31. Mencari

60.6K 8.4K 382
                                    

Semua orang mendadak membeku mendengar ancaman tersirat dari pria yang katanya menjabat sebagai ketua RT itu. Mereka yang belum memasuki kepala tiga itu, terkejut sekaligus ngeri. Apalagi setelah ancaman tersirat itu, pria bernama Imran itu melanjutkan pembicaraan remeh tentang iuran bulanan setiap rumah yang harus di bayar lewat dirinya. Seperti iuran sampah, iuran keamanan dan iuran kesejahteraan.

"Orang zaman sekarang sudah sulit hanya untuk beramah tamah dengan tetangganya. Saya saja sering sulit untuk menagih iuran pada mereka," ucap Imran. Pria itu sepertinya tidak menyadari orang-orang muda di sekitarnya itu sekuat tenaga bersikap normal di hadapannya. Jika bicara secara fisik, tidak ada yang aneh dengan perawakan Imran. Pria itu jauh dari kata menyeramkan jika melihat dari fisiknya, hanya saja cara pria itu menatap dan bertingkah terlihat sedikit ganjil untuk ukuran orang biasa. Apalagi luka di tangannya yang tadi tidak sengaja terlihat benar-benar mengganggu. Luka memanjang itu seperti luka cakaran yang belum sepenuhnya kering.

"Dek Navya dan masnya ini satu-satunya tetangga yang rumahnya ramai. Tetangga yang lain kebanyakan bekerja dan baru pulang malam hari atau kadang kerjanya malam hari dan seharian mereka istirahat di rumah. Jarang ada kumpul-kumpul teman dan keluarga di rumah mereka," ucap Imran lagi. Panggilan pria itu untuk Navya terdengar sangat menggelikan, tapi Navya tidak berani protes karena takut. Navya dan Kalandra yang sejak tadi tanpa sadar saling bertautan hanya tersenyum kaku mendengar ucapan dari pria itu.

"Atas izin Bapak, masalah iuran bulanan, kami akan membayarnya lewat transfer saja. Apa bisa?" tanya Kalandra, dia tidak yakin apa bisa bertahan di rumah ini hingga satu bulan ke depan. Tapi, jika pada akhirnya dia dan Navya tinggal lebih lama dari harapan, dia tidak bisa membayangkan harus bertatap muka dengan sosok yang membuatnya ngeri setiap bulannya.

"Ah, Mas ini ada-ada saja. Iuran bulanannya tidak lebih dari dua ratus ribu, masa pake ditransfer segala. Saya sendiri yang menagihnya door to door, Mas," jawab Imran diiringi tawa pria itu.

"Ah, berkumpul dengan orang muda membuat saya merasa muda lagi. Sayangnya saya punya urusan lain, jadi tidak bisa tinggal lebih lama," ucap Imran pamit.

Sebagai tindak kesopanan, Kalandra dan Navya mengantarkan Imran hingga luar pagar rumah mereka. Keduanya tidak beranjak dari tempat mereka dan melihat ke arah mana perginya Imran. Dari tempat mereka berdiri, keduanya melihat Imran memasuki rumah yang berjarak dua rumah dari mereka. Apa itu rumah pria itu? Tapi, jika jarak rumah Imran sejauh itu dengan mereka, kenapa Imran bisa mendengar teriakan Chandra tempo hari. Rumah di Paradise Garden bukanlah rumah yang menempel satu sama lain, bagaimana dengan jarak sejauh itu Imran bisa mendengar keributan di rumahnya. Entah teriakan Chandra yang kelewat fantastis atau mungkin Imran yang punya telinga super kelelawar. Tapi, keadaan itu terasa ganjil.

Saat memasuki rumah setelah mengantarkan Imran, hanya Nattan yang ada di ruang tengah yang sedang sibuk dengan laptopnya.

"Ke mana yang lain?" tanya Kalandra.

"Membantu beres-beres di belakang. Si Bagas ngeluh karena ada saja yang Reta dan Chandra cibir jika dia sendiri yang mengatur letak barang. Mendatangkan dua makhluk kece pasti membuat dua wanita itu jaga image mereka, menurut Bagas," ucap Nattan tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptopnya.

"Lagi ngapain, sih, Bang?" tanya Navya mendekati Nattan. Tangan wanita itu tertahan karena Kalandra masih menggenggamnya.

"Apa, sih? Lepasin tanganku," ucap Navya.

"Ck, yang mulai menyelipkan tangannya ke tanganku tadi siapa?" tanya Kalandra setengah meledek.

"Tadi, kan ...."

"Udah, sih. Gak debat sehari gak bikin kalian kelaparan," lerai Nattan.

"Sini kalian berdua," perintah Nattan lagi.

Paradise GardenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang