.
.
.Arvin menatap Kara yang tengah terbaring lemah di ruang ICU. Kara sudah selesai operasi. Kara dinyatakan koma, dan tidak di pastikan kapan akan bangun . Saat mendengar itu Arvin merasa dunia nya runtuh. Arvin dan Varo sama sama mengamuk, saling menyalahkan satu sama lain, bahkan saling adu jotos. Untung saja ada Vio yang menenangkan Varo dan ada Rangga-papanya- yang menenangkan Arvin. Zico dan Alan sampai tak berani mendekat ke Arvin.
Rangga pernah berada di posisi Arvin. Bedanya kali ini ia tak akan membiarkan Arvin merasakan kehilangan untuk kedua kalinya.
Saat ini Kara belum boleh di jenguk. Nathan sudah kembali bersama Reygan yang juga mengajak Kayleen sang pacar. Dinda dan kawan kawan sempat ingin menyusul kesana, tapi Zico melarangnya, mengatakan kalau disana sudah terlalu ramai orang dan lagi pula Kara belum boleh di jenguk. Dinda pun akhirnya menurut. Di sisi lain, Revan masih di biarkan istirahat sehabis mendonorkan banyak darahnya.
"Kalian makan dulu gih, biar gue sama Reygan yang jaga," ujar kayleen.
"Om juga, lebih baik makan dulu om. Ada saya sama Reygan kok yang jaga."
Rangga mengangguk kecil seraya tersenyum. Pandangannya beralih pada dua anaknya yang tampaknya belum bisa tenang. Kara memang sebegitu berpengaruhnya pada keluarga mereka.
"Varo Arvin ayo makan dulu."
"Arvin mau disini, papa duluan aja," kata Arvin tak mau beranjak dari sana.
Rangga menghela nafas. "Varo, ikut papa. Kamu baru aja sembuh, jangan ikutan sakit juga."
Varo membantah. "Tapi Varo juga mau nunggu Kara!"
"Kamu harus makan. Emang mau kalau Kara nanti bangun malah kamu yang sekarat?" Tanya Vio dengan raut polosnya membuat Varo menghela nafas.
"Yaudah ayo, kalian juga ayo makan," dengan berat hati Varo menuruti papanya, ia juga di bantu berjalan oleh Vio. Diikuti dengan Nathan dan lainnya.
"Om titip Arvin sama Kara ya," kayleen dan Reygan tersenyum simpul seraya mengangguk.
"Iya om, tenang aja."
Kayleen menoleh pada Arvin yang masih duduk termenung. Ia mendekat ke Arvin dan langsung menyodorkan kantong yang berisikan makanan. "Ayo cepet makan, gue beliin. Kurang perhatian apalagi gue," kata Kayleen.
Reygan yang melihat mendengus, berusaha tak cemburu di keadaan seperti ini.
"Gak usah, gue gak laper," lirih Arvin.
Reygan berdecak lalu merebut kantong itu dari Kayleen dan memberikannya secara paksa pada Arvin. "Makan, cewek gue udah beliin, pake duit bukan pake daun."
Arvin menghela nafas. "Berapa? Gue ganti."
Reygan mendelik. "Lo kira gue gak ada duit?!"
Kayleen memutar bola mata, lalu menarik Reygan agar duduk di sebelahnya. Kayleen yang berada di tengah mereka pun kembali duduk menyamping menghadap Arvin.
"Makan, biar ada tenaganya. Kasian Kara pas sadar liat lo kayak mayat. Nanti lukanya diobatin," ujar Kayleen penuh pengertian, membuat Reygan langsung mengamit tangan Kayleen dan menggenggam erat, jujur ia cemburu.
Arvin akhirnya tersenyum simpul. "Makasih Key..." lirihnya. Walau sering bertengkar tak jelas di kelas, dan terkenal galak, Kayleen sebenarnya sangat perhatian pada temannya.
"Reygan beruntung punya lo, kasih tau Dalton CS kalau dia sakitin lo." Lanjutnya yang membuat Kayleen terkekeh dan memberikan acungan jempol.
Sedangkan Reygan langsung mendelik tak terima. "Berani lo sama mantan ketua?!"
"Cuman mantan."
***
Arvin mengelus lembut tangan Kara. Tangan satunya mengelus surai hitam Kara. Ia menghembuskan nafasnya dengan tatapan rapuh. Perlahan Ia menelungkup kan kepalanya tepat di ceruk leher Kara. Ia tak sanggup melihat Kara seperti ini, dengan selang dan kabel sialan yang menempel di tubuhnya, rasanya ia ingin menukar posisinya dengan Kara.
Ia memang di perbolehkan untuk melihat Kara. Hanya satu orang yang bisa masuk, dan Arvin belum mau bergantian dengan yang lain. Mereka pun cukup mengerti bahwa Arvin lah yang paling terpukul, makanya mereka membiarkan Arvin melihat Kara sepuasnya sebelum waktu jam makan.
"Kara..." lirih Arvin berharap ada keajaiban yang datang hingga membuat Karanya sadar.
"Want to know one fact?" Tanya Arvin lirih.
"I love you, I love you so much that it feels crazy just seeing you like this," bisiknya.
"It's okay. Gue izinin lo istirahat sebentar. lo cuman gak boleh tinggalin gue, gue bakal beliin lo apapun kalau lo bangun. Gue bakal beliin lo es krim sebanyak yang lo mau. Gue bakal beliin lo cokelat yang lo suka. Gue juga bakal ajak lo ke disneyland. Tapi lo harus cepet bangun Ra, jangan siksa gue lagi, jangan kasih gue hukuman lagi. Demi apapun gue gak sanggup," bisiknya di akhiri dengan tetesan air mata yang kembali mengalir.
Sesaat kemudian Arvin mendengar keributan diluar. Ia beralih duduk tegak, lalu menoleh ke kaca. Ah Lia sudah sampai. Dari sini mereka tampak berdebat, untungnya Rangga sudah pulang terlebih dahulu untuk istirahat, Reygan dan Kayleen pun sudah tak tampak. Hanya tersisa Nathan, Zico dan Vio yang menemani Varo. Dengan gugup Arvin berdiri dari duduknya lalu melangkah pelan keluar dari ruangan Kara. Sampai diluar semua yang ada disana langsung menoleh ke arah Arvin, terutama Lia yang langsung melangkah ke arahnya dengan raut merah padam.
PLAK
PLAK
Arvin menyentuh pipi nya yang memanas, kepalanya sampai tertoleh karena tamparan keras dari Lia. Arvin tau ia pasti akan menerima tamparan ini dari Lia, makanya ia tak begitu kaget. Lia bahkan langsung menuju rumah sakit selepas dari bandara dengan masih memakai setelan kantornya.
"Itu yang kamu bilang menjaga Arvino!" Bentak Lia.
Varo memegang tangan Lia namun langsung di tepis. "Lia bisa lo tenang, ini di rumah sakit."
"Gimana gue bisa tenang Al! Adek gue lagi berjuang hidup di dalam sana. G-gue berusaha percaya kalian buat jagain Kara, kalian yang mohon mohon supaya kara bisa tinggal disini. Kalau bukan karena Kara, udah dari lama gue bawa Kara pergi jauh dari sini!" Bentak Lia membuat semua bungkam.
"Arvin gak salah." Mereka menoleh.
Revan berjalan mendekat ke arah Lia dengan Chelsea yang mengikutinya dari belakang. "Saya yang salah, saya yang buat Kara kayak gini...saya yang bawa Kara keluar dari rumah. Saya minta maaf."
PLAK
Sejenak mereka terdiam, kemudian tangis Lia pecah. Nathan dan Zico mengusap wajahnya kasar, sedangkan Vio yang melihatnya langsung menutup mulut tak tega. Lia menutup wajahnya dengan tangan, ia berlutut. "Hiks... kenapa kalian gak mengerti? Apa salah Kara? Apa yang dia lakukan sampai dia jadi kayak gini? Kakak cuman gak mau Kara kesakitan lagi hiks..." Varo ikut berlutut seraya membawa Lia kedekapannya.
Lia benar benar terpukul menghadapi kenyataan Kara sekarang. Ia menyayangi Kara selayaknya adik kandung. Ia tau Kara sudah melewati masa masa sulitnya. Ia tau bagaimana dahulu Kara menahan sakit melawan dirinya sendiri, juga kehilangan kedua orang tuanya. Trauma trauma itu Lia pikir sudah cukup untuk Kara. Ia tak mau itu terulang lagi, sungguh. Kara sudah terlalu banyak menerima rasa sakit.
Revan mengepalkan tangannya. Tubuhnya meluruh, berlutut di hadapan Lia. "Maafkan saya, saya akan bertanggung jawab," ujarnya lirih.
Lia tak menjawab dan semakin terisak di dada Varo yang membuat Varo semakin mengeratkan pelukannya. "Ini bukan sepenuhnya salah dia, kita bisa bicarain baik baik, semua ada jalan keluarnya," bisik Varo mencoba menenangkan Lia.
Lia merenggangkan pelukannya. "Sampai Kara gak ada perubahan, Kara gue bawa keluar negeri. Tanpa campur tangan kalian." Lia berdiri lalu masuk ke dalam ruangan Kara, meninggalkan mereka yang masih terdiam, terutama Arvin yang memejamkan mata dengan tangan terkepal.
~My protector, Arvin~
Next?
See you ❤💜
KAMU SEDANG MEMBACA
My Protector, Arvin [END]
Teen Fiction[follow sebelum membaca⚠️] "Bagaimanapun kamu, jangan minta aku untuk pergi. Mereka bagian dari kamu, aku juga akan melindunginya." Karamel bersyukur memiliki sahabat seperti Arvin. Lelaki itu melindunginya, memperhatikannya pun menyayanginya. Bahka...