🌟30 - move🌟

1.4K 108 12
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

Kara menggigit bibir bawah. Tangannya mencengkram gagang pintu di depannya. Lewat sepetak kaca di pintu, manik nya memaku seseorang yang berada di dalam sana.

Disana, Arvin sedang duduk di sisi bangsal Varo. Mati matian Kara menahan tangis nya ketika melihat kondisi Varo yang tak bisa di bilang baik. Dari sini Kara hanya bisa melihat kaki serta kepala nya tampak di perban, tentu dengan selang selang yang menancap di tubuh Varo.

"Ra, gak masuk?" Kara tersentak ketika Nathan menepuk pundaknya.

"Iya mau masuk kok, loh Zico mana?" Tanya Kara, seingatnya Zico masih duduk di kursi tadi.

"Dia udah turun duluan, kita tunggu di cafe sebelah rumah sakit oke? Kalau ada apa apa telfon aja," ujar Nathan.

Kara mengangguk patuh, lalu beralih menatap Alan yang tadi mengantarnya kesini. "Masuk juga lan?"

Alan tersenyum tipis dan menggeleng. "Kayaknya Arvin lagi butuh kamu. Aku gak mau ganggu dulu. Aku tunggu sama Nathan di cafe ya?"

Walau merasa tidak enak pada akhirnya Kara hanya mampu mengiyakan perkataan Alan. Nathan tersenyum seraya mengacak rambut Kara dan berlalu pergi bersama Alan.

Setelah merenung beberapa saat, akhirnya dengan mantap Kara memutar knop pintu itu. Arvin menoleh ke belakang, bisa dilihat tatapan Arvin menyiratkan kesedihan.

"Ra."

Kara tercekat ketika dengan cepat Arvin berdiri dari duduknya dan langsung memeluknya erat. Pundaknya basah, jelas sekali kalau Arvin tengah menangis. Dengan reflek Kara pun membalas pelukan Arvin dan berakhir dirinya juga menangis diam diam. Di pikirannya bukan hanya tentang Varo, namun juga siasat Revan yang sangat dia benci. Mungkin kah ini bisa jadi pelukan terakhir mereka selagi Kara terikat oleh Revan?

"Kak Varo baik baik aja," bisik Kara sambil mengelap pipinya.

Arvin mengangguk tanpa mau melepaskan pelukannya. "Tadi dia kehilangan banyak darah". kara semakin mengeratkan pelukannya. "Tapi untung masih bisa selamet, gue takut Ra," lirih Arvin.

Kara bisa merasakannya, Arvin pasti takut kehilangan lagi. Setelah bundanya meninggal, Arvin selalu bilang kalau ia tak mau kehilangan orang orang yang dia sayang.

"Duduk dulu Vin" Kara menarik Arvin untuk duduk di sofa yang ada di sana. Tanpa di duga Arvin menggeser duduk Kara sampai di ujung sofa, lalu ia membaringkan tubuhnya dengan berbantal paha Kara.

"Om Rangga kemana?" Tanya Kara tak masalahkan tingkah Arvin yang menyembunyikan wajahnya di perut Kara. Sepertinya ingin menyembunyikan wajahnya yang sembab karna menangis.

"Tadi ngurus administrasi, terus kayaknya ke rumah," jawab Arvin dengan suara serak.

Suasana kembali hening, hanya suara alat monitor saja yang terdengar. Sedangkan Kara mulai melamun dengan tangan terus mengelus rambut Arvin.

My Protector, Arvin [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang