BAB 1 : Jangan Sampai Tenggelam

68.8K 1.1K 77
                                    

Assalamualaikum, selamat siang!!

Galvin-Giandra balik, kali ini dengan revisi. Of course, karena lagi ikutan lomba. Jadi harus di-make up.

Semoga kalian suka!

Please kindly, leave comment and tap the star, okay?

Manik cokelat gelap perempuan yang baru saja menutup panggilan telepon itu mengedar pandang ke isi studio tempatnya kini bekerja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manik cokelat gelap perempuan yang baru saja menutup panggilan telepon itu mengedar pandang ke isi studio tempatnya kini bekerja. Hembusan napas kesal keluar dari mulutnya. Diarahkannya pandangan perempuan itu pada desk calendar di meja tempatnya mendaratkan bokong. Angka satu dan warna merah terang pada kalender itu seolah mengejeknya, membuat rupa senangnya saat menerima panggilan tadi, berubah muram.

"Ck," decaknya. "Sementang-mentang bukan buruh, hari buruh malah dikasih kerjaan."

Lagi, hembusan napas keluar dari mulut si manik cokelat gelap. Beranjak dari duduknya, ia lalu melenggang menuju dua rekan kerjanya di sisi kanan studio, pada Celine dan Wendy yang sedang memilah outfit untuk model. Namun, baru lima langkah kakinya terayun, ia berhenti. Saat netranya tanpa sengaja memergoki seorang lelaki yang berdiri canggung di depan studio. Meraih ponselnya dari dalam saku hoodie, ia menggulir layar gawainya pada chatroom dengan si pemilik studio, pada foto yang semalam dikirim untuknya.

"178 sentimeter, blonde hair, and good looking," gumamnya sambil melihat foto dan lelaki canggung di depan studio secara bergantian. "Ya, itu pasti dia."

Melangkah pasti, si manik cokelat gelap itu melangkah ke arah pintu kaca studio, membukanya, kemudian menyapa sopan, "Hai, Giandra Sienaya?" disertai senyum ramah yang belum penah ia beri untuk siapapun sebelumnya.

**

"Jam setengah delapan, Galvina Studio, oke, gue tinggal satu blok lagi," gumam seorang pemuda yang kini mulai mengendarai mobilnya dengan tenang. Setelah tiga puluh menit memacu roda empatnya seperti sedang melakoni pertandingan balap F1, lelaki berambut blonde itu menghela napas panjang saat akhirnya ia sampai pada tujuannya.

Ia berangsur memarkirkan kendaraannya itu kemudian turun dari mobil. Mengambil ponsel di dalam slingbag-nya, ia lalu menghubungi orang baik yang menyuruhnya berkendara tiga puluh delapan kilo meter jauhnya ke bangunan bergaya Italian classic nan megah ini.

"Heh, Rizky, ini beneran kita photoshot di sini? Wei, gila, ini mewah banget studionya. Lo habis menang togel apa gimana, sampai bisa kerjasama dengan studio elit ini?" cerocos si blonde setelah panggilannya tersambung.

"Berisik, udah masuk aja sana. Gue ngantuk!" bentak Rizky—si orang baik yang telah mengganggu jadwal liburnya.

"Eh, lo kira gue jug—"

"Berisik-berisik-berisik. Giandra, lo itu model apa tukang sayur, sih? Gue mau tidur lagi!"

Dan, panggilan terputus, menyisakan si pemuda blonde yang mengeluarkan segala sumpah serapah di dalam hatinya untuk si Rizky. Dasar, temen gak tau diri!

FixedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang