BAB 4
Jika setengah jam lalu hening mendominasi dapur slash ruang makan di apartemen Galvin, kini suara gemercik air dari kran yang terdengar. Acara "dinner bareng idola" sudah selesai. Dua manusia itu tengah mencuci piring sekarang. Galvin yang menyabun peralatan makan yang tadi mereka gunakan, sedangkan Giandra bertugas membilasnya. Sebenarnya, tadi Galvin akan mengerjakan sendiri. Namun, tamunya itu bersikeras ingin membantu.
"Jangan bikin gue useless dan jadi bule gak tahu diri, dong. Please, gue nyuci piring, ya?"
Lalu, seperti yang sudah-sudah. Entah kelemahan atau kelebihan Galvin. Seperti saat ia diminta untuk mengambil alih studio karena Kalina ingin bulan madu, Galvin pun tidak bisa menolak permintaan Giandra.
"Lo tinggal di sini sendirian?" Giandra berceletuk.
"Gak. Aku tinggal sama ... " Galvin menjeda kegiatannya menyabun mangkuk.
"Pacar lo?" Giandra menebak.
Galvin mengangguk singkat. "Sebut aja gitu."
Giandra ikut mengangguk. "Plester melingkar di tangan lo, bukan karena pacar lo, kan?" Lagi, Giandra menebak, membuahkan tolehan dari Galvin.
Ah, tatapan itu ... kenapa Giandra ngelihatnya khawatir gitu?
"Sport, kan aku udah bilang."
"Okey, sori, gue sok tahu. Dan juga mungkin sangat kepo, tapi seriusan gue penasaran sport jenis apa?"
Galvin memberi senyum simpul, melanjutkan mencuci mangkuk, dan menjawab dengan nada meledek, "Jomlo gak akan tahu!"
"Hey, lo tahu gue jom—Rizky, ya? Dasar mulut ember!" Giandra terlihat jengkel.
Galvin terkekeh. Mencuci tangan dan mengeringkannya, ia lalu bertanya, "Udah berapa lama kamu jomlo?"
"Selama hampir dua puluh tahun." Giandra mengikuti Galvin; mencuci tangan dan mengeringkannya.
"Bohong itu dosa, tahu?!"
"Gue gak bohong. Seriusan gue belum pernah pacaran. Inget, kan? Gue pernah dicap vampir?"
"Aku gak percaya."
"Gue gak minta lo percaya sama gue. Lo nanya, gue jawab. Lo gak percaya itu urusan lo," jawab Giandra sedikit kesal.
"Uuuuhh, kamu marah? Sori-sori, jangan marah, dong. Jadi gemesin, tahu!" Galvin menyikut lengan kiri Giandra. "It's just, hard to believe, you're handsome and never dating a girl? Wah, cewek yang akan jadi pacar pertama kamu akan beruntung banget."
"Haha." Giandra tertawa hambar. "Gue cuma pengen nikmatin masa muda gue tanpa pusing-pusing gak jelas. Meraih mimpi, nyenengin orang tua gue, sukses dulu, deh. Yaa ... meski kadang agak tandus karena gak ada yang nyemangatin."
Galvin tertawa kencang mendengarnya. "Tandus? Hey, kamu kira sawah kena kemarau panjang?"
Giandra terdiam, enggan menyahuti. Untuk beberapa saat, dibiarkannya seluruh perhatiannya tercurah pada tawa renyah wanita di sampingnya. Ya, ini untuk pertama kalinya Giandra melihat Galvin tertawa seperti ini. Seperti ... seorang anak kecil yang luluh oleh lelucon sang ayah, atau karena tingkah lucu kartun favoritnya. Hal sederhana. Namun, berimbas luar biasa, membuat Giandra semakin terpesona.
Ihh, lesung pipinya gemesin banget!
**
Giandra mengucapkan terima kasih kesekiankalinya pada Galvin. Kali ini, karena Galvin merelakan kamarnya sebagai tempat melepas penat Giandra. Bule yang sudah tidak layu lagi itu padahal tidak keberatan jika harus tidur di sofa. Namun, dengan dalih Galvin akan menyelesaikan pekerjaannya di ruang tamu, wanita itu tidak mengizinkan. Jam digital di kamar Galvin sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Saat perlahan pintu kamar terbuka.
Sosok Galvin muncul dengan flashlight dari ponselnya. Giandra, yang memang belum tidur bergegas beranjak dari kasur dan menyalakan lampu kamar.
"Kenapa? Lo berubah pikiran?" tanya Giandra.
"Eum, gak. Aku cuma mau ambil selimut, sama kasih ini." Galvin menunjukkan selimut putih yang masih terbungkus plastik. "Kamu gak pa-pa, kan, pakai selimut ini? Aku gak bisa tidur kalau gak pakai selimut itu," lanjutnya sambil menunjuk selimut bermotif bunga primrose yang masih terlipat di atas kasur.
"Oh," Giandra berbalik dan mengambil selimut yang dimaksud Galvin, "Nih, gak pa-pa. Gue biasa tidur gak pakai selimut juga, sih." Diulurkannya selimut berwarna toska itu pada Galvin, dan diterimanya uluran selimut putih itu. "Lo beneran gak tidur di sini aja?"
"No. I'm fine. This blanket is all I need."
Giandra tersenyum, menular pada Galvin. "Gemini is unique."
"Mmm-hmm."
"Gue gemini juga, by the way."
"Glad to know."
**
Gelap mendominasi ketika Giandra terpaksa membuka kedua irisnya. Rasa gerah membuat Giandra terbangun. Ia lantas membuka kaosnya, ingin segera melanjutkan tidur saat pintu kamar kembali terbuka. Agak terkejut namun begitu menyadari ia sedang menumpang tidur di rumah orang, Giandra beranjak dari kasur. Meski dalam keadaan gelap, Giandra melihat si empu kamar berjalan ke arahnya.
"Hey, lo butuh sesuatu?" Giandra bertanya setengah berbisik. Namun, Galvin tidak menyahuti. Wanita itu semakin mendekat dan tahu-tahu menubruk Giandra yang berdiri di samping kasur. Pemuda itu tercekat. Bagaimana tidak? Ia terjerembab di atas kasur dengan tubuh Galvin mendarat mulus di atas tubuhnya—bagian atas tubuhnya yang polos.
"G—hey!" Giandra memekik pelan, menggoyangkan bahu Galvin. Is she sleep-walking?
"I miss you so much." Lembut, Galvin besuara. Lebih seperti mengingau namun begitu jelas di telinga Giandra.
Menelan saliva, Giandra terdiam sejenak. Aroma vanila menyeruak indera penciumannya seiring napas hangat Galvin yang menerpa kulitnya. Giandra menggumam. Perlahan, dipindahkannya tubuh Galvin dari atas tubuhnya, dan dibaringkannya wanita si empu kamar itu ke tempat tidur.
Setelah memastikan Galvin terlelap dengan nyaman, Giandra beranjak, hendak mengambil selimut kesayangan wanita itu. Namun, cekalan pada tangan kirinya menghentikan niat Giandra. Dengan iris setengah terbuka, Galvin menyorot sendu Giandra.
"Jangan tinggalin aku, Ar." Galvin meminta, lalu kembali memejamkan mata.
"Oke. Dia punya kebiasaan sleep-walking dan ngelindur? What a surprise," gumam Giandra. Ia lalu mencoba menepis cekalan tangan Galvin. Namun, saking eratnya, ia tidak punya pilihan lain selain ikut merebahkan dirinya di samping wanita itu. Rasa kantuk dan lelah Giandra butuh dipuaskan.
"Bodo amat, gue udah ngantuk! Lo yang gak mau lepasin gue."
**
Wanita itu mengerjap karena merasakan sesuatu membelenggu pinggangnya. Keadaan masih sangat gelap saat kedua manik cokelat gelapnya terbuka. Ditolehkannya pandangan wanita itu pada satu-satunya benda yang menyala di kamarnya, jam digital di atas meja kamera. Garis-garis merah pada benda itu menunjukkan pukul 04.30. Galvin mengerjap sekali lagi, menerima sinyal dari bawah sadarnya yang mengingatkan bahwa kekasihnya sedang berada di luar kota. Seketika, jantung wanita itu bekerja dua kali lebih cepat dari seharusnya.
"Tunggu—" Galvin menggumam. Kalau Arjun gak pulang, ini tangan siapa?
Perlahan, Galvin memindahkan tangan hangat yang membungkus pinggangnya itu dari tubuhnya. Perlahan pula, ia beringsut menuruni kasur dan langsung membekap mulutnya begitu tahu siapa yang ada di ranjang bersamanya.
Adalah Giandra Sienaya, partner kerja yang beberapa hari terakhir menarik perhatiannya.
Dan ...
Ya Tuhan, lihat itu! Giandra bertelanjang dada!
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixed
Romance18++ (Revisi) Jangan berekspektasi lebih. 27 September 2019 - 23 September 2020(tanggal tamat) Naskah ini saya repost untuk mengikuti lomba yang diselenggarakan oleh Penerbit @Grass_Media Fixed (adjectiva) : tetap, menetap. Kehidupan teratur yang di...