***
Hari ini Kara kembali masuk ke sekolah. Dan tentu saja di hari Senin. Bel belum berbunyi, jadi Kara masih bisa mengobrol dengan teman temannya sekaligus memberi penjelasan mengenai masalahnya akhir akhir ini.
"Gila! Lo keren banget Kar bisa di culik begitu!" saut Rama bertepuk tangan.
"Dodol, orang diculik malah kagum anjir gak ngerti lagi gue," ujar Bintang.
"Gua gak nyangka si Maura Maura itu nekat banget," ujar Dinda.
"Maura yang mana sih anaknya? Tolong spill ke gua." Bintang menggaruk pelipisnya bingung.
Rama menghela nafas. "Udahlah, Lo anak goa mantau aja."
Tiba tiba Ebril menghampiri mereka, membawa satu toples besar berisi bakpau yang beraneka warna. Kara jadi kangen makan bakpau berwarna cokelat itu. Setiap warna menandakan rasa bakpau, rasa yang paling legendaris adalah rasa durian yang ditandai dengan bakpau berwarna hijau. Tak jarang kelas mereka jadi beraroma durian. Kara jadi sedih karena belakangan ini ia tak menikmati suasana kelas yang biasa ia nikmati.
"Kar! Beli bakpau gua lah! Dah lama Lo gak beli. Kerjaannya ngelamun Mulu."
Dinda mencebik. "Lo juga gak nawar ke dia dari kemarin."
"Segan gue. Kemarin kan masih banyak problem, mukanya pucet lagi. sekarang karena muka nya udah merona gue gaskeun lah, ye gak Kara sayang?"
Kara memutar bola mata malas. Tapi tak urung mengambil dua bakpau rasa cokelat lalu meletakkan selembar uang di atas toples tersebut. "Nih, ambil aja kembaliannya."
"Ya Allah kurang seribu ini, kar. Lo tuh-"
"Kenapa gue?" tanya Kara menyolot.
Ebril mengelus dadanya. "Gak papa sayang."
Kara dan yang lainnya langsung berekspresi jijik.
"Arvin mana, Kar? Gak bareng?" tanya Dinda ikut memakan bakpau.
Kara mengangguk. "Gue tinggal. kata bibi belum bangun," jawabnya.
Dinda melotot. "Tega lu, kok gak di bangunin?"
Kara terdiam sebentar, lalu tersenyum tipis. "Biarin deh, sekali sekali ngerjain dia," katanya terkekeh kecil. Bohong. Bukan itu alasan sebenarnya. Ia hanya tak ingin bertemu kakek Julian, ia masih tak suka mendengar keputusan kakek Arvin.
"Yuk guys ke lapangan! Udah bel," pekik Adel seraya berjalan dengan teman yang lain keluar kelas.
"Eh topi gue mana njir!" saut Rama panik lalu menyusuri loker meja mencari topi upacara yang menganggur.
"Cepet Kara!"
"Iya iya sabar!"
Kara keluar dari kelas. Di koridor ia bertemu dengan Zico dan Nathan. Dua lelaki itu menghampiri mereka untuk ke lapangan bersama.
"Yang, nanti pulang bareng aku aja," ujar Zico pada Dinda.
"Tadi kata papa mau jemput."
"Iya nanti aku kabarin ke papa kamu."
"Ayolah, udah lama gak jalan bareng nih ish," rengek Zico membuat Nathan menjengit geli.
"Yaudah iya," jawab Dinda pasrah.
Kara menatap sekelilingnya, Arvin tak nampak. Apa Arvin benar benar belum bangun? Kara menghela nafas, ia jadi merasa bersalah.
"Lo tinggalin Arvin ya?" tanya Nathan.
Kara menyengir. Namun detik kemudian murid di sekitarnya malah memekik, Kara menoleh, menangkap sosok Arvin yang tengah berlari ke arahnya yang sudah hampir sampai di lapangan. Para perempuan langsung memusatkan fokus mereka pada Arvin, walau sedang berjalan mata mereka tetap mengamati gerak gerik Arvin.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Protector, Arvin [END]
Teen Fiction[follow sebelum membaca⚠️] "Bagaimanapun kamu, jangan minta aku untuk pergi. Mereka bagian dari kamu, aku juga akan melindunginya." Karamel bersyukur memiliki sahabat seperti Arvin. Lelaki itu melindunginya, memperhatikannya pun menyayanginya. Bahka...