut berduka cita." Sambung Dokter itu, suara jeritan Salwa terdengar mengiris hati.

- oOo -


Ferran segera menemui Nara, ketika wanita itu keluar dari ruangan miliknya. Senyum di bibirnya menghilang kala melihat wajah Nara. Ia tahu terjadi sesuatu.

"Saya nggak bisa nyelamatin Pasien, Ferran. Maaf, pendarahannya terlalu hebat," ujar Nara, ia bahkan menunduk tak berani menatap Ferran.

"Wait, Nara. Lo bilang nggak kayak ini! Lo bilang semuanya bakal baik-baik aja, Nara!" Teriak Ferran. Ia mengguncang tubuh Dokter muda itu.

"Nggak lucu. Nggak mungkin Della ninggalin Gue." Suara berat Ferran terdengar piluh. Air mata pria itu menetes. Nara bahkan tak mempercayai seseorang seperti Ferran dapat menangisi perempuan.

"Balikin aja Della brengsek! Gue mending ngerawat anak dibanding kehilangan Della."

Nara menggeleng, ia tak dapat berbuat apapun. Semuanya telah terjadi.

Ferran menutup matanya dengan telapak tangan. Ia melangkah memasuki ruangan Nara. Tangannya bergetar melihat begitu banyak darah yang berceceran.

Ferran membuka tirai pembatas, Della telah tertutupi oleh kain putih. Ferran tertawa miris. Ia terulur menurunkan kain yang menutupi wajah Della.

"Della, Della ini bercanda kan? Sayang?"

Mata Ferran bahkan memerah karena air matanya yang memupuk di kelopak mata.

"Della, Sayang. Maafin aku hm? Please, buka mata kamu."

"Della nggak lucu lho. Kamu kok pucet gini sih?"

"Della, iya aku salah Della. Aku salah milih ini. Della, Sayang?"

Ferran memejamkan matanya. Tak mampu menahan rasa sakit yang meremat hatinya. Ia menyadarinya, menyadari betapa Ia mencintai wanita dihadapannya.

"Della.. Sayang? Jawab aku. Please, aku janji kalau kamu bangun aku bakal nikahin kamu. Della.."

Ferran tahu, ia sadar selama ini menepis perasaannya. Manusia memang seperti itu bukan?

Ferran menggenggam erat tangan Della. Karena, ia tahu setelahnya takkan pernah lagi bisa menggenggam tangan mungil yang selalu menemaninya tanpa menuntut banyak.

T.B.C

Saya harap kalian menikmati cerita ini.

Spam here for next chapter!!

THE BILLIONAIRE'S PRINCE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang