BAB 29 ; Galvin..?

5.3K 429 30
                                    

Galvin?

Meja di ujung kafe itu hanya tersisa dua orang sekarang. Galvin dan Giandra. Tadi, setelah beberapa menit merenung, Rizky memberanikan diri menghubungi Naima. Untung saja masalah keduanya tidak begitu pelik dan pemuda bossy itu akhirnya menemukan solusi. Diantar Ben dan Belia, Rizky akan menemui Naima dan menjelaskan beberapa hal. Hal yang masih tetap ia rahasiakan.

Ketiga teman Giandra itu pulang lebih dulu dua belas menit yang lalu. Semua pesanan mereka sudah habis dan pramusaji sudah membersihkan meja, menyisakan cokelat panas yang baru mereka pesan.

"What are we gonna do, now?" tanya Giandra seraya mengeluarkan ponselnya.

"Nggak tahu. Tadi kamu bilang, ada janji, apa?"

Senyum hangat terukir di wajah Giandra, mendengar pertanyaan dari Galvin. "Ajakin lo lihat sunset. Inget? Di SMA gue yang dulu."

"Giandra, ini udah mau jam empat. The sun goes down at a half past five. Jarak rumah kamu ke—"

"You talk to much." Giandra menyela. "Apa gue pernah kasih tahu lo di mana letak SMA Dellinger? Itu cuma satu jam perjalanan dari sini kalau kita lewat jalan pintas."

Galvin mengernyit, "Aku nggak pernah suka jalan pintas. Pasti nggak aman." Ia lantas menggeleng.

"Oh, c'mon, ada gue. Lo pun akhirnya renang kemarin."

Yap, Galvin ingat. Kemarin memang akhrinya ia ikut bergelut dengan air laut bersama Giandra, berenang beberapa saat.

"Apa yang udah kamu lakuin sama aku, Gian?"

Giandra balas mengernyit selama tiga detik. Detik selanjutnya ia kembali mengulas senyum hangat. Mengangkat kedua bahu, ia menjawab, "Apa yang udah lo lakuin sama gue? Gue nggak pernah marah nggak jelas, gue nggak pernah khawatir berlebihan, atau merasa kesal pada hal yang bukan dalam jangkauan gue. Tapi sama lo?" Giandra menggeleng seraya mengulas senyum tipis, "lo bikin gue ikutan nyeri saat lo sakit. Lo bikin gue kesal atas kesabaran lo yang seakan nggak ada habisnya..."

"Dan kamu bikin aku mudah percaya, meskipun kamu bilang Pluto adalah tempat kita berpijak sekarang." Galvin menyambung.

"Dalam beberapa buku yang pernah gue baca, ada beberapa alasan cinta. Ada cinta karena terbiasa, cinta pada pandangan pertama, cinta sesaat, dan cinta karena hal lainnya. But, between us? I do really hope it's not temporary. I hope we had something permanent. Gue harap, apa yang terjadi di antara kita sekarang, adalah hal permanen."

Baiklah, ucapan Giandra layak mendapatkan sesuatu. Seperti... bibir Galvin yang dengan begitu saja menyambar bibir si iris biru di sampingnya itu. Fuck off with the visitors of this cafe. Galvin really wants to kiss this British boy beside her.

***

"Gue bilang apa? Bagus, kan?" tanya Giandra pada wanita yang duduk di sisinya.

Setelah menghabiskan hampir satu menit menyantap bibir Giandra di kafe tadi, Galvin mengindahkan undangan Giandra untuk menyaksikan terbenamnya matahari di sekolah Giandra dulu. Kini, kedua manusia yang tengah berteman asmara itu sedang duduk pada sebuah cabang pohon besar di halaman belakang sekolah.

Tumpahan warna jingga bercampur warna ungu di ufuk barat membuat Galvin berdecak kagum. Sungguh indah. Kolaborasi antara beberapa warna alam di ujung sana membuahkan pemandangan yang luar biasa. Matahari sudah surut, meninggalkan warna-warna cantik di angkasa yang membuat gradasi, memuaskan mata.

"Padahal, sering aku lihat sunset di apartemen, atau di studio. Warnanya nggak seindah ini. Maksudku, ini benar-benar indah. Dan pohon ini benar-benar tinggi."

FixedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang