"Rasa yang tak ingin ku alami adalah terjebak dalam rasa dendam dan cinta di saat bersamaan"
.
.
.
Revan bersandar di pintu mobilnya. Sambil menunggu Kara ia memainkan Handphone untuk menghilangkan bosan.
Gerak jarinya terhenti ketika menemukan foto Arvin dan Kara yang tersenyum lebar di medsos. Bibirnya sedikit tertarik ke atas ketika menyadari keadaan Arvin sekarang. Baginya itu belum sebanding dengan apa yang Arvin lakukan pada adiknya. Tentang ia yang mengizinkan Kara bertemu Arvin itu karna tidak tega saja dengan Kara.
Ya setidaknya dengan Kara ia masih memakai hati nuraninya.
"Revan!"
Revan menoleh ketika namanya di sebut. Ia tau bukan Kara yang memanggilnya karna suaranya jelas berbeda.
Seorang gadis berambut sebahu dengan kacamatanya menghampiri Revan yang sekarang menunjukan muka datarnya. Seolah tak perduli dengan Revan yang merasa terganggu gadis itu langsung berbicara.
"Apa sebenernya rencana lo?"
Revan menaikkan alisnya. Seolah mengisyaratkan bahwa gadis di depannya ini tidak ada hak untuk bertanya.
"Kenapa lo perduli? Bukannya sekarang rencana lo buat deketin Arvin berjalan mulus?" Sinisnya.
Gadis yang bernama Maurin itu menyipitkan matanya. Lalu melepaskan kaca matanya yang selama ini ia pakai untuk menyamar. Ya sudah setahun terakhir ini ia menyamar sebagai gadis kutu buku di sekolahnya, nama aslinya pun ikut ia samarkan menjadi Maura. Alasannya adalah karna Sudah bertahun tahun ia menyukai Arvin namun Arvin tak pernah sama sekali meliriknya. Yang Arvin perduli kan selama ini hanya Kara, Kara dan Kara.
"Terserah kalau lo gak mau kasih tau. But thanks karna lo secara gak langsung gue mudah deketin Arvin," ujar Maura santai.
"Maurin-"
"Panggil gue Maura!" Sentaknya.
Revan tertawa sinis. "Kenapa? Takut kalau ada yang tau siapa lo sebenernya?"
Maura melipat tangannya di dada. "Lo belum bisa move on dari gue?" Tanyanya percaya diri.
Revan memijat pangkal hidungnya dengan senyum tak percaya dengan pertanyaan Maura. "Lo gak sepenting itu Rin, bahkan di hari lo mutusin semuanya gue udah lupain tentang kita." Revan menekankan akhir kalimatnya di depan Maura.
Sedangkan Maura hanya terdiam, lalu memalingkan mukanya sambil tersenyum sinis. "Baguslah," gumamnya.
"Lo boleh pergi," ujar Revan lalu berbalik hendak memasuki mobilnya. Namun sesaat kemudian gerakannya terhenti dengan pertanyaan Maura.
"Apa rencana lo karna balas dendam kematiannya Reyna?"
Tanpa Maura ketahui Revan mencengkram erat pegangan pintu mobil. "Bukan urusan lo," ujarnya dingin.
Revan berbalik menatap Maura yang masih berdiri disana dengan tatapan yang tak bisa di artikan. "Satu lagi."
"Jangan berani nyentuh Kara lagi."
Maura menaikan sebelah alisnya dengan senyum mengejek. "Kenapa? Lo ada rasa sama dia? Senjata makan tuan, hm?"
Revan tersenyum miring. "Karna dia ada di bawah kendali gue. Sekali lo nyentuh dia, siap siap terima hukuman. Gue gak pernah main main," ujarnya serius lalu masuk ke dalam mobilnya.
Maura menggigit pipi dalamnya. Ia mengangguk kecil sambil menghela nafasnya, kemudian melenggang pergi setelah melirik Revan yang sekarang tengah duduk di jok pengemudi.
Revan melirik Maura yang berjalan menjauh lewat kaca spion. Pandangannya meredup seraya menghela nafas.
