Closer 8

2K 190 41
                                    

Wonpil meniup pemantik hingga apinya mati saat ujung batang dupa yang ia nyalakan telah berwarna merah dan mengeluarkan asap putih tipis. Gadis tersebut meletakkan di dalam rak guci abu yang pintunya dibiarkan terbuka.

"Eomma," ujar Wonpil sambil mengulum senyum. "Aku datang lagi. Tapi kali ini tidak dengan Jae karena dia sedang bekerja di Jeju. Aku datang dengan Dowoonie. Eomma masih ingat dia 'kan?"

"Bibi, annyeonghaseyo~" dari belakang Dowoon membungkukkan badan, kedua tangannya menyodorkan bunga yang diterima Wonpil lalu diletakkan ke dalam kotak guci, di sebelah foto mendiang sang ibu.

"Aku akan membuat berisik di sini sebentar. Ehe, maaf~" Dowoon nyengir, membuat kakaknya terkekeh gemas. Di waktu yang sama asap putih dupa nampak bergoyang bagai terkena angin, meski seharusnya di dalam ruangan tidak ada angin yang berhembus.
.
.
"Aku heran, kapan Mama akan berubah? Wah, sikapnya itu benar-benar..." Gumam Dowoon sambil menyumpit terong goreng masuk ke dalam mulut. Usai berdoa dan bercerita, ia bersama Wonpil kemudian meminjam tikar untuk digelar di lantai depan rak guci ibu gadis mungil dan mulai menata kotak bekal. Sebenarnya makan-makan di dalam kolumbarium itu dilarang, namun petugas sudah mengenal dekat Wonpil dan kebetulan keadaan sedang sepi, tidak ada peziarah lain, jadi untuk kali ini mereka mendapat pengecualian.

"Aku kepikiran akan bagaimana nanti istriku di masa depan. Akan diapakan dia sama Mama kalau Mama tidak bisa merubah sikapnya yang julid itu?"

"Apa tidak masalah kita membicarakan Mamamu?" Desis Wonpil.

"Memang kenapa? Kenyataannya begitu. Aku dan Seungminie sering mengeluh soal Mama di belakangnya, karena Mama paling tidak suka kalau dikritik. Jadi kami ghibahin saja," jawab Dowoon cuek. Gadis yang lebih tua mengulum senyum.

"Kalau Bibi gimana? Apa Noona pernah tidak puas dengan Bibi?" Pemuda bersurai hitam balik bertanya.

"Eomma..." Wonpil mendongak untuk memandang guci abu ibunya, kemudian ia tersenyum. "Yang mengesalkan dari Eomma cuma selalu memberi bekal kebanyakan. Aku jadi banyak makan dan membulat."

Dowoon terkekeh. "Aku ingat Noona waktu pertama ketemu dulu. Tembem~ tapi setelah masuk asrama jadi makin kurus, aku kira Noona sakit."

"Aniya~ badanku habis karena makan di asrama sangat dibatasi dan diatur. Sehari tiga kali. Belum termasuk kegiatannya yang sangat banyak dan ada ekskul juga yang kadang sampai jam 12 malam. Aku syok waktu pertama pindah sekolah ke Seoul. Keadaannya sangat berbeda dengan sekolahku di desa." Wonpil merengut.

"Aku baru merasakan indahnya kehidupan sekolah setelah masuk kuliah. Karena sejak SD, SMP, sampai SMA kita cuma dituntut masuk kelas, duduk, dan mendengarkan, sambil sesekali praktek di laboratorium atau olahraga di lapangan. Begitu kuliah aku disuruh turun ke kebun, ladang, tanpa alas kaki, memegang tanah, kotor-kotoran, bahkan pernah saat hujan deras kami masih di kebun menutupi tanaman dengan plastik. Rasanya seru sekali! Waktu kecil aku sama sekali tidak pernah seperti itu!" Ujar Dowoon penuh semangat.

"Kau belum pernah hujan-hujanan!?" Wonpil terkejut. Adiknya menggeleng polos.

"Aku sudah puas main hujan sampai berkali-kali kena flu dan dimarahi Eomma. Ne, Eomma?" Gadis mungil menoleh pada guci ibunya.

"Aku tidak bisa main hujan~" suara Dowoon merajuk. "Jalan depan rumah 'kan ramai kendaraan, termasuk waktu hujan. Jadi Mama selalu melarangku keluar. Pekarangan juga sempit, kurang puas buat main hujan. Di asrama kalau bikin onar sedikit saja nanti langsung dipanggil ke kantor, kami sama sekali tidak berkutik."

"Aigoo~ kasihan sekali~ tapi sekarang sudah lebih baik 'kan. Jadi jangan sedih lagi," hibur Wonpil langsung membuat adiknya kembali tersenyum lebar.

CLOSERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang