"Hai, ayah." sapa Gea gemas.
"Eh, anak ayah makin ganteng aja cihh...." Ryan memainkan pipi Vano.
"Iya dong, anak ciapa dulu?" balas Gea seraya terkekeh.
"Ke taman yang sini aja atau yang jauh." tanya Ryan menatap Gea.
"Terserah." jawab Gea yang masih asik bermain dengan Vano.
"Yaudah, yang deket mansion utama aja ya. Kan di sana ada danaunya." Gea mengangguk mengiyakan.
Ryan melajukan mobilnya dengan santai. Sesekali melirik Gea yang tampak ceria saat bermain dengan Vano. Hingga mereka telah sampai di kawasan taman tersebut.
"Sampai." kata Ryan seraya melepaskan sabuk pengamannya.
"Yah, bantuin. Susah bukanya, takut Vano-nya jatuh." Ryan membantu Gea membuka sabuk pengamannya.
Mereka berjalan menuju salah satu kursi panjang di dekat sana. Mereka bermain dengan tenang dan tentram. Namun, suara letupan pistol mengganggunya.
Dor!
"Sshhh..."
Dengan buru-buru, Gea menggendong Vano menjauh dan bersembunyi di balik pohon. Dan Ryan? Dia sudah menghilang entah ke mana.
"Apa maumu?" tanya Ryan sambil menodongkan pisau di leher si penembak yang kini gemetar ketakutan. Tapi, wajahnya masih tetap datar yang malah terkesan santai.
"A.... Aku.... Di... Disuruh...." dia gemetar ketakutan melihat pisau yang tak sampai satu senti siap melukai lehernya.
"Siapa?" tanya Ryan datar dan dingin.
"Tidak....." lirihnya menggelengkan kepalanya.
"JAWAB!!" gertak Ryan tegas dan dingin sehingga membuat orang itu semakin gemetaran.
"Tu.... Tuan.... Ab.... Abraham..... Di... A.. Yang... Menyuruh.... Ku...." katanya ketakutan.
"Ucapkan salamku pada teman barumu di neraka." bisik Ryan serya memotong aliran nadinya.
Orang itu jatuh amburuk dan langsung dilemparkannya ke tengah-tengah jalan raya. Lalu, ia berlari menuju tempat di mana Gea dan Vano berada.
"Kamu ga papa?" tanya Ryan khawatir.
"Hm, aku ga papa. Tapi, Vano sepertinya ketakutan." jawabnya perhatian.
"Yaudah, ayo kita bawa Vano pulang. Sebelum komplotannya datang." ajak Ryan disetujui Gea. Ia tak mau anak sekecil ini mendengar kalimat-kalimat kematian.
Mereka duduk di mobil Ryan dengan tenang. Gea membenarkan posisi Vano yang kini telah tidur dan segera menggunakan sabuk pengaman.
Tiba-tiba, Ryan meraih tangan kanannya. Dan melihat jari Gea yang sedikit bengkak saat menangkis peluru tadi. Ia mengemutnya dengan lembut.
"Apa maksudmu?" tanya Gea bingung. Ryan melepaskan pangutannya dan menatap Gea intens.
"Aku tahu kalau jari kamu yang itu perih setelah menangkis peluru itu." kata Ryan datar namun penuh perhatian.
"Perhatian banget sih?" Gea menoel-noel gemas pipi Ryan.
"Tentu, kamu adalah prioritasku." kata Ryan tegas.
"I love you, Anggar Ryan Putra Anggaranta."
"I love you too, Ragea Antalya Anggaranta."
•••
Jam kini telah menunjukkan pukul dua malam. Tapi, sepasang leader itu masih betah meracik berbagai racun dan obat di markasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil in Your (ANGGARANTA)
Teen Fiction[PROSES REVISI] Series pertama Anggaranta Bagaimana rasanya, difitnah oleh keluarganya sendiri, sakit!! ia hanya bisa menangis bodoh dan tersenyum miris akan semua. Diusir karena ego lebih kuat. Dibuang layaknya sampah. Hanya karena, seorang yang...