Thanks for the Chit-Chat
Jika dua hari lalu, Rizky tidur meringkuk di kursi belakang, malam ini Galvin yang menggantikan posisi lelaki itu. Masih memakai jaket tebal Rizky, wanita itu terlelap setelah minum obat tambah darah dan vitamin yang dibelikan R untuknya.
Sesekali, pemuda sok care itu melirik Galvin dari spion di dalam mobil. Rasa khawatir itu masih ada. Malah, ia semakin khawatir saat mendapati iris wanita itu berlinang air mata. R kemudian tahu, Galvin tidak benar-benar tidur. Wanita putus asa itu menangis dalam diam. Tangan kurus yang tadi sempat menggamit lengannya saat menyeberang jalan itu, terlihat tak henti memegangi perut.
R memelankan laju mobil, lalu menoleh pada Rizky yang sialan sekali malah mendengkur keras.
"Hey," R memanggil pelan, "gue tahu lo gak tidur. Perut lo sakit lagi?" tanyanya.
Menyadari akting tidurnya ketahuan, Galvin membuka kedua netranya. Ia beringsut duduk, bersila sambil merengkuh perutnya. Ditatapnya R yang juga menatapnya. Lelaki itu menghentikan mobil di depan taman kota yang sepi.
"Lo mau turun dan ngehirup udara segar?" tawar R.
Galvin menggeleng. R kemudian menoleh ke belakang sebelum mematikan mesin mobil dan turun. Galvin tetap diam, mengawasi apa yang akan dilakukan R.
Apa dia mau buang aku di sini? Kayak Giandra yang buang aku. Galvin membatin.
Saat pintu penumpang terbuka, tangan R terulur untuk Galvin. "Ayo, gue temenin ngehirup udara segar," ajaknya.
Galvin tetap menggeleng, beringsut menjauh dari R.
Senyum tipis itu kembali terbit. "Ayo. Taman ini udaranya selalu segar kalau malam gini. Gak banyak polusi di sini karena daerah sini cuma buka untuk kendaraan bermotor setelah jam sepuluh malam."
Melirik tangan yang masih terulur untuknya itu, Galvin lalu membuka pintu penumpang di sisi lain. Ia turun dari mobil, menatap R yang melebarkan senyum untuknya.
"Gue buka pintu di sini, lo malah keluar dari sana," kata R sebelum melangkah memasuki area taman.
Galvin mengekor di belakang R, memeluk dirinya yang sedikit dingin.
Beberapa menit kemudian, dua orang asing itu sudah duduk di salah satu kursi taman. Ibarat bumi dan langit, jarak membentang di antara Galvin dan R.
Menyadari wanita di sampingnya itu masih kalut, R lalu beringsut mendekat. Ia mengulurkan tangannya di depan Galvin, dan memperkenalkan dirinya, "Gue Rely. Biasanya, gue ngelarang semua orang panggil gue pakai nama itu. But, you can call me Rely."
...disertai senyum hangat yang begitu terlihat tulus.
"Namaku masih sama, Galvin." Galvin membalas uluran tangan Rely, singkat, lalu kembali memasukkan tangannya ke saku jaket. "Glad to know you have a real name," komennya.
Rely tertawa ringan. "Gue sering pakai hoodie merah, R zombie be like. Then everybody called me R."
Galvin mengangguk singkat, memaksakan senyum tipis. Oh sungguh, sama sekali tidak peduli.
"It's a shit world, Galvin. Things happen, and the bad news is sometimes life treats us bad. But we have a chance to make it good, always."
Jujur saja, Galvin terpana mendengarnya. Seolah, Rely memang sudah tahu seluk-beluk kekejaman dunia.
"Apa yang sudah dilakukan kehidupan sama kamu?"
Rely menoleh mendengar pertanyaan Galvin. Senyum tipis itu terbit lagi, untuk dua detik. "Banyak. Dan gue yakin lo gak mau tahu. The thing is, you still have a choice that I don't."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixed
Romance18++ (Revisi) Jangan berekspektasi lebih. 27 September 2019 - 23 September 2020(tanggal tamat) Naskah ini saya repost untuk mengikuti lomba yang diselenggarakan oleh Penerbit @Grass_Media Fixed (adjectiva) : tetap, menetap. Kehidupan teratur yang di...