Tok tok
Revan menoleh pada kaca mobil sebelahnya, Kara memutari mobil lalu masuk ke jok penumpang depan.
"Nangis lagi?"
Kara mengusap pipi nya kasar lalu membuang muka ke arah jendela. "Enggak."
Revan mencondongkan badannya untuk memasang sealtbelt Kara yang belum terpasang. Kara pun hanya diam saja tanpa memalingkan wajah nya dari jendela.
"Kita ke dokter Sarah."
***
Revan melirik jam tangannya. Ini sudah tiga jam sejak Kara masuk ke ruangan ini. Revan masih tetap duduk di kursi tunggu sambil termenung.
Di pikirannya sibuk berteori tentang penyebab Kara sampai mempunyai tiga jiwa.
Gangguan yang juga di derita oleh adiknya Reyna. Bedanya Reyna hanya mempunyai dua jiwa, yaitu Rain, si introvert pecinta hujan.
Revan tak munafik jika beberapa kali ia menganggap Kara sebagai Reyna, karna terkadang sikap Kara sama seperti adiknya.
Ah Revan jadi merindukan adiknya.
Kalau saja Reyna tak menyukai Arvin.
Kalau saja ia tak membiarkan Reyna pergi sendiri malam itu.
Kalau saja Revan lebih bisa menjaga adiknya.
Semua gak akan jadi seperti ini.
"Revan."
Revan menoleh ketika namanya di panggil. Rupanya Sarah sudah berdiri di ambang pintu sambil memandang Revan dengan tatapan yang tak bisa di artikan.
"Ikut tante."
"Mana Kara?"
"Dia tante biarkan tidur."
Revan mengangguk lalu mengikuti Sarah yang memasuki suatu ruangan. Ah Revan baru ingat, ini adalah ruang pribadi tantenya.
"Apa yang kamu lakuin ke Kara?" Tanya Sarah dengan tenang yang langsung membuat Revan mengerutkan dahi.
"Maksud tante?"
Sarah menghela nafas, tatapannya tampak tak percaya dengan kelakuan Revan saat ini, namun ia masih mempertahankan raut tenangnya. "Kamu jauhkan Kara dari Arvin, hmm?"
"Kamu punya masalah sama Arvin selesaikan berdua. Jangan bawa bawa Kara," kata Sarah.
Revan membuang mukanya. "Tante gak tau apa apa."
"Kalau gitu kamu mau kasih tau tante apa masalahnya?" Desak Sarah.
Revan terdiam.
Sarah lagi lagi menghembuskan nafasnya. Ia harus tenang, bagaimanapun menghadapi keponakannya harus dengan cara yang lembut.
"Kamu tau kan Van, Kara punya tiga jiwa. Kamu juga harus pikirkan perasaan Nadine dan Melody. Apalagi Melody yang jiwanya mudah terguncang. Kamu tak bisa menyamakan perasaan mereka Van. Melody bahkan sampai tak ingin keluar saat tahu Arvin menjauhinya."
Revan mendongak menatap Sarah. "Melody bilang sesuatu?" Tanyanya.
"Kamu gak perlu tau, intinya jiwanya sekarang lagi sedih. kamu misahin dia dari Arvin."
Revan membungkuk dengan tangan yang menyangga meja. Apa yang harus ia lakukan?? Sarah membuat rencana yang ia susun seakan goyah.
Revan mengangguk kecil. "Kalau gitu kasih tau ke Revan tentang trauma Kara."
~My protector, Arvin~
Tbc
Oke segini aja ya🙏
Mudah mudahan cepet up lagi.
Follow WP dazlkawdynt_ ☺️
Ig: ekaawdyt_Jangan lupa votenya
See y 💜
KAMU SEDANG MEMBACA
My Protector, Arvin [END]
Teen Fiction[follow sebelum membaca⚠️] "Bagaimanapun kamu, jangan minta aku untuk pergi. Mereka bagian dari kamu, aku juga akan melindunginya." Karamel bersyukur memiliki sahabat seperti Arvin. Lelaki itu melindunginya, memperhatikannya pun menyayanginya. Bahka...