"Dendam memperburuk segalanya"
.
.
.Ini sudah lewat tiga hari sejak penculikan Kara. Tak ada perubahan. Gadis itu tak menunjukan tanda tanda akan sadar dari koma nya.
Pintu itu terbuka, menampakan Arvin yang masuk ke dalam ruang gadis itu dengan sebuket mawar merah. Ditaruhnya buket itu di atas nakas bersebelahan dengan ranjang Kara. Arvin tau Kara sebenarnya tidak terlalu menyukai bunga, tapi Kara pernah berkata padanya kalau jika di tanya bunga apa yang ia sukai maka ia akan menjawab bunga mawar merah.
"Kenapa mawar merah? Kenapa gak suka mawar putih atau pink?" Tanya Arvin kecil saat itu.
"Soalnya mama Kara suka. Katanya papa pertama kali bilang cinta ke mama bawa bunga mawar, terus papa bilang itu ungkapan kalau papa sayang mama, jadi mama suka banget sama mawar merah. Vino liat kan di belakang rumah Kara banyak mawar merah"
Arvin tersenyum lirih mengingat perkataan Kara dulu. Ia menarik bangku lalu beralih duduk disana. "Hai sweet cake." Arvin menyium punggung tangan gadis itu. "Masih betah tidur, hm? Gue bawa bunga lagi loh."
"Ayo bangun, sweaty."
Cukup lama Arvin berada di sana sambil berbicara sendiri sampai pintu kembali terbuka. Lia masuk dengan membawa beberapa barang, Arvin hanya melirik sekilas lalu kembali berbicara hal hal kecil pada Kara walaupun tak ada sahutan. Lia pun tak ambil pusing, walau sedang perang dingin dengan Arvin, bocah itu tak segan untuk selalu menemani Kara meski ada Lia yang menatapnya tajam dari sofa. Seminggu ini pun Arvin memaksa tak ingin masuk sekolah dengan alasan khawatir Kara kenapa napa atau tiba tiba bangun mencarinya. Hari ini padahal papanya sudah memaksa agar Arvin mau bersekolah, Zico pun rela merengek padanya tapi tetap saja ia tak mau menurut.
Arvin melirik Lia yang sedang sibuk menyiapkan baskom kecil dan sapu tangan. Sepertinya Kara ingin di bersihkan. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada Kara, menyium gemas pipi Kara yang tidak se tembam dulu. "Love you," bisiknya.
Lia membawa baskom yang sudah ia siapkan. Arvin masih tetap mendusel di ceruk leher Kara. Lia menghembuskan nafas. "Pergilah Vin, Kara mau di bersihkan."
Arvin menegak memandang Lia. "Kakak masih marah?" Tanyanya membuat pergerakan Lia terhenti.
"Gue rela dikasih hukuman apapun asal Kara masih bisa disini," katanya. Ia mulai khawatir dengan ancaman Lia, karena kenyataannya Kara sama sekali tak menunjukan perubahan atau akan sadar.
"Kakak bisa cambuk gue kalau itu memang bikin kakak puas. Tapi gue mohon, jangan ambil Kara. Demi apapun gue gak bisa jauh dari dia..." Lirih Arvin di akhir kalimatnya.
Sejenak suasana lengang.
Pikiran Lia menatap sayu Kara yang terbaring lemah. "Pergilah Vin." Lia menatap datar Arvin.
Arvin menunduk, kemudian beranjak berdiri berjalan membelakangi mereka untuk keluar dari sana. Namun sebelum tangannya menyentuh knop pintu, ia lebih dulu tertegun dengan suara dibelakangnya
KAMU SEDANG MEMBACA
My Protector, Arvin [END]
Ficção Adolescente[follow sebelum membaca⚠️] "Bagaimanapun kamu, jangan minta aku untuk pergi. Mereka bagian dari kamu, aku juga akan melindunginya." Karamel bersyukur memiliki sahabat seperti Arvin. Lelaki itu melindunginya, memperhatikannya pun menyayanginya. Bahka...