Alhamdulillah, akhirnya aku menemukan solusi baru untuk tidak begitu menyiksa Pak Arjun.
selamat lebaran ya kalian :)
Stitches
I thought that I'd been hurt before. But no one's ever left me quite this sore. Your words cut deeper than a knife. Now I need someone to breathe me back to life.
Pria itu menatap ke luar jendela kamarnya. Sebatang rokok yang masih menyala terselip di sela jemarinya tangan kirinya. Arjun Pragyatama, sudah dua jam sejak fakta yang mencabik-cabik hatinya tadi berlalu. Namun, ia masih belum bisa memejamkan mata. Tubuhnya sudah lelah, pun dengan hatinya. Kedua matanya sudah menyerah mengalirkan luka yang ia dapatkan malam ini. Namun, indera penglihatan lelaki itu menolak untuk dipejamkan. Lobus frontal pada serebrumnya-lah yang memerintahkan Arjun untuk tetap terjaga. Memikirkan hal yang masih bisa dia lakukan untuk menahan agar Galvin tetap tinggal.
Arjun kembali menghisap rokoknya, dihembuskannya asap rokok itu ke udara malam yang dingin di luar jendela. Ia hanya tahu satu cara saat ini. Memaksa Galvin tetap tinggal dengan 'kekerasan' seperti yang biasanya ia lakukan saat hasrat menguasainya. Namun, Arjun tidak akan melakukan hal itu. Jika Galvin tetap tinggal, Arjun mau itu karena Galvin masih menginginkannya, bukan karena Arjun memaksanya.
"Fuck!" Arjun mengumpat saat sengatan panas rokok menyentuh kulitnya. Dibuangnya benda itu ke luar jendela.
Arjun lalu menutup jendela dan meraih ponselnya di atas nakas. Diketuknya layar benda itu hingga menyala. Sial, rupa ayu Galvin yang tersenyum saat Arjun merengkuhnya, malah kian mengiris hatinya. Kolase foto yang diabadikan Arjun hampir delapan tahun yang lalu. Dalam foto itu, Galvin masih mengenakan seragam SMA. Arjun ingat, itu adalah pertama kalinya ia terlihat begitu bodoh saat diajak berfoto.
Sore yang indah di taman kota menjadi latar memori itu tercipta. Si gadis remaja yang lulus dan mendapatkan nilai terbaik itu merengek pada Arjun agar mau menemaninya menghabiskan sisa sore di taman. Pria yang sebenarnya ada rapat penting itu mengiyakan permintaan Galvin.
Keduanya begitu larut pada obrolan ringan, hingga si gadis mengajak Arjun berfoto. Sungguh, saat itu sebenarnya Arjun deg-deg-an setengah mati. Hingga ter-capture foto itu.
Perlahan, senyum pedih itu terukir. Samar-samar, luka itu kembali terasa. Tapi tidak, Arjun tidak ingin kembali hanyut dalam air mata. Seperih apapun itu, ia harus memikirkan cara agar sang gadis tidak pergi meninggalkannya. Jika memang kekerasan bukanlah solusi yang ia pilih, maka memohonpun akan Arjun lakukan. Apapun itu.
Galvin bukan hanya gadis yang sepuluh tahun ini Arjun jaga. Galvin sudah menjelma menjadi wanita yang memiliki peranan penting dalam hidupnya. Galvin adalah putih untuk kelamnya sisi lain dari Arjun. Galvin adalah merah, jingga, biru, kuning, hijau, dan ungu, yang meriah—yang ingin Arjun miliki dalam hidupnya. Selamanya.
Menghela napas, Arjun pun beranjak dari kamar. Lelaki itu berjalan pelan menuju kamar Galvin. Pintu kamar itu masih terbuka. Di dalamnya masih sama, temaram. Si empu kamar sedang meringkuk di atas ranjang. Pergerakan teratur bahu Galvin menandakan bahwa wanita itu sudah terlelap.
Arjun mendekat. Diusapnya air mata yang kembali luruh melewati pipi lelaki itu. Perlahan, Arjun ikut berbaring di atas kasur, meringkuk merengkuh pinggang Galvin. Ia mengakui dalam sunyi. Dengan suara pelan yang bergetar karena hati pria itu kembali nyeri, "Aku bisa kehilangan semuanya, Galv. Tapi aku nggak bisa kehilangan kamu. Aku nggak bisa lihat kamu dalam ketidakpastian jika kamu milih Giandra. Maafin aku. It might be awful, but I promise you won't regret this."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixed
Romance18++ (Revisi) Jangan berekspektasi lebih. 27 September 2019 - 23 September 2020(tanggal tamat) Naskah ini saya repost untuk mengikuti lomba yang diselenggarakan oleh Penerbit @Grass_Media Fixed (adjectiva) : tetap, menetap. Kehidupan teratur yang di...