Hai-hai-hai! Aku balik lagi. setelah lama bertama karena hormon kehamilan sungguh membagongkan. semoga kalian masih bersedia bertahan yaaa...
BAB 2
Galvina Studio begitu ramai siang ini. Selain karena seluruh kru yang sudah mulai masuk kerja, rombongan klub jurnalis dari SMA Dellinger menjadi alasan lain ramainya lantai satu studio foto elit itu. Enam remaja yang menjadi perwakilan tim jurnalis SMA itu datang dua puluh menit lalu, mengatakan ingin mewawancarai Giandra. Galvin, selaku 'bos' Galvina pun mengizinkan meski sang model sendiri terlihat ogah-ogahan.
"Why?" celetuk Giandra sambil mengekor Galvin yang menuju stage pemotretannya.
Galvin berbalik, nyaris menabrak pemuda yang kini menatapnya kesal itu. "Why, what?"
"Kenapa lo main ngizinin mereka wawancara gue?" Giandra bersidekap, menunjuk dengan dagunya enam siswa SMA yang duduk di sofa ujung ruangan.
"Ak—emangnya kamu gak mau diwawancarai mereka?" Galvin menjawab. Raut merasa bersalah pun ia beri untuk Giandra. Ya, dia memang merasa bersalah saat ini karena sudah lancang mengambil keputusan tanpa bertanya pada model di depannya. "Maaf, deh," sesalnya.
Giandra diam, masih bersidekap dan menatap Galvin. Pandangannya kemudian turun pada tangan wanita itu yang terulur di depannya. Giandra ingin mengacuhkan uluran tangan itu, saat iris birunya menangkap plester luka melingkari pergelangan tangan Galvin.
"Ini kenapa?" tanya Giandra sembari memegang tangan Galvin.
Buru-buru Galvin menarik tangannya. Senyum canggung ia beri untuk Giandra. Sembari berbalik dan siap membidik stage, ia menyahuti, "Sport."
"Sport? Sport jenis apa sampai tangan lo harus diplester muter gitu?"
Galvin menghela napas, kembali berbalik dan mendorong lelaki kepo di depannya untuk naik ke stage. "Jenis yang gak bisa aku jelasin. C'mon, udah sana pose. Kamu ada wawancara juga habis ini, Giandra," jawabnya.
Meski kesal karena tidak mendapat jawaban memuaskan, toh Giandra menuruti ucapan Galvin. Mulai berpose layaknya model profesional, si blonde pun kembali membuat sang fotografer menelan saliva karena pesonanya.
Damn, Galvin. He's six years younger than you!
Tidak ingin seperti seminggu terakhir, kali ini Galvin mengambil gambar Giandra sambil mengajak lelaki itu mengobrol. Bukan agar lebih akrab, melainkan jika hanya sunyi yang hadir di antara keduanya, Galvin pasti akan tenggelam dalam pesona Giandra.
Oh, ayolah, siapa yang tidak?
"Oh ya, apa kamu udah bilang ambil jurusan apa?"
"Sastra Inggris." Giandra menyahuti sambil bersandar dinding, meraih sekuntum mawar dan menyelipkannya di sela bibirnya. Diarahkannya iris biru lelaki itu tepat pada kamera.
Refleks, Galvin terbatuk melihat hasil bidikannya barusan. Menurunkan kameranya, ia lalu mengecek hasil foto barusan. Pemotretan kali ini memang bertema romantis. Namun, Galvin sungguh terkejut dengan improvisasi Giandra. Terlihat begitu ... memikat.
Iris biru yang kata lelaki itu didapatkannya dari sang ayah, menatap teduh tepat ke arah lensa. Porsi tubuh Giandra yang pas meski hanya dengan celana straight biru dan kemeja warna beige yang dimasukkan, serta senyum yang mengisyaratkan kasih sayang.
Oh, astaga! Ditambah memori saat lelaki itu menceritakan latar belakangnya, membuat hati Galvin sedikit goyah. A half British boy, ocean blue eyes, blonde hair, dan mahasiswa jurusan sastra Inggris? Oh my God, kenapa dia baru muncul?
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixed
Romansa18++ (Revisi) Jangan berekspektasi lebih. 27 September 2019 - 23 September 2020(tanggal tamat) Naskah ini saya repost untuk mengikuti lomba yang diselenggarakan oleh Penerbit @Grass_Media Fixed (adjectiva) : tetap, menetap. Kehidupan teratur yang di...