Empat Minggu
"Mbak! Mbak Galvin..." Rizky menepuk pelan pipi Galvin. "Mbak, bangun, Mbak..." Perlahan tapi pasti, rasa panik itu merembet ke hati Rizky. Mengusap kening Galvin yang berkeringat, Rizky kemudian menggendong wanita itu.
"Fuck. Kenapa gak kuat," gumamnya, menyalahkan dirinya sndiri karena tadi menolak sarapan di rumah Naima.
Butuh waktu sepuluh menit untuk Rizky membawa tubuh Galvin berbaring di sofa. Dalam hati, si pemuda bossy itu bangga karena untuk pertama kalinya bisa menggendong tubuh orang yang pingsan padahal ia belum sarapan.
Helaan napas pun terdengar. Rizky membungkuk, mengamati raut pucat perempuan penyuka makanan Jepang itu. Galvin sungguh pucat. Lingkaran hitam di bawah matanya, membuat Rizky yakin bahwa wanita itu kurang istirahat. Umpatan dan sumpah serapah untuk Giandra pun terlontarkan di dalam hatinya.
Emang dasar bule sialan! Udah tau ceweknya capek, malah suruh ngerjain tugas. Bener-bener, Giandra! Kalau gak gara-gara gue pernah ngerepotin dia pas kena usus buntu dulu, ogah gue ke sini.
Melirik jam di pergelangan tangannya, Rizky kemudian duduk bersila di lantai, mengamati kembali rupa ayu Galvin yang sedang pingsan.
"Oke, sekarang apa?" gumamnya lagi. "Ah iya, gue harus hubungin Giandra." Rizky lalu meraih ponsel Galvin di meja. Kembali mengumpat karena Rizky benar- benar tidak tahu bagaimana mengoperasikan ponsel pintar Galvin.
"Ck! Kenapa juga hp gue ketinggalan di rumah si R."
Merasa menjadi manusia paling bodoh karena bingung, Rizky mencoba mengutak-atik ponsel Galvin. Berhasil, lelaki itu bisa menjangkau homescreen ponsel tersebut. Senyum lepas Galvin saat Giandra mencium pipinya, membuahkan percikan api di benak Rizky. Bukan. Lelaki itu tidak cemburu.
Marahlah yang kini dirasakan Rizky. Iris Rizky berpindah kembali menatap Galvin. Sumpah demi apa pun, Rizky sangat marah pada Galvin—pada pilihan Galvin.
"Kenapa sih, Mbak, ninggalin Pak Arjun cuma demi Giandra? You deserve so much than this."
Lagi, helaan napas terdengar. Rizky membuka web browser pada ponsel, dan mencari lokasi dokter umum terdekat. Dapat! Rizky kemudian menghubungi dokter dengan nama tidak asing tersebut.
"Ini sih, mamanya si R."
**
Sementara itu, puluhan kilometer jauhnya dari tempat Rizky sekarang, Giandra dan sang mama sedang mendengarkan penuturan dokter perihal kondisi kesehatan papa Giandra. Saksama, Giandra memperhatikan saran-saran dan segala nasihat lainnya dari dokter.
Oke, gak boleh kecapekan. Gak boleh dengerin berita yang menggemparkan. Gak boleh bikin papa kaget. Oke, sounds like not hard to do, batin Giandra.
Seusai mendengarkan penjelasan dan nasihat dari dokter, Giandra dan ibunya pamit. Lelaki itu merengkuh sang mama yang terlihat masih terpukul meski keadaan ayah Giandra mulai stabil.
"Papa kamu ketemu orang, dua hari lalu. Pulangnya, dia agak aneh. Lalu dia nerima telpon dari Rena, dan kena serangan jantung." Mama Giandra menjelaskan.
"Orang? Siapa?"
"Mama gak tahu. Tapi kata papa kamu, orang itu mau ajak kerjasama. Club sepak bola anak-anak."
"Oh. Terus, Rena memangnya bilang apa, sih? Oh, ya, kapan Rena ke sini? Biar Giandra tanya." Giandra menggiring mamanya untuk duduk di sofa ruang perawatan ayahnya.
"Semalam, Rena pamit sama suaminya, mau ke luar negeri ada tugas dari kantor."
"Oh." Giandra menyahuti singkat. Jujur saja, Giandra masih enggan berhubungan dengan sepupunya itu. Namun, setelah mendengar penuturan mamanya, Giandra jadi penasaran, apa yang dibicarakan Rena pada papanya, sampai-sampai papanya kena serangan jantung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixed
Romance18++ (Revisi) Jangan berekspektasi lebih. 27 September 2019 - 23 September 2020(tanggal tamat) Naskah ini saya repost untuk mengikuti lomba yang diselenggarakan oleh Penerbit @Grass_Media Fixed (adjectiva) : tetap, menetap. Kehidupan teratur yang di...