BAB 3 : Please, boleh, ya? Ya? Ya?

26.6K 705 13
                                    

BAB 3

Helaan napas lolos dari mulut satu-satunya orang di Galvina Studio. Galvin, merasa tidak sabar pada proses pemindahan data dari kameranya ke laptop Galvina. Wanita itu meraih ponselnya yang menyala, menampilkan sebuah pesan yang malah membuat bibirnya mengerucut. Kalina, si pemilik studio memberi tahu bahwa akan pulang dari liburan dua atau tiga minggu lagi.

"Ck! Katanya dua minggu aja. Ini-"

Gedubrak!

Sebuah suara seperti sesuatu yang terjatuh, menghentikan ucapan dan menyita perhatian Galvin. Ditatapnya pintu kaca studio yang ia yakini sebagai sumber suara. Galvin menelan saliva, memasukkan ponsel ke saku jaket yang ia pakai. Kemudian, dikemasinya seluruh barang miliknya ke dalam tas selempang besar miliknya. Galvin menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Disapunya seluruh isi studio yang sepi itu. Ya, hanya tinggal dirinya saja sekarang. Ia tertahan satu jam lebih lama karena harus menghapus lipstik waterproof merah cherry Celine tadi dan memindah data.

"Okey, semua udah kekunci. Udah aman," gumamnya, meletakkan tas besarnya di bawah meja kerja. Ia kemudian melangkah mendekati pintu. Diraihnya stand tripod yang tergeletak di atas sofa sembari kembali menggumam, "Oke. Tinggal aku aja di sini. Kalau suara kursi yang ditendang barusan adalah suara maling, aku akan gebukin maling itu pakai jasa stand tripod ini. Ya! That's the plan."

Pelan, Galvin membuka pintu kaca besar di depannya. Ia sudah siap mengayunkan benda yang ia pegang erat itu, saat mendapati ternyata bukan maling yang barusan menendang kursi plastik di teras studio. Giandra Sienaya-lah tersangkanya. Menghela napas lega, Galvin beringsut mendekati pemuda yang berdiri membelakanginya itu. Disentuhnya bahu kiri si bule dan berujar pelan, "Hai."

Meski pelan namun sukses membuat Giandra tersentak kaget. "Lo bikin gue kaget!"

"Kamu juga bikin aku kaget!" balas Galvin.

Kemudian, cengiran didapat Galvin dari Giandra. Lelaki itu menoleh pada tanaman hidroponik yang sedari tadi dipandanginya. Telunjuk kanannya terarah pada deretan tanaman sawi di pipa.

"Itu tanamannya seger banget," tukas Giandra, "sore-sore gini, ya gak, sih? Berendem di air, sejuk gue lihatnya. Duh, jadi haus."

Mau tak mau, Galvin pun mengikuti arah pandang Giandra. Menurunkan stand tripod, wanita itu lalu bersidekap dan menjawab, "Terus, kenapa kamu malah kelihatan layu? Dan ... kenapa kamu belum pulang?"

Giandra menggaruk alisnya yang tidak gatal. Membetulkan posisi kursi yang tadi ditendangnya, bule layu itu menyahuti, "Mobil gue dibawa Rizky, inget?"

Galvin mengangguk.

"Sial sekali, seluruh amunisi gue ada di mobil itu."

"Amunisi?"

"Ya ... Hp, duit, dompet, tas, bekal dari mama gue."

Galvin kembali mengangguk. Masih bersidekap, ia mengambil duduk di kursi sebelah Giandra. "Jadi, ini ceritanya kamu gak bisa pulang?"

Giliran Giandra yang mengangguk. "Rumah gue tiga puluh lima kilometer jauhnya dari sini. Gue gak mungkin pulang jalan kaki. Bisa tambah kurus gue, nyampe rumah tinggal tulang doang."

Mendengarnya, Galvin menoleh pada Giandra. Diamatinya pemuda itu dengan saksama. Tubuh kurus tinggi dan tidak berisi seperti Ben-teman Giandra yang juga pemilik Oldies Club. Namun, Giandra pun tidak sekurus Rizky. Setidaknya, Giandra masih memiliki daging dan lemak yang menutupi kedua lengannya.

"Kamu mau hubungin Rizky pakai hpku?" tawar Galvin.

"Gue gak hafal nomornya."

"Yah, aku juga gak punya nomor dia. Atau ... kamu mau aku pesenin taksi online?"

FixedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang