Cigarette
"Aku rasa... ada yang datang."
Refleks, Giandra mematung. Telinga dan tatapannya waspada. Beberapa detik berlalu, namun tidak ada tanda jika ada orang yang datang. Diturunkannya pandangan si iris biru, mengernyit pada wanita di bawahnya.
"Ngapain?" tanya Galvin, merasa aneh dengan sikap Giandra barusan.
"Lo bilang ada yang dateng. Tapi gue nggak denger apa-apa. Langkah kaki atau—"
"I mean down there." Galvin menyela. Ia mendorong si iris biru menjauh. Kemudian, Galvin beringsut duduk, turun dari kasur. "Tamu bulananku datang." lanjutnya kemudian menghambur menuju kamar mandi di kamar itu.
Helaan napas panjang keluar dari mulut Giandra. Lelaki itu menoleh pada gitarnya di lantai. Mengambil duduk, ia lalu memungut benda kesayangannya itu, kembali memetik dawai gitarnya. Saat kemudian pintu kamar mandi terbuka.
"Beneran dateng?" tanya Giandra saat melihat si iris cokelat gelap melangkah lunglai menuju tasnya di dekat pintu. Bibir wanita itu mencebik, membuat Giandra berusaha mengabaikan teriakan hatinya untuk menerkam bibir itu.
"Ini tanggal satu, kan? It's always tanggal satu." sahut Gavin tanpa menoleh pada Giandra. Berjalan kembali ke kamar mandi untuk berganti. Bersyukur sekali tadi pagi Belia menawarkannya untuk membawa dress cadangan. Datang bulan dan candy short skirt bukan kombinasi bagus.
Giandra menatap punggung Galvin yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Baiklah, ini sialan sekali. Dirinya sudah siap mengajak vanilla fragrance-nya untuk kembali melebur dalam api, namun wanita itu malah datang bulan.
Menyugar rambut, Giandra beranjak dari tempat tidur, meletakkan kembali gitarnya pada tempatnya. Satu tangan Giandra membuka laci meja, mengeluarkan sebatang rokok dari laci itu, menyelipkan benda panjang itu pada bibir.
Ia melangkah keluar kamar. Pada balkon yang berada tepat di sebelah kamar mandi. Pandangannya lurus pada gunung yang membentang di sisi barat. Hari sudah semakin siang, saat pintu kamar mandi terbuka. Giandra menoleh, Galvin menghampirinya.
"Kamu ngerokok?" tanya wanita yang sudah berganti dengan A line floral dress tanpa lengan berwarna biru pastel.
"Apa gue kelihatan kayak lagi manjat gunung?"
"Ih, kok kamu nyolot?" Galvin bersidekap.
Giandra terkekeh pelan, "Gue nggak nyolot. Dan, no. Gue nggak ngerokok." jawabnya, mengulurkan tangannya dan menarik tubuh Galvin mendekat.
"Terus rokok yang ada di sini?" tunjuk Galvin pada bibir Giandra, "apa maksudnya?"
Giandra menurunkan rokoknya, menatap Galvin yang berpindah, berdiri di sampingnya seraya menatap gunung.
"Gue udah pernah bilang belum, kalau novel favorit gue kebanyakan karya John Green?"
Galvin menggeleng. Namun, sedetik kemudian menyahuti, "Oh, Augustus Waters?"
Giandra menaik-turunkan alisnya sebagai jawaban.
"Emang itu dari novel? Aku gak tau. Aku pernah diajak Kalina lihat filmnya aja."
"Ntar gue bacain buat lo."
Galvin terkekeh. "Nggak usah. Aku bisa baca sendiri."
Selanjutnya, hening menjadi teman keduanya. Giandra fokus menatap Galvin seraya kembali menyesap rasa manis dari rokoknya. Sedangkan Galvin menikmati hembusan angin yang menerpa kulitnya sembari memejamkan mata.
"Gue... boleh nanya sesuatu?"
Pertanyaan dari Giandra membuat Galvin membuka mata. Ia menoleh, memiringkan badannya, menghadap si iris biru. "Tanya aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fixed
Romance18++ (Revisi) Jangan berekspektasi lebih. 27 September 2019 - 23 September 2020(tanggal tamat) Naskah ini saya repost untuk mengikuti lomba yang diselenggarakan oleh Penerbit @Grass_Media Fixed (adjectiva) : tetap, menetap. Kehidupan teratur yang di...