Empat tahun kemudian.....
"Bun, yah. Vano mau ngomong sesuatu yang serius sama kalian." ujar anak lelaki berumur lima tahun itu kepada kedua orang tuanya.
Ryan dan Gea menoleh, mereka baru saja selesai memanen hasil kebunnya untuk bahan makan siang. Mereka berdua berjongkok di depan Vano setelah meletakkan beberapa sayur yang telah dipanen itu di meja.
"Kenapa, sayang?"
"Devano itu bukan anak kandung kalian kan?" tanyanya yang seketika membuat sepasang pasutri itu tercengang dalam diam.
Tangan kanan Gea terulur mengelus rambut pirang alami anaknya itu, memberanikan diri untuk bertanya. "Siapa yang bilang kalau Vano bukan anak kandung bunda sama ayah? Hm?" tanyanya lembut.
Helaan nafas gusar terdengar dari anak yang baru saja berusia lima tahun itu, "Nggak ada, bun. Cuma, kemarin, Vano abis baca buku tentang kemiripan seorang anak terhadap orang tuanya, dan lagi, Angga yang bilang sama Vano tapi dia bilang gak boleh bilang apapun ke Eva. Katanya, dia gak mau Eva sedih, nanti aja bilang kalau udah waktunya." jelasnya polos.
Mata Ryan sedikit melebar, kaget dengan pertumbuhan dan pikiran anaknya yang bernama Anggara itu. Bagaimana bisa anak yang masih berumur empat tahun itu mampu berpikiran desawa dan seksama untuk kedua saudaranya.
Memang, sejak satu tahun yang lalu mereka pindah ke Prancis, Angga lebih sering menghabiskan waktunya untuk membaca berbagai buku di kamarnya yang kini jumlahnya sudah tak terhitung dan juga beberapa kali keluar dari rumah sendirian menuju suaka marga satwa, cagar alam maupun kebun binatang.
"Kalau Vano memang bukan anak kandung bunda sama ayah, Vano bakal sedih gak?" tanya Gea setelah serangkaian drama ketar-ketir di hatinya yang berusaha meyakinkan untuk bertanya.
Anak itu menggeleng sambil menunjukkan senyumnya, "Nggak, kalau emang Vano itu anak kandung bunda sama ayah, Vano senang-senang aja. Terus, kalau bukan, Vano tetap senang meski bukan anak kalian, tapi kalian udah mau ngerawat Vano kayak Angga sama Eva. Kenapa?" balas anak itu bijak.
"Kamu emang bukan anak kandung kita. Sekarang, apa yang bakal Vano lakuin?" ujar Ryan tegas, meskipun dia masih mendapatkan tatapan tajam dari sang istri karena tega berkata seperti itu kepada seorang anak kecil.
Vano tampak berpikir, lalu menatap Gea dan Ryan bergantian dan segera memeluk keduanya erat. "Yaudah, takdir, biarin aja, meskipun ikatan darah memang lebih kental, tapi kasih sayang kalian gak akan bisa terganti sepanjang masa. Benar kan?" balasnya cengengesan.
Gea mengangguk, meskipun ia sendiri sempat kaget dengan balasan dari anaknya yang satu ini. Sementara Ryan, lelaki itu hanya membalas pelukan tanpa ekspresi di wajahnya. Sungguh benar-benar datar.
"Oh iya, Vano belajar dari mana ngomong gitu?" tanya Gea setelah sekian lama terdiam.
Vano mengerjab polos, matanya menatap pada sang bunda yang bertanya. "Belajar dari Angga, bun. Hehe..." jawabnya cengengesan.
Sementara itu, Ryan berdecak. Sekarang ia tau dari mana anak tertua-nya ini mendapatkan rantaian kalimat seperti sementara ia dan Gea tak pernah bilang seperti itu padanya. Lelaki itu berpikir, sepertinya ini adalah salah satu pengaruh dari KBBI yang dua hari yang lalu dipinjam Angga dari kamarnya.
"Kok Eva gak diajak pelukannya juga?"
•••
"EVA POKOKNYA MAU PERGI IKUT SAMA BANG ANGGA!!" pekik sang princess kesayangan keluarga Anggaranta itu.
Netra biru Gea menyorot sengit Anggara yang tampak santai dengan soflen's hitamnya yang telah dipasang beberapa saat yang lalu. Anak berumur empat tahun itu memang sudah bisa memasang soflen's untuk matanya yang berbeda warna sendiri sejak satu bulan lalu.
"Bun, Eva mau ikut bang Angga pergi ke kebun binatang, bun." rengeknya memelas.
"Udah ya, bun. Biarin aja kalau Eva emang mau ikut. Vano juga bakal ikut temenin mereka, kok." tambah Vano yang seketika mendapat tatapan membunuh dari sang bunda.
"Lain kali aja, ya. Besok-besok sama bunda juga ikut." tawarnya yang seketika disahuti gelengan tak terima oleh si bungsu.
Mata berlapis soflen's itu menatap bundanya datar, "Ck, dibawa santai dong, bun! Lagi pula enam body guard kesayangan bunda itu juga pasti bakal ngikutin kita, kan? Manfaatin aja waktu berdua sama ayah." balas Angga datar.
Gea menoleh ke anaknya itu dengan sorot mata tak terima, salah apa dia hingga mendapatkan anak yang selalu berhasil untuk membuatnya skakmat itu. Dengan berat hati, ia mengangguk mengijinkan ketiganya untuk pergi.
"MAKASIH BUNDA!!!" pekik Eva senang, anak itu mencium mesra pipi bundanya kemudian berlari untuk memakai alas kaki yang berjejer tapi di dekat pintu. Begitupun Vano, anak itu dengan setia mengikuti adik perempuannya.
Tinggalah Angga, anak itu masih menatap datar ke arah bundanya seolah memberi isyarat untuk bertanya. Gea mendengus, lalu menatap balik putranya itu dengan tatapan yang sama, datar.
"Apa?" tanya sang bunda malas.
Angga menyeringahi, lalu mengulurkan tangan kanannya ke depan. "Bun, minta uang jajan double buat bertiga."
•••
"Bang! Eva minta ice cream!" anak berkacamata hitam itu menunjuk ke sebuah gerobak ice cream yang letaknya tak jauh darinya.
Memang, setiap keluar dari rumah, Evangga selalu memakai kacamata hitam untuk menutupi mata langka miliknya itu agar tidak terlihat mencolok. Sebelumnya, anak itu sering kesal, lantaran selalu menjadi pusat perhatian karena warna mata yang tak biasa.
"Eva mau rasa strawberry!!"
Angga mengangguk, kemudian berganti menatap sang kakak yang secara kebetulan juga menatap ke arahnya. "Bang Vano, mau juga juga gak? Biar Angga aja yang beli." tawarnya seraya menunjukkan uang pemberian sang bunda.
"Dapat uang dari mana?" tanyanya curiga. Sebagai seorang kakak, ia harus selalu memastikan segala sesuatu yang berhubungan dengan kedua adiknya itu.
"Dari bunda." balas Angga seadanya.
"Oke, deh, vanila aja ya. Aku tunggu di sana ya sama Eva." tunjuknya pada sebuah bangku yang terletak tak jauh dari sana.
Angga mengangguk, kemudian melenggang pergi menuju tempat sang penjual ice cream gelato yang kebetulan sedang lenggang itu dengan santai. Sementara di sisi lain, Vano dan Eva sedang mengamati saudaranya itu dari kejauhan.
Tak berselang lama, Angga kembali dengan kantung plastik di kedua tangannya. Tangan kanannya menenteng ice cream gelato milik kedua saudaranya sementara tangan kirinya menenteng sebotol air kemasan berukuran sedang untuk dirinya sendiri.
Dengan cekatan, Eva segera mengambil ice cream pesanannya dan segera menyuap ke mulut. "Eum, enak! Bang Angga kok gak pesen ice cream juga?" tanya anak itu penasaran.
"Iya, kamu kok gak ikut pesen ice cream aja?" tambah Vano yang ikut bertanya.
Bibir Angga sedikit melengkung mendengar pertanyaan itu dilontarkan oleh kedua saudaranya, ia senang memiliki saudara yang perhatian terhadapnya. Anak laki-laki itu menggeleng pelan sambil membuka botol minumnya.
"Nggak ada apa-apa, cuma rada bosen sama ice cream." balasnya jujur.
"Kenapa bang Angga bisa bosen?" tanya si bungsu lagi.
"Abang gak terlalu suka sama yang manis-manis, dek." jawab Angga sabar.
"Berarti abang suka yang pahit-pahit, dong?"
•
•
•
•
•
•
•
•
•
—29 Agustus 2020—
Dianashevy05🌿
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil in Your (ANGGARANTA)
Teen Fiction[PROSES REVISI] Series pertama Anggaranta Bagaimana rasanya, difitnah oleh keluarganya sendiri, sakit!! ia hanya bisa menangis bodoh dan tersenyum miris akan semua. Diusir karena ego lebih kuat. Dibuang layaknya sampah. Hanya karena, seorang yang